Pada suatu malam aku terbangun. Tangan kekar membekap mulutku dan membawaku pergi dari rumah itu. Aku mencoba melawan, dan sebuah pukulan di kepala menutup perlawananku.Â
Hingga, aku kembali terbangun di atas truk. Aku melihat anak-anak lain, berbagi makanan dalam besek bambu yang entah darimana asalnya. Perutku yang lapar, memaksa merebut makanan itu dari mereka.
Jakarta, 1970
Hari itu, aku berjalan sambil menangis. Pipa besi berlumuran darah, kugenggam sampai tiba di kantor Polsek Taman Sari.Â
"Pak, aku sudah bunuh orang," ucapku.
Hanya tiga bulan, aku dibebaskan dari tahanan. Ternyata, orang yang kupukul masih hidup. Dan hal itu, membuatku kecewa.
Hidup dalam tahanan, lebih baik untukku. Menjadi gelandangan dan hidup di kolong jembatan justru lebih sulit. Terbersit dalam pikiran, untuk kembali memukul orang. Berharap aku bisa kembali hidup di tahanan.
Kuambil sebuah linggis di lokasi proyek bangunan. Mataku, mencari kuli yang cukup lemah untuk kupukul di tempat sepi.
"Besi sepotong, mana cukup di kilo. Kalau mau ngambil banyak, gitu loh."
Aku dikagetkan dengan suara itu, lemas tubuhku seketika. Orang di depanku berdiri gagah, perawakan tinggi besar. Memakai kacamata hitam, jaket kulit hitam dan sepatu boat kulit cokelat.Â
Dia membawaku ke sebuah kedai, diberikan aku makan dan kopi. Kami berbagi sebungkus rokok, bercengkrama seperti sahabat lama. Lalu, aku tinggal di rumahnya.
Aku bekerja sebagai pesuruh, mengikuti kemanapun dia pergi. Keluar masuk lokasi proyek, dan mendapatkan uang. Hidupku terjamin, tempat tinggal, makan dan rokok.