Tidak begitu jelas yang terjadi didalam negeri Amerika sendiri terkait gelaran pemilu presidennya, karena penulis belum sempat berkunjung kesana dan hanya membaca dari media sosial, betapa suhu politik disana sama buruknya dengan situasi pemilu presiden Indonesia lalu.
Namun, aroma sentimen rasial sepertinya masih mewarnai kontestasi politik tersebut selepas tagar black live matter, yang sebelum pelaksanaan pemilu banyak bertaburan dimedia sosial.
Kecaman Donald Trump terhadap calon wakil presiden Amerika Kamala Harris yang berkulit gelap keturunan Asia Selatan, dengan sebutan "monster" dalam debat kandidat Oktober lalu, semakin menjauhkan Trump pada pemilih dinegara yang kata orang anti diskriminasi rasial itu.
Tentunya pundi-pundi suara tersebut akan jatuh pada Joe Biden sebagai kompetitornya dalam pemilu kali ini, meskipun sistem pemilu disana tidak menggunakan one man one vote.
Merujuk pada laman The Associated Press, hingga saat ini (11/06/20 13.30 WIBB), peraihan suara antar kandidat masih dimenangkan oleh Joe Biden dengan 264 electoral vote, sementara Donald Trump masih berada pada 214 electoral vote.
Cukup besar kemungkinan Joe Biden untuk menang, kendati Trump berpeluang untuk menggunakan instrumen hukum dinegara tersebut untuk menunda perhitungan suara, alih alih menginginkan kemenangan.
Kemudian, apakah Joe Biden akan melanggengkan hegemoni China dilaut China Selatan jika dia terpilih nanti?.
Joe Biden dan Barack Hussein Obama yang sama-sama berasal dari partai demokrat, sepertinya tidak akan jauh berbeda dalam urusan kebijakan luar negeri Amerika.
Dengan masih mengambil posisi sebagai Paman Sam sang polisi dunia, akan tetap menempatkan militer mereka didekat area konflik Laut China Selatan, khususnya Taiwan yang sekiranya menjadi target militer China yang nyata.
Sebuah negasi dari ambisi China untuk memuluskan langkah bersejarah di Laut China Selatan, dengan semangat menapaki jejak-jejak kebesaran kekaisaran dinasti Ming.