Hingga saat ini masyarakat dihadapkan pada kenyataan bekerja untuk menerima gaji yang dihitung berdasarkan standar hidup layak, tanpa menyadari dalam sistem global tak ada yang bisa keluar dari prinsip pareto dimana 80% kekayaan hanya dikuasai 20% Populasi.
Bisa dibilang saat kita merasa kaya dan merasa bagian dari 20% populasi tersebut, maka kenyataannya dibelahan dunia lain ada orang yang 1000 kali bertambah kaya. Maka jangan bangga saat UMR Karawang menjadi yang terbesar dari wilayah lain di Indonesia karena ada banyak orang diluar sana yang dalam 1 jam penghasilannya setara pendapatan 2 juta pekerja Karawang dalam sebulan.
Beruntung budaya kita tidak melulu berorientasi pada materialism yang meskipun dengan segala keagungannya, budaya ini belum dipandang sebagai sesuatu yang penting untuk mengisi tatanan bernegara bangsa kita.
Sebut saja saat kita berbicara Trias Politica, Buhun kita sudah berbicara tentang Tri Tangtu. Saat kita berbicara tentang otonomi daerah, Buhun kita sudah bicara tentang "ciri sabumi cara sadesa", dan saat kita berbicara pengentasan kemiskinan, Buhun kita sudah berpepatah "nulung kanu butuh nalang kanu susah". Dan lain sebagainya, beragam kearifan lokal yang sarat akan kebajikan.
Karawang lepas dari nilai sejarahnya sebagai wilayah perdagangan dan pelabuhan penting dinusantara (wan Chen 220-280M, Tome pires 1512-1515M) hingga menjadi "Lumbung Padi Nasional" dizaman Orde Baru, sejatinya ditunjang wilayah geografis yang lengkap, mulai dari pantai yang membentang dari Cilamaya hingga tanjung pakis, sungai Citarum, gunung Sanggabuana, lahan pertanian (yang sebagian sudah jadi perumahan), kawasan industri yang tersebar di setiap sudut wilayah.
Kurang apalagi untuk modal berkompetisi dalam membangun kesejahteraan masyarakatnya? Kurang apalagi untuk berdiri setara Jakarta?
Apakah pepatah "ulah agul ku payung butut" begitu meresap dalam kepribadian masyarakat Karawang? Karena tak ada alasan untuk tidak percaya diri.
Sebuah refleksi klise menjelang Peringatan Kemerdekaan Indonesia selalu diberikan narasi seperti ini ;
Lalu benarkah kita benar benar merdeka seutuhnya? Secara Politik, Hukum, Ekonomi, Sosial dan Budaya?
Lantas apakah kita sudah lepas dari penjajahan oleh bangsa sendiri seiring tumbangnya orde baru?
Pertanyaan-pertanyaan yang selalu memberikan trigger setiap tahunnya, sampai tilas tergilas rutinitas.
Kita sendiri yang menentukan nilai kemerdekaan saat ini untuk apa? Menjadi sejarah usang yang tergilas dogma-dogma liberal yang individualism atau mengembalikan makna bhineka tunggal Ika yang akan kita jalani bersama dimasa depan.
Dirgahayu Indonesia.. Panjang Umur Kemerdekaan..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H