Mohon tunggu...
Indra Darmawan
Indra Darmawan Mohon Tunggu... Administrasi - Reguler Citizen

Ciptaan Tuhan | Greedy for Knowledge | Peaceful Life Seeker | Author of My Life's Story

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ekonomi Ilmu Sedih (?)

16 Oktober 2015   01:00 Diperbarui: 16 Oktober 2015   01:53 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meredefinisi Ilmu Ekonomi (sebagai Ilmu Sedih)

Ekonomi dikenal sebagai the dismal science. M. Chatib Basri memadankan istilah tersebut dengan padanan ‘ilmu yang sedih’ karena –menurutnya– ilmu ekonomi lebih banyak memprediksi krisis daripada kemakmuran. Untung saja, beliau tidak memadankannya dengan istilah ‘ilmu yang menyedihkan’ atau ‘ilmu tentang kesedihan.’ Hehe...

Secara substansial, penyebutan ilmu ekonomi sebagai ‘ilmu yang sedih’ disebab ada unsur yang berpotensi membuat sedih seperti halnya krisis ekonomi, kiranya benar. Namun secara sabab an-nuzul, penjelasan M. Chatib Basri kurang tepat.  

Istilah the dismal science sendiri pertama kali diujarkan oleh seorang esais Skotlandia, Thomas Carlyle dalam tulisannya. The dismal science dimaksudkan sebagai istilah lawan dari gay science yang diturunkan dari ungkapan gai sober yang menjelaskan kecakapan khusus yang harus dimiliki oleh seorang pujangga. Versi umum yang dha’if menjelaskan bahwa istilah tersebut merupakan respons terhadap pemikiran T.R. Malthus yang menganggap laju pertumbuhan penduduk memiliki dampak yang buruk. Malthus menerangkan bahwa pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur sedangkan laju pertumbuhan pangan mengikuti deret hitung. Akibatnya, hal tersebut selanjutnya akan memicu kemiskinan dan kesulitan-kesulitan ekonomi akibat ketidakstabilan kebutuhan pangan yang diminta dengan ketersediaan bahan pangan.

Namun demikian, sejatinya Thomas Carlyle mengujarkan istilah the dismal science sebagai deskripsi sindiran terhadap ilmu ekonomi bukan karena pendapat Malthus mengenai teorinya tentang korelasi kependudukan dan kemiskinan. Versi yang lebih shahih menjelaskan bahwa Thomas Carlyle sedang mengkritik kebijakan anti-perbudakan yang kala itu diperlakukan oleh Inggris. Kebijakan anti-perbudakan tersebut membuat para pengusaha dirugikan karena mereka harus memperlakukan budak yang bekerja sebagai karyawan. Budak-budak tersebut harus digaji dengan layak, tidak boleh lagi diperlakukan sewenang-wenang sewaktu dipekerjakan.

Budak harus ditempatkan sebagai manusia yang memiliki derajat yang sama dan sepadan. Ekonom John Stuart Mill berargumentasi bahwa seharusnya pasar tenaga kerja didorong dengan interaksi permintaan dan penawaran, bukan dengan pemaksaan budak untuk bekerja. Oleh karenanya, Thomas Carlyle beranggapan melalui istilah satirenya bahwa ekonomi merupakan ilmu yang sedih karena membuat para pengusaha sedikit banyak dirugikan dengan kebijakan tersebut.

Antitesis Versi Dha’if

Pemikiran T.R. Malthus menganggap bahwa semakin bertambahnya populasi manusia berdampak kurang baik terhadap keadaan ekonomi masyarakat tersebut. Hal itu dikarenakan pertumbuhan pasokan makanan tidak bisa mengimbangi cepatnya pertumbuhan populasi manusia.

Terhadap pendapat Malthus, banyak pemikir yang pro, kontra, maupun bersikap moderatif (tidak sepenuhnya membenarkan atau pun menyalahkan, tapi lebih kepada mengoreksi apa yang kurang tepat dan membiarkan apa yang sudah benar). Yang tidak setuju seperti Karl Marx dan Fried Engels berpendapat bahwa kemiskinan terjadi bukan karena tekanan sumber bahan makanan, melainkan karena tekanan kesempatan lapangan kerja yang dikuasai kaum kapitalis. Sedikit berbeda dengan Karl Marx dan Fried Engels, John Stuart Mill menerima kebenaran bahwa laju pertumbuhan penduduk selalu lebih cepat dari laju pertumbuhan bahan pangan. Namun ia mengoreksi pada situasi tertentu manusia akan beradaptasi dengan sendirinya dan memengaruhi perilaku demografinya.  

Pandangan Agama

Terdapat ungkapan yang cukup populer dalam masyarakat: banyak anak banyak rezeki. Ungkapan ini bisa jadi merupakan implikasi langsung dari dalil-dalil Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang menganjurkan untuk berketurunan. Bahkan, Nabi Saws. sendiri akan berbangga dengan ummatnya apabila jumlahnya banyak. Salah satu ayat Al-Qur’an yang menganjurkan untuk mempunyai keturunan yang banyak adalah sebagai berikut,

فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ

Artinya: “Maka sekarang campurilah mereka (istri-istri) dan carilah/harapkanlah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 187)

Ibnu Katsir mengutip perkataan Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Anas, Syuraih Al-Qadhi, Mujahid, dan yang lainnya menafsiri maa kataba Allah lakum (apa yang telah ditetapkan Allah untukmu) sebagai anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun