Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Karawang Pangkal Perjuangan; Kami Lebih Dulu Merayakan Kemerdekaan!

15 Agustus 2020   13:18 Diperbarui: 16 Agustus 2020   01:01 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak terbitnya putusan kongres pemuda pemuda Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928, hingga saat Jepang menyerah pada Sekutu 14 Agustus 1945, bangsa ini tak kunjung mendeklarasikan kemerdekaan nya.  Hal ini memicu pertentangan diantara pejuang yang ingin segera menyatakan kemerdekaan tanpa menunggu tanggal yang dijanjikan kekaisaran Jepang.

Peristiwa Rengasdengklok Karawang menjadi tonggak sejarah, bagaimana akhirnya Ir Soekarno dan M Hatta bersedia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Sehari sebelumnya pada tanggal 16 Agustus 1945 di Rengasdeklok Karawang, bendera Jepang diturunkan, tentara Jepang dilucuti dan Merah Putih berkibar dibumi Indonesia. Sebuah perayaan mesra sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Hingga Soekarno Hatta kembali ke Jakarta dan menyusun teks proklamasi lalu membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945. Gema proklamasi kemerdekaan Indonesia terus merambat dari Sabang sampai Merauke, memicu perlawanan-perlawanan terhadap sekutu yang ingin mengembalikan kedaulatan Indonesia pada Belanda.

Sebutlah bagaimana aceh berjasa menyuarakan proklamasi kemerdekaan melalui radio rimba raya, perlawanan rakyat Sumatra dalam Medan Area, perlawanan Gerilya Kalimantan, Perang Puputan dibali dan masih banyak lainnya,  hingga Papua yang melakukan perlawanan melalui Partai Kemerdekaan Indonesia Irian 1946.

Pahlawan pahlawan lahir dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan, antara tahun 1946 - 1949 seluruh kisah sejarah perlawanan bersenjata dan diplomasi yang ter-epic dan yang mungkin terlupakan adalah serangkaian fakta fakta yang menjamin generasi saat ini bisa tertidur nyenyak tanpa menjalani hari hari dengan penindasan dan penghambaan terhadap kaum kolonial Eropa.

Setelah pengakuan Belanda ditahun 1949, bangsa ini harus menanggung hutang kolonial Hindia Belanda sebesar 4.5 Milyar Gulden dan membayarnya hingga 1956 sebesar 4 Milyar Gulden, alih alih kecewa dengan belanda yang tidak kunjung membebaskan Irian barat, Ir Soekarno melakukan langkah berani untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda ditanah air dan berhenti melakukan pembayaran demi martabat sebuah bangsa.

Hingga pada 1967 masa-masa jatuhnya kekuasaan Ir Soekarno, Belanda menekan Indonesia untuk membayar sisa hutang yang belum dibayarkan dengan jumlah 600 juta Gulden yang baru selesai pembayarannya ditahun 2002. Bisa dibilang secara Ekonomi kita baru lepas dari penjajahan Belanda ditahun 2002 yakni Era Reformasi. 

Di era Orde Lama, untuk menghapus jejak kolonial Belanda yang sudah mendarah daging, simbol-simbol yang menggambarkan penguasaan Eropa mulai digantikan dengan konten yang mencerminkan kebhinekaan dari mulai lambang kota, provinsi hingga patung Dewi keadilan yang diganti pohon beringin sebagai simbol hukum.

Namun sejatinya sistem hukum yang kita pakai di Indonesia sebagian besar masih berupa warisan kolonial Belanda, meskipun sudah ada usaha perubahan namun nyaris tak ada keberanian dan terobosan berarti untuk melaksanakan perubahan sistem hukum sesuai dengan Dekrit Presiden 1959 (Bebas dari kolonial, Kembali ke UUD’45).

Sejak Rezim Orde baru, secara sadar bangsa ini sepakat untuk menelan sebuah sistem ekonomi global, dimana kita tenggelam didalam nya dengan segala konsekuensi nya. Tak ayal pilihan ini pun membawa Rezim Orde baru tumbang karena tak pandai bermain lalu kalah dalam percaturan ekonomi global, kita mengenal nya dengan krisis moneter.

Hingga saat ini masyarakat dihadapkan pada kenyataan bekerja untuk menerima gaji yang dihitung berdasarkan standar hidup layak, tanpa menyadari dalam sistem global tak ada yang bisa keluar dari prinsip pareto dimana 80% kekayaan hanya dikuasai 20% Populasi.

Bisa dibilang saat kita merasa kaya dan merasa bagian dari 20% populasi tersebut, maka kenyataannya dibelahan dunia lain ada orang yang 1000 kali bertambah kaya. Maka jangan bangga saat UMR Karawang menjadi yang terbesar dari wilayah lain di Indonesia karena ada banyak orang diluar sana yang dalam 1 jam penghasilannya setara pendapatan 2 juta pekerja Karawang dalam sebulan.

Beruntung budaya kita tidak melulu berorientasi pada materialism yang meskipun dengan segala keagungannya, budaya ini belum dipandang sebagai sesuatu yang penting untuk mengisi tatanan bernegara bangsa kita.

Sebut saja saat kita berbicara Trias Politica, Buhun kita sudah berbicara tentang Tri Tangtu. Saat kita berbicara tentang otonomi daerah, Buhun kita sudah bicara tentang "ciri sabumi cara sadesa", dan saat kita berbicara pengentasan kemiskinan, Buhun kita sudah berpepatah "nulung kanu butuh nalang kanu susah". Dan lain sebagainya, beragam kearifan lokal yang sarat akan kebajikan.

Karawang lepas dari nilai sejarahnya sebagai wilayah perdagangan dan pelabuhan penting dinusantara (wan Chen 220-280M, Tome pires 1512-1515M) hingga menjadi "Lumbung Padi Nasional" dizaman Orde Baru, sejatinya ditunjang wilayah geografis yang lengkap, mulai dari pantai yang membentang dari Cilamaya hingga tanjung pakis, sungai Citarum, gunung Sanggabuana, lahan pertanian (yang sebagian sudah jadi perumahan), kawasan industri yang tersebar di setiap sudut wilayah.

Kurang apalagi untuk modal berkompetisi dalam membangun kesejahteraan masyarakatnya? Kurang apalagi untuk berdiri setara Jakarta?

Apakah pepatah "ulah agul ku payung butut" begitu meresap dalam kepribadian masyarakat Karawang? Karena tak ada alasan untuk tidak percaya diri.

Sebuah refleksi klise menjelang Peringatan Kemerdekaan Indonesia selalu diberikan narasi seperti ini ;
Lalu benarkah kita benar benar merdeka seutuhnya? Secara Politik, Hukum, Ekonomi, Sosial dan Budaya?
Lantas apakah kita sudah lepas dari penjajahan oleh bangsa sendiri seiring tumbangnya orde baru?
Pertanyaan-pertanyaan yang selalu memberikan trigger setiap tahunnya, sampai tilas tergilas rutinitas.

Kita sendiri yang menentukan nilai kemerdekaan saat ini untuk apa? Menjadi sejarah usang yang tergilas dogma-dogma liberal yang individualism atau mengembalikan makna bhineka tunggal Ika yang akan kita jalani bersama dimasa depan.

Dirgahayu Indonesia.. Panjang Umur Kemerdekaan..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun