Langkah Eddy semakin cepat. Ia berlari di pelataran bandara Hang Nadiem, siang itu.Â
Ia melirik pada papan petunjuk waktu, saat hendak chek in di ruang keberangkatan. Mengubah kecepatannya berlari, dari lari santai menjadi lari sprint.Â
Hingga, petugas keamanan di pintu masuk, memberitahukan pada Eddy, "maaf, pesawat yang tertera pada tiket. Sudah take off satu jam lalu."
Kesal, sesal dan pasrah. Tiket yang sudah dipesan jauh hari, kini hangus akibat kesalahannya sendiri. Bangun terlambat.
"Mama, gua' bo' tui chu -- mama, anakmu tak bisa pulang ke rumah," ucap Eddy pada Ibunda, di ujung handphone.
"Tiket hangus loh," lanjutnya.
"Tan sin' ni kha', tui chu --Â nanti tahun baru, baru bisa pulang ke rumah," ucapnya lemas, saat sambungan telepon tiba-tiba terputus.
Dalam hatinya berharap, semoga mama tidak mencoret namanya dari kartu keluarga. Atau marah dan kecewa, karena lagi-lagi absen pada acara keluarga besarnya di Jakarta.
Eddy tidak merayakan Natal. Namun keluarga besarnya selalu berkumpul di rumah sepupunya di Kamal Muara, salah satu saudara yang merayakan dan rutin mengadakan perjamuan makan malam setelah Misa.
Sudah dua tahun, ia absen dan mangkir dari acara keluarga. Mungkin hanya Imlek yang benar-benar ia targetkan hadir. Maklum, dari dua puluh sepupu dalam keluarga besarnya. Hanya tersisa dia dan dua keponakan yang masih berhak menerima angpao.