Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta Satu Malam

22 November 2020   10:02 Diperbarui: 22 November 2020   10:09 4367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata orang, hujan dimalam minggu itu do'a kaum jomblo yang dikabulkan Tuhan.

Terlebih jika hujannya awet dari pagi sampai tengah malam, petaka buat mereka yang malas cuci motor atau basah-basahan apel ke rumah gebetan.

Hujan seolah-olah menjadi halangan bagi muda mudi yang dilanda kasmaran untuk pergi jalan-jalan dan memadu kasih, benarkah demikian?

Alan, terlihat sedang dijewer oleh bakal calon mertuanya yang bernama Pak Teo, karena kerap mencuri kecup pada putri semata wayangnya yang bernama Fatma, didepan teras rumah.

Setiap malam minggu, Alan selalu datang kerumah Fatma apapun kondisinya, hujan badai, gerimis, angin ribut, bahkan saat banjir.

Maklum sejak lepas aqil baligh, Alan hanya bisa dekat dengan Fatma, satu-satunya wanita yang sudi menganggapnya sebagai kekasih meski kadang-kadang khilaf.

Biasanya Alan tak pernah membawa apa-apa saat apel malam minggu, namanya pelajar ya kadang modus membawa buku pelajaran sebagai alibi belajar bersama.

Tapi malam itu, ia membawa sekantong buah rambutan yang diambilnya dari pohon milik tetangga dimalam sebelumnya.

"Diminum Bang, nanti keburu dingin," ucap Fatma, seraya menghidangkan teh manis hangat.

Alan pun menyambut minuman itu, namun matanya yang genit terus saja melirik pada wajah Fatma.

"Tau aja bang Alan haus, makasih ya," katanya.

Tak hanya matanya yang nakal, tapi juga tangan Alan yang mencoba menahan Fatma untuk beranjak.

Fatma pun risih dibuatnya, terlebih saat bibir Alan seperti hendak melayangkan kecupan.

"Abang kenapa sih," omel Fatma, seraya menepis tangan Alan.

Alan yang masih tampak berusaha meraih tangan kekasihnya itu pun berkata, "dikit aja sih."

"Ah Abang, ga mau," gumam Fatma yang hampir habis kesabarannya.

"Hoyyy!!!" Terdengar teriakan yang mengagetkan mereka berdua.

Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih dan Alan pun tertangkap basah, tepat didepan mata Pak Teo.

"Adududuh..duh..duh ampun Om," teriak Alan, saat tangan kekar Pak Teo menjewer kupingnya.

"Jangan pernah masuk rumah ini lagi, kalau tak mau kuping ini lepas dari kepala kau yang ngeres hah!" Omel Pak Teo, seraya menyeret Alan keluar teras rumahnya.

Pak Teo tahu betul kelakuan Alan, selain urakan dan sering bermasalah dengan guru-gurunya disekolah, ia pun tak begitu pandai dalam hal pelajaran.

Seumur Pak Teo mengajar disekolah dasar dahulu, mungkin hanya Alan satu-satunya murid yang paling banyak kena hukum.

Menjewer kuping Alan tiap hari senin dari kolong meja kantin, hingga menjemur dilapangan karena ketahuan merokok dilingkungan sekolah, sudah khatam dilakukannya.

Mimpi apa Pak Teo, anak bengal itu sekarang malah menjadi teman dekat putri semata wayangnya.

Dan jika bukan karena rasa sayangnya pada Fatma, sudah ditendang si Alan itu dari rumahnya sejak kedatangan pertama.

Alan pergi terbirit-birit memacu sepeda motornya dalam deras hujan, kali ini ia pasrah pada nasib asmaranya dengan Fatma dan tak terpikirkan olehnya, masihkah ada muka bertemu Fatma disekolah besok senin.

Alan memarkirkan motornya disebuah halte, berlindung sementara dari hujan lebat dan menunggu reda untuk kemudian pulang.

Dihalte tersebut, sudah ada dua transpuan macho bernama Elsa dan Elma, Alan yang baru menyadarinya terlihat menundukan kepala, malu karena sempat mencuri pandang pada penampilan mereka.

Meski sempat melirik balik, sepertinya Elsa dan Elma tidak begitu tertarik kepada Alan yang notabene masih bau kencur pikir mereka.

Betapa merindingnya Alan, bukan Karena menggigil kedinginan, namun karena takut dan berprasangka buruk pada kedua orang disampingnya.

Ia pun memutuskan untuk bergegas tancap gas dan menerobos hujan, agar cepat sampai ke rumah dan menenangkan diri dari kejadian tak menyenangkan dirumah Fatma.

"Gazebo banget tuh orang ye," ucap Elma, yang melihat Alan nekat berkendara menembus hujan lebat.

"Emberrr," sambut Elsa, manja.

Alan terus memacu sepeda motornya, sampailah ia disebuah kawasan warung remang-remang yang sudah nampak sepi, sudah tak jauh dari rumahnya.

Karena hujan mulai reda, ia pun tidak lagi memacu sepeda motornya dan berjalan santai saja, toh sudah dekat rumah pikirnya.

"Ojek, Bang!" Terdengar teriakan seorang wanita dari pinggir jalan.

"Dih, sue dikatain ojek," dalam hati Alan berkata.

Alan sejenak melirik pada wanita tersebut, ia begitu jelas melihat seorang mba cantik berpayung hitam, meski dalam remang malam.

Tanpa pikir panjang, Alan langsung saja putar balik menghampiri wanita tersebut, seraya berkata, "mau kemana, Mba?"

"Maaf dek, kirain abang ojek," ucap Mba cantik, dengan nada yang lemah lembut.

"Ga apa apa Mba, ayo sini saya anterin," jawab Alan lugas.

"Bener nih dek," ucap Mba cantik malu-malu.

"Iyaa," jawab Alan.

Sepanjang jalan, otak ngeres Alan seperti tak habis bahan, ia terkadang lebay saat melewati polisi tidur atau tanjakan, membuat risih Mba cantik yang sedari tadi terlihat menahan nafasnya.

Sepeda motor Alan mendadak mogok, saat tiba ditikungan dan ia pun berhenti untuk memeriksa kondisi sepeda motornya tersebut.

"Duh jadi ngerepotin dek, maaf ya," ucap Mba cantik, seraya turun dari motornya.

"Ga apa apa," gumam Alan, yang terlihat sedang meniup-niup busi motornya.

Mba cantik tiba-tiba saja melenggang dan berkata, "saya jalan aja ya, udah deket ko." 

"Biar saya temenin Mba, takut ada apa-apa," buru-buru Alan mengejarnya, takut sekali ia tertinggal.

Alan tak lupa mengambil gembok dari jok motornya, mengunci ganda pada roda belakang dan depan motor, jaga-jaga kehilangan sepeda motornya malam itu.

Akhirnya, merekapun berjalan berdua-duaan, melewati jalanan sepi diterangi lampu-lampu taman dan mengobrol panjang lebar, semacam curhat dan ramah tamah.

Hingga tiba pada sebuah taman dan mereka pun memutuskan istirahat sejenak, sambil meneruskan obrolan sepanjang jalan tadi dengan duduk di bangku taman.

"Lupa, asik ngobrol belum sempat kenalan," Ucap Alan.

Mba cantik pun mengulurkan tangannya dan berkata, "Ayu, adek namanya siapa?"

"Alan, Mba asalnya darimana?" Ujar Alan.

"Alas Roban," jawab Mba Ayu.

"Dimana tuh?" Tanya Alan, yang merasa asing dengan nama daerah tersebut. 

Mbak Ayu pun menerangkan, "daerah Jawa tengah, dek."

"Oh, udah berkeluarga?" Ucap Alan, meskipun sebenarnya ia tidak mengerti.

"Belum, tak laku dek," canda Mba Ayu.

"Adek ko malam mingguan sendiri?" Lanjutnya.

Alan mulai berani bicara sambil menatap wajah Mba Ayu, ia pun mulai lugas berbicara.

"Saya ga suka pacaran, Mba," ucapnya.

"Ah masa?" Tanya Mba Ayu, memotong.

"Kata emak, bikin males belajar," jawab Alan sambil tersenyum lebar.

Mba ayupun terlihat membalas senyuman Alan, dengan manja ia berkata, "bisa aja adek ini." 

Tak lama, Alan kembali menggigil, kali ini bukan takut atau kedinginan sungguhan, tapi merasa grogi karena jemari Mba Ayu sudah berada tepat diantara ruas jemarinya.

Perlahan-lahan kedua jemari tersebut saling menggenggam erat, seperti tengah mengikat kuat satu sama lain.

Setelahnya, entah apa yang diperbuat oleh Alan dan Mba Ayu berlama-lama duduk diatas bangku taman, mereka hanya berdua diantara remang-remang malam, dingin dan basah.

Suara jangkrik dan burung tekukur terdengar sepanjang malam, hingga lampu-lampu taman pun satu persatu meredup dan mati.

Setelah terdengar suara ayam jantan berkokok diiringi adzan subuh yang berkumandang, Alan terlihat tengah tertidur pulas dibangku taman.

"Mba..mba, udah cape mba," dalam tidurnya Alan mengigau.

Sinar mentari pagi mendarat tepat diwajah Alan, membuatnya terbangun dipagi cerah dihari minggu.

Ia terkesiap melihat sekelilingnya, sepi dan hening tak ada seorangpun disana, termasuk Mba Ayu sudah tak terlihat berada disampingnya.

Seperti orang yang linglung, Alan berjalan kesana kemari, sambil mengingat-ingat dimana ia memarkirkan sepeda motornya malam tadi.

Dengan langkah yang lunglai, Alan berjalan sendirian dan masih tak habis pikir, kemana perginya Mba Ayu dan bagaimana dia bisa sampai tertidur pulas dibangku taman.

Konon, seorang supir taxi dan abang ojek pernah mengalami hal yang sama dan ditemukan tak sadarkan diri dikomplek pemakaman oleh warga setempat.

Pada sebuah komplek pemakaman tua yang tak jauh letaknya dari taman, taman dimana Alan dan Mba Ayu menghabiskan malam minggu yang panjang.

*****

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.

(Indra Rahadian, 11/22/20)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun