Jika pada tahun 1990-an ramai penduduk menjadi pekerja kasar kala itu, pastilah kita akan mengingat slogan padat karya, sebuah produk ketenagakerjaan untuk menyokong rencana pembangunan lima tahun-an (Repelita), pada era pemerintahan orde baru.
Kerap disandingkan dengan praktik romusha dijaman Jepang, karena membludaknya pekerja yang rela dibayar dengan upah murah, untuk kepentingan korporasi asing maupun pemerintah pada saat itu.
"sing penting gawe" mungkin itu yang tertanam pada benak penduduk, yang mau tidak mau, harus mencukupi sandang, papan dan pangan anggota keluarga, selama sebulan, ya hanya sebulan!?.
Hal ini ternyata terulang dalam masa-masa pemerintahan setelahnya, dan saat ini, ditandai dengan pengesahan RUU Cipta Kerja, menjadi Undang-undang Cipta Kerja.
Jika ditelaah secara seksama, mirip dengan praktek ketenagakerjaan sejenis tanam paksa dan romusha dimasa lalu, yang mengendepankan kepentingan korporasi dan pemilik modal, ketimbang hak-hak pekerja itu sendiri, yang penting menyerap banyak tenaga kerja.Â
Koeli Ordonantie
Di masa penjajahan Hindia Belanda, praktek ini menyasar pada jenis pekerjaan kasar disektor perkebunan dan insfratruktur, bagaimana koorporasi asing bisa dengan culas dapat dengan mudah merampas tanah rakyat dan ulayat, dan memperlakukan pekerja semena-mena, tanpa reward dengan jenis hukuman diluar batas kemanusiaan.
Era kolonial, dengan terbitnya Keputusan Gubernur Jendral Hindia Belanda No. 138 tentang koeli ordonantie, maupun peraturan-peraturan setelahnya, adalah jalan panjang perbudakan di Nusantara, dan terbukti tidak berhasil meningkatkan standar hidup pekerja, apalagi mensejahterakan.
Perbudakan dan kapitalisme tempo doeloe dan saat ini memang terlihat berbeda, namun tetap dengan bentuk penindasan yang hampir sama, dan jika dimasa lalu praktek tersebut mampu memicu kebangkitan nasional untuk merdeka, mengapa saat ini masih dikemas dengan peraturan yang hampir serupa.
Istilah koeli, budak dan buruh, terkesan sebagai masyarakat kelas bawah dengan strata sosial rendah pada masa itu, padahal secara kuantitas dinegeri ini, buruh atau saat ini pekerja adalah mayoritas pemilik negeri ini.