Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

"Meme For Biden", Menanti Aksi Joe Biden di Laut China Selatan

6 November 2020   20:53 Diperbarui: 7 November 2020   22:58 2140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Calon Presiden Partai Demokrat Joe Biden yang di ambang kemenangan Pilpres 2020 berbicara dari kota kediamannya, Wilmington, Delaware, Rabu (04/11/2020) (Foto: Associated Press via kompas.com)

Hiruk pikuk hasil quick count pemilu Amerika yang menghiasi beranda pemberitaan nasional, turut diramaikan pula dengan meme dan guyonan online seputar persaingan dua kandidat presiden Amerika antara Donald Trump dan Joe Biden.

Beberapa meme yang masuk dalam WhatsApp group terlihat menarik dan menghibur, mengingatkan kita pada kondisi pemilu presiden di Indonesia, namun dengan tingkat kedewasaan yang berbeda dan tentunya selera humor yang berbeda pula.

Dikala Paman Sam sedang mengadakan pesta demokrasi di rumah megahnya, sepertinya dunia termasuk Indonesia tak bisa ketinggalan untuk turut memeriahkan kontestasi politik tersebut dengan pemberitaan aktual dan analisis didalam negeri. 

Dari artikel media nasional hingga opini warga Kompasiana, menghiasi laman pemberitaan soal persaingan Donald Trump dan Joe Biden dengan beragam pembahasan dan gaya penulisan.

Ada yang mewartakan dengan antusias, sinis, skeptis dan bahkan click bait sekedar humor receh.

Ramai isu berhembus adanya kepentingan dari dua Negara adikuasa lainnya terhadap hasil pemilu Amerika, yakni Rusia dan China disinyalir turut memantau secara langsung gelaran pemilu dinegara yang dijuluki polisi dunia tersebut.

Presiden Rusia Vladimir Putin, dalam beberapa kesempatan terlihat mesra dengan Donald Trump seperti pada KTT G20 tahun 2019 di Osaka Jepang.

Dan sinyal kemesraan sepertinya akan terus berlanjut jika Trump kembali terpilih sebagai presiden Amerika tahun ini, tentu jika berlaku sebaliknya maka hubungan kedua negara akan ditinjau ulang sesuai kebijakan Joe Biden.

Sementara China yang saat ini terlibat perang dagang dan nyaris menekan tombol "ON" untuk ancaman perang dunia ke III terhadap Amerika, sepertinya menginginkan Joe Biden agar segera mengakhiri kekuasaan Trump atas negara tersibuk dalam urusan keamanan global tersebut.

Menarik untuk menerka, perubahan apa yang akan terjadi pada kebijakan luar negeri Amerika terhadap konflik Laut China Selatan, jika Joe Biden berhasil menyingkirkan Trump dari gelanggang politik dinegeri adidaya tersebut.

Kampanye Joe Biden yang menempatkan China bukan sebagai musuh, menjadi hembusan angin perubahan yang dapat dimanfaatkan China dalam menata kembali hubungan yang buruk dari perekonomian kedua negara selama perang dagang, sambil melihat kesempatan untuk berdiri lebih tinggi dari Amerika dalam peta geopolitik dunia.

Tidak begitu jelas yang terjadi didalam negeri Amerika sendiri terkait gelaran pemilu presidennya, karena penulis belum sempat berkunjung kesana dan hanya membaca dari media sosial, betapa suhu politik disana sama buruknya dengan situasi pemilu presiden Indonesia lalu.

Tangkapan layar pribadi (edit pribadi)
Tangkapan layar pribadi (edit pribadi)

Namun, aroma sentimen rasial sepertinya masih mewarnai kontestasi politik tersebut selepas tagar black live matter, yang sebelum pelaksanaan pemilu banyak bertaburan dimedia sosial.

Kecaman Donald Trump terhadap calon wakil presiden Amerika Kamala Harris yang berkulit gelap keturunan Asia Selatan, dengan sebutan "monster" dalam debat kandidat Oktober lalu, semakin menjauhkan Trump pada pemilih dinegara yang kata orang anti diskriminasi rasial itu.

Tentunya pundi-pundi suara tersebut akan jatuh pada Joe Biden sebagai kompetitornya dalam pemilu kali ini, meskipun sistem pemilu disana tidak menggunakan one man one vote.

Merujuk pada laman The Associated Press, hingga saat ini (11/06/20 13.30 WIBB), peraihan suara antar kandidat masih dimenangkan oleh Joe Biden dengan 264 electoral vote, sementara Donald Trump masih berada pada 214 electoral vote.

Cukup besar kemungkinan Joe Biden untuk menang, kendati Trump berpeluang untuk menggunakan instrumen hukum dinegara tersebut untuk menunda perhitungan suara, alih alih menginginkan kemenangan.

Kemudian, apakah Joe Biden akan melanggengkan hegemoni China dilaut China Selatan jika dia terpilih nanti?.

Joe Biden dan Barack Hussein Obama yang sama-sama berasal dari partai demokrat, sepertinya tidak akan jauh berbeda dalam urusan kebijakan luar negeri Amerika.

Dengan masih mengambil posisi sebagai Paman Sam sang polisi dunia, akan tetap menempatkan militer mereka didekat area konflik Laut China Selatan, khususnya Taiwan yang sekiranya menjadi target militer China yang nyata.

Sebuah negasi dari ambisi China untuk memuluskan langkah bersejarah di Laut China Selatan, dengan semangat menapaki jejak-jejak kebesaran kekaisaran dinasti Ming.

Sekedar info, China dengan aksi nelayannya kini sudah berlayar lebih jauh ke perairan Amerika Selatan untuk mencari ikan, lalu eksplorasi mereka di Kutub Utara pun sempat juga menarik perhatian.

Trump dengan kebijakannya saat ini, terbukti tidak dapat menahan laju China untuk menggerogoti setiap jengkal peluang di Laut China Selatan, dan apa yang diharapkan dari Joe Biden?.

Tertarik dengan kampanye Joe Biden soal "mengakhiri selamanya perang di timur tengah", semoga bukan slogan yang hanya digunakan untuk menarik simpati negara-negara Arab.

Statement "mengakhiri perang" sepertinya akan seksi juga jika disematkan pada konflik Laut China Selatan, bisa saja dengan diplomasi yang lebih menjanjikan dan bukan malah memulai perang baru dilautan.

Diatas kertas mungkin figur Joe Biden lebih elegan dari Trump yang meledak ledak dan sulit ditebak, dalam mengambil kebijakan penting di Laut China Selatan.

Kebijakan Trump, yang menggertak dengan kapal-kapal induk malah semakin meningkatkan kesiagaan militer China dikawasan tersebut.

Sementara, patut ditunggu gaya-gaya Obama dalam versi Joe Biden untuk menunjukkan "kepemimpinan dunia" oleh Amerika Serikat dikawasan Asia tenggara, khususnya Laut China Selatan.

Ada sedikit harapan untuk negara-negara ASEAN tentunya, jika hubungan China dan Amerika dapat lebih baik dan tanpa disertai tindakan militer, dengan berhenti saling mengarahkan moncong senjata didepan halaman kawasan regionalnya.

Karena sepertinya China pun tidak menginginkan figur Trump kembali terpilih,mereka mungkin lebih berharap pada Joe Biden untuk menjalin kembali hubungan hangat yang saat ini kian membeku.

Bagi kita, setidaknya persoalan-persoalan seputar keamanan regional di Laut China Selatan dapat ditempuh dengan perundingan diatas meja dan bukan dimedan laga oleh kedua negara tersebut.

Namun, kontestasi politik di Amerika bukanlah hitungan matematika sederhana.

Bahkan ahli numerolog sekaliber Bapak Rudy Gunawan pun, akan butuh waktu yang lama untuk menghitung peluang-peluang dua kandidat tersebut secara akurat dalam kontestasi politik di negeri Paman Sam tersebut.

Bagaimana Jika Trump yang justru menang, akankah gejolak yang terjadi di Laut China Selatan bertambah parah? Semoga tidak demikian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun