Hingga, suatu malam aku menemukan majikanku terbujur kaku. Dua lubang berasap di kepalanya, menyakinkanku untuk segera pergi dari rumah itu.
Malam itu, kuambil semua uang yang kutemui di rumah itu. Lekas pergi ke Tanjung Priok. Aku harus meninggalkan Jakarta.
Lampung, 1980
Hari itu, aku baru siuman. Katanya, berhari-hari aku tak sadarkan diri. Tubuhku penuh luka, dan kaki kiri tak bisa digerakkan lagi. Seorang perempuan, setia menjagaku.
Dialah Darsinah, perempuan yang kunikahi di Natar dua tahun lalu. Aku mengambilnya dari rumah bordil. Menempatkan dia di kedai nasi milikku sebagai pelayan.Â
"Kita mulai dari awal yo, Mas," ucapnya.
Aku tahu kemudian, kedai nasi sudah dibakar oleh gerombolan preman. Tepat, sehari setelah kuamuk salah satu dari mereka. Menolak jatah keamanan, yang harus naik dua kali lipat.Â
Kami memutuskan pergi dari Lampung, menemui kerabat Darsinah di Bogor dan memulai kembali merintis warung nasi.Â
Bogor, 1985
Tahun berganti, dan warung nasi hanya cukup untuk makan sehari-hari. Tapi, aku bahagia. Darsinah menemaniku sampai akhir hayatnya. Penyakit kanker rahim yang menggerogoti kesehatannya, merenggut dia dari hidupku.
Malam dimana aku memeluknya untuk yang terakhir kali. Dia berkata padaku, "aku tresno karo sampean, Mas." Kata-kata yang tak pernah aku dengar dari siapapun seumur hidupku.Â