Ironisnya, keputusan warisan kolonial tersebut malah menjadi semacam rujukan bagi petinggi bangsa ini, dalam menetapkan peraturan-peraturan ketenagakerjaan di Indonesia.
Outsourcing
Kata outsourcing di Indonesia mulai populer pada pemerintahan Megawati dengan lahirnya Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003. Undang-undang yang melanggengkan istilah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), menjadi hal yang lumrah hingga saat ini.Â
Kebutuhan akan investasi dan lapangan pekerjaan pasca krisis moneter, menjadi dalil yang sahih dalam wacana pembangunan masa itu, jor-joran dalam melepas aset negara ditempuh untuk menyelamatkan ekonomi, ekonomi yang bertumpu pada kondisi pasar global.
Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ketepian, andai kata Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003, merupakan proses untuk bersakit-sakit dalam mensejahterakan pekerja, harusnya dikemudian hari terbit undang-undang yang memperbaiki itu semua.
Namun nyatanya, bangsa ini malah semakin terperosok dalam tuntutan pasar global, hingga semakin jauh dengan cita-cita kesejahteraan yang dapat dinikmati semua lapisan masyarakat.
Undang-undang Cipta Kerja
Pekerjaan dengan jam kerja yang panjang, tanpa jaminan kesehatan, karier dan pensiun, adalah produk kapitalism, yang secara terbuka telah dipakai bangsa ini dalam bidang sosial dan ekonomi bertahun-tahun lamanya.Â
Perbaikan dalam jaminan sosial tenaga kerja, tidak banyak berpengaruh dalam kondisi aktual dilapangan, dengan berbagai cara, pengusaha dapat menghindari kewajiban tanpa sanksi yang berarti dari pihak berwenang.
Pemerintahan berganti-ganti, namun belum ada langkah serius untuk memperbaiki kesejahteraan pekerja.
Undang-undang Cipta kerja, tak lebih buruk dari undang-undang yang lama, toh beberapa poin soal syarat PHK, PKWT dan outsourcing masih merujuk pada undang-undang yang lama, masih bersakit-sakit dahulu sampai sekarang.