Orang tuanya memberikan nama Kante terinspirasi dari raja dari kerajaan Bambara di Mali bernama N'Golo Diarra. Diarra ini dulunya seorang budak yang akhirnya bisa menjadi orang bebas dan menggulingkan raja dzalim.
Ada pesan kuat dari orang tua Kante memberikan nama anaknya raja Mali tersebut. Mereka berharap Kante kelak mampu menaklukkan dunia, keinginan yang akhirnya bisa terwujud.
Sebagai imigran, Kante tinggal di pinggiran Paris. Ia dibesarkan di apartemen kecil di Rueil-Malmaison, Hauts-de-Seine.
Di apartemen kecil itu, orang tua Kante tinggal bersama kedelapan anaknya. Ayah Kante hanya bekerja sebagai tukang batu. Di saat usianya menganjak remaja, Kante mendapat cobaan hidup.
Ayah Kante meninggal dunia saat usianya menginjak 11 tahun. Kondisi ini membuat keluarga banyak anak timpang. Ibu Kante pun terpaksa berperan ganda.
Untuk bisa menghidupi kedelapan anaknya, ibunda Kante bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART). Sejak usia 11 tahun, Kante hanya fokus berjuang hidup bersama ibu dan saudara-saudaranya.
Berstatus jadi anak yatim, Kante pun sesaat melupakan hobinya bermain bola. Padahal di usia 8 tahun, Kante menimba ilmu sepak bola di akademi JS Suresnes di pinggiran kota Paris.
Satu tahun sebelumnya, Piala Dunia 1998 Prancis yang membuat Kante membulatkan tekad untuk menimba ilmu sepak bola.
Seperti kebanyakan anak yang berasal dari keluarga tak mampu, sepak bola bagi Kante ialah jalan untuknya bisa hidup lebih baik.
Namun kenyataan hidup membuat Kante sadar bahwa sepak bola di awal bukan jadi jalan untuk keluar dari kemiskinan. Kante pun fokus pada pendidikan dan ia belajar akuntansi di perguruan tinggi.
Lulus dari perguruan tinggi, untuk menyambung hidup ia dan keluarganya, Kante bekerja sebagai akuntan. Kante merasa memiliki kemampuan baik di bidang akuntansi.