Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Catatan Kecil dari Jagakarsa (Part 1)

26 Agustus 2020   16:03 Diperbarui: 26 Agustus 2020   16:00 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jagakarsa, September 2005.

Obrolan dikedai kopi, kata orang adalah bentuk paling tulus dalam budaya demokrasi, dari dulu hingga sekarang, segala opini dan pernyataan tentang kehidupan tumpah ruah dikedai kopi.

Selatan Jakarta, disebuah kedai kopi seberang kampus yang ramai mahasiswa, dua sahabat melepas penat dengan secangkir kopi, sebatang rokok dan semangkuk Indomie.

Asep dan Ujang terlibat dalam celotehan, dari soal asmara, Persib, gossip artis hingga politik dikedai kopi.

"Sep, masak dirumah udah pake gas?" Tanya Ujang yang baru saja menghabiskan semangkuk Indomie.

"Belum, si mamah masih takutan euy." Jawab asep.

"Bener ini teh kebijakan pemerintah sep?" Lanjut Ujang seraya membakar kretek 234 pertama nya.

Tanpa berpikir, Asep menjawab pasti,
"Saya mah pro sumpah, makanya ga ikut kamu demo-demo kemarenan."

Ujang menatap serius, kala hembusan asap kreteknya berhamburan, seraya menegaskan Ujang berbicara.
"Yeh..ya kan bukan cuma itu yang di demo."

Sebelum Ujang bertambah serius, Asep dengan cepat menjawab.

"Sibuk lah, banyak makalah sama lagi ngurusin si nina yang kemaren baru keluar pengajian NII, kudu ekstra hilangin dokrin-dokrin nya". Jawab Asep berusaha santai.

"Asal jangan diganti sama dokrin-dokrin MLM aja." Celetuk Ujang singkat.

Sore itu, beberapa kelompok mahasiswa berdatangan memesan kopi dan menenggak wishky, diantara kerumunan orang – orang dikedai kopi, ada dua orang mengambil duduk disebelah Asep dan Ujang, sebut lah mereka Aktivis Tua dan Aktivis Muda.

Mereka berkisah tentang patah hati pada Reformasi 1998 yang diagung-agungkan itu.

Aktivis Muda mulai membuka pembicaraan.
"Berjuta – juta orang beradaptasi dinegeri ini hanya mengikuti arus dan masih dapat hidup normal, mau presiden nya Soekarno, Soeharto, Susilo ataupun oo yang lain".

Sejenak menghisap rokoknya dia pun melanjutkan berbicara.

"Wacana akan pemimpin sipil yang didengungkan bakal merubah Indonesia setara Jepang, nyatanya masih menjadi bahasan – bahasan basi diseminar-seminar kebangsaan".

"Ya aku sih trauma sama Megawati." Ujar aktivis Tua memotong.

Tak mau dipotong, aktivis Muda setengah meninggi berbicara.

"karena kuatnya hegemoni militer dinegeri ini, pasti dan katanya sekuat apapun orang sipil duduk memimpin dan sehebat apapun rakyat yang mendorongnya akan selalu diganggu kepentingan-kepentingan masa lalu dan sulit lepas dari pengaruh para Jenderal atau mantan Jenderal".

Aktivis Tua menanggapi pernyataan dari aktivis Muda.

"Ternyata tak lebih dari seperti membakar padang belukar lalu membiarkan ular-ular dan serangga-serangga beracun bermunculan, lepas liar diantara realita pahit, bahwa tak pernah ada era tinggal landas itu."

"Lah iya sampe sekarang sudah 7 tahun setelah jatuhnya rezim tirani, rezim belukarmu itu, yang meskipun sudah dibakar, lambat laun akan tumbuh lagi, cepat atau lambat." Jawab aktivis Muda.

Aktivis tua setengah berorasi dalam obrolan hari itu.

Dia berkata "azas tunggal negara ini telah bertahun-tahun dipakai membantai ribuan orang yang menolak tunduk pada komando rezim otoriter, jadi saat rezim itu tumbang maka yang terjadi adalah timbulnya medan pertempuran orang-orang kalah dan yang dulu terkekang lalu mulai menancapkan ideologi-ideologi aneh pada anak-anak muda".

Menarik nafas tanpa menghisap rokok, lalu melanjutkan.

"Orang orang aneh yang berbicara berbicara demokrasi pancasila, kadang berbicara ideologi dan agama namun mengedepankan kepentingan segelintir kaum tapi mencatut dan mengatasnamakan rakyat lah, seluruh umat Islam lah, tanpa paham bahwa Pancasila itu basisnya adalah kebudayaan".

Asep dan Ujang yang sedari tadi mendengarkan, mulai penasaran untuk bertanya.
Disela – sela rasa penasarannya Ujang bertanya "Kemerdekaan berfikir dan berpendapat dilingkungan kampus, menjadikan bangsa ini kaya akan bibit - bibit konflik ideology dan perpecahan ga bang?"

" Tidak sepenuhnya benar, karena makin terjejali pikiran mahasiswa dengan berbagai paham – paham ideology yang militant dan radikal sekalipun, apabila mahasiswa tersebut punya lingkungan pembanding yang kontra akan pemikiran – pemikiran utopis, maka hanya akan terjadi try and error selama masa perkuliahan, hasilnya paska lulus kuliah yang tinggal hanyalah dongeng." Jawab aktivis Tua.

Tak mau kalah, aktivis Muda pun memberikan pandangan nya.
"lain cerita jika mahasiswa terafiliasi dengan organisasi sayap partai politik berkedok organisasi kemahasiswaan atau ormas dan yang lebih bahaya menjadi hedonis dan apatis kayak sekarang, karena kerugian terbesarnya adalah hilangnya momentum merasakan dinamika dan romantika mahasiswa sebagai mahluk yang merdeka secara pemikiran."

"Lah iya, bukan cuma merdeka di kost-kostan." Jawab Asep sambil melirik Ujang.

"Karena sejatinya mahasiswa wajib mengkritisi setiap kebijakan pemerintahan yang dirasa tidak relevan, mencaci maki koruptor, maling-maling itu loh dan bersuara sesuai kebenaran yang tidak memihak." Aktivis Tua mengakhiri.

"Abang bicara lebih lancar dari dosen ya". Puji Asep kepada kedua aktivis itu.

Menjelang magrib, saat beberapa mahasiswa mulai meninggalkan kedai kopi dan berganti mahasiswa lain yang datang, obrolan mereka seolah tak ada ujung.

Seorang mahasiswa tingkat akhir ikut beropini dalam obrolan mereka.

"Kelak yang namanya aksi mahasiswa, mau itu demo, seminar bahkan bakti desa, tak akan terlihat keren lagi. Imbuh nya.

"Kenapa bang ?" Tanya Asep.

"Kamu tak liat di TV , tak baca di koran, berserak-serak tokoh politik dan pengamat politik yang tampil menggerus peran mahasiswa." Jawab nya.

"Bisa jadi". Singkat aktivis Muda bersuara.

Gelas kopi ke-empat telah habis diminum Ujang, beranjak dari tempat duduknya sambil menarik Asep, Ujang pun bergegas pamit.

"Makasih bang sharing-sharing nya nih, kita jalan duluan ya". Ujar Ujang sembari pergi berlalu bersama Asep.

"Kenapa udahan Jang kan kamu suka obrolan beginian". Tanya Asep.

"Pegel otak aing Sep.." jawab Ujang seraya mempercepat langkahnya.

Dalam lantunan adzan magrib, kedua sahabat menghilang didalam belantara Jagakarsa, mereka mendapatkan trigger yang menambah rasa penasaran, tentang opini yang harus dicari kebenarannya, tentang rangkaian pernyataan yang harus dibuktikan dimasa depan.

Masihkah keren, aksi Politik Mahasiswa.?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun