Tak ada yang lebih menyakitkan bagi pendukung dua tim Merah asal Inggris, Manchester United dan Liverpool mengawali pekan ini. Pembantaian Red Devils dan The Reds Senin (5/10/2020) dinihari tadi membuat pekan ini jadi kelabu buat para pendukung tim ini.
Tak bisa dipungkiri pendukung Liverpool tentu awalnya berkoar-koar di sosial media saat United kalah memalukan 6-1 dari Tottenham Hotspur di Old Trafford. Selang beberapa jam kemudian, hasil 7-2 di Villa Park, mau tak mau membuat para pendukung The Reds harus masuk ke dalam gua bersama fan United.
Memang tak ada yang menyangka dua tim ini alami pembantaian di pekan keempat Liga Inggris. Untuk United misalnya, sebagaian besar mungkin memprediksi anak asuh Ole Gunnar Solskjaer hanya kalah dari Spurs, tapi tidak dengan setengah lusin gol bersarang. Permainan United melawan Spurs tidak ada yang berubah seperti pekan-pekan sebelumnya.
Lini belakang keropos, tak memiliki koordinasi jelas, kehilangan fokus. Lini tengah minim kreativitas dan tak punya daya juang. Kondisi yang membuat lini depan tak bisa berbuat banyak karena aliran bola tersendat. Kebodohan Luke Shaw, Eric Bailly dan Harry Maguire membuktikan bahwa secara keseluruhan pemain United bermain layaknya tim amatir.
Enam gol yang bersarang ke gawang David de Gea bisa dibilang murni dari kesalahan para pemain belakang United dan taktik yang diterapkan Solskjaer pasca timnya bermain 10 orang.Â
Gol pertama jelas kesalahan dari Shaw dan Maguire, begitu juga dengan gol pertama Son Heung-min. Keluarnya Martial karena kartu merah juga menunjukkan ketidakmampuan Solskjaer meramu taktik di kondisi tim tengah tertekan.
Pelatih asal Norwegia itu masih menahan untuk memasukkan pemain pengganti untuk menopang lini tengah saat Martial keluar. Hasilnya dua gol berhasil dicetak oleh Son dan Harry Kane. Gol ketiga dan keempat Spurs terbukti kreasi pemain Spurs memanfaatkan celah kosong di sisi kiri permainan United.
Keputusan Solskjaer dengan memasukkan Matic mengganti McTominay serta Bruno Fernandes dengan Fred di awal babak kedua juga keliru. Matic dan Fred merupakan tipikal pemain sejenis.Â
Memasukkan dua pemain itu artinya Solskjaer hanya ingin United tak kebobolan lagi. Mental untuk comeback di kondisi tertinggal tidak diinginkan Solskjaer.
Terakhir keputusan Solskjaer yang sangat keliru di laga tadi malam tadi tentu saja memasukkan Donny van de Beek di kondisi United sudah tertinggal 6 gol. Bermain sejak menit ke-68, eks pemain Ajax itu lepaskan passing akurat mencapai angka 90,9 persen, lebih tinggi dibanding Nemanja Matic.
Data Whoscoted mencatat van de Beek mendapat rating 6.32 sedangkan Matic hanya memiliki rating 5.55. Mengapa Solskjaer baru memasukkan van de Beek di kondisi timnya sudah tak mungkin lagi mengejar ketertinggalan?
Untungnya bagi fan United, selang beberapa jam kemudian rival abadi mereka Liverpool menerima hasil lebih pahit. Melawan Villa di Villa Park, pasukan Juergen Klopp menyerah dengan skor mencolok 7-2.
Hasil ini membuat The Reds mengulang catatan buruk 57 tahun lalu. Liverpool pada April 1963 juga pernah kalah 2-7 dari Tottenham Hotspur.
Bermain di White Hart Lane, The Reds yang saat itu diperkuat oleh Roger Hunt hancur lebur. Tujuh gol kemenangan Spurs dicetak oleh empat gol Jimmy Greaves, dua gol Cliff Jones dan satu gol Frank Saul. Liverpool membalas dua gol lewat aksi Roger Hunt.
Selain itu, menurut catatan Opta, kekalahan telak ini membuat Liverpool menyamai Arsenal yang kalah telak tujuh gol dengan status juara bertahan Liga Inggris. Arsenal mengalami kekalahan tersebut pada September 1953.
Terakhir, kekalahan 2-7 dari Aston Villa ini membuat Virgil van Dijk dkk telah kebobolan sebanyak 11 gol dari 4 pertandingan di Liga Inggris musim ini. Ini catatan gol kebobolan terbanyak sejak 1937-38.
Memori Buruk Satu Abad Silam Dua Tim Merah
Pembantaian dua tim merah dinihari tadi mengingatkan pada skandal yang melibatkan mereka satu abad silam, tepatnya pada 1915. Pada musim itu, United dan Liverpool terlibat skandal pengaturan skor. Kapten Liverpool saat itu yang juga eks pemain United, Jackie Sheldon dituding jadi otak dari praktek jahat ini.
Keinginan untuk melakukan pengaturan skor dilakukan pemain kedua tim karena didorong kegelisahan soal masa depan mereka sebagai pemain. Maklum saja saat itu, Eropa tengah diguncang Perang Dunia I. Suasana ketidakpastian muncul di benak para pesepak bola. Apakah mereka bisa melanjutkan karier di lapangan hijau atau dikirim ke medan perang dan pulang menjadi mayat.
Dikutip dari catatan bbc, sejumlah pemain Liverpool dan United kemudian melakukan pertemuan di pub The Dong and Partridge di kota Manchester. Para pemain membahas pengaturan hasil lag saat kedua tim bermain di laga tandang dan kandang. Tujuannya tentu saja mendapat uang dari rumah judi.
Pemain kedua tim yang ikut dalam pertemuan tersebut adalah Jackie Sheldon, Thomas Fairfoul, Bob Pursell, dan Tom Miller dari kubu The Reds. Dari kubu Red Devils diwakili Sandy Turnbull, Enoch West, dan Arthur Whalley. Dua tim tersebut pada musim itu memang berada di kondisi tidak bagus.
Liverpool berkutat di papan tengah sedangkan United tengah berjuang untuk lolos dari juarang degradasi. Parahnya lagi dua tim ini juga tengah tertekan karena tim tetangga mereka, Everton dan Manchester City berada di kondisi sebaliknya. Everton di pemuncak klasemen, sedangkan City berada di empat besar.
Keputusan dari pertemuan sudah diputuskan. United nantinya di Old Trafford akan menang saat hadapi Liverpool. Hal itu terbukti benar, hadapi Liverpool di hari Jumat Agung 1915, United menang 2-0. Pemain United, George Anderson memborong dua gol United.
Uniknya saat Anderson mencetak gol, rekan-rekannya biasa saja. Ya, Anderson sendiri memang tak tahu menahu dengan kesepakatan rekan-rekannya untuk mengatur hasil laga. Dari pemain Liverpool saat itu juga hanya satu orang yang tidak tahu soal skandal tersebut yakni Fred Pagnam.
Pagnam jadi satu-satunya pemain Liverpool yang berusaha keras saat timnya tertinggal oleh gol Anderson. Salah satu peluang emas di dapat Pagnam terjadi di menit akhir laga, sepakannya membentur tiang gawang United. Namun bukan pujian yang didapat, ia justru dimarahi oleh rekan-rekannya yang lain.
Usai pertandingan, desas desus pun menguak ke permukaan. Muncul selebaran gelap di jalanan kota Liverpool dan Manchester bahwa hasil laga sudah diatur. Pihak FA dan kepolisian pun langsung turun tangan. Dua pemain, George Anderson dan Fred Pagnam belakangan diketahui menjadi saksi kunci melawan praktek jahat rekan-rekannya tersebut.
Ternyata dalam investigas kepolisian juga menunjukkan ada satu pemain yakni Billy Meredith yang menaruh curiga pada hasil tersebut. Meredith pada akhirnya juga memberi kesaksian bahwa saat laga tidak ada rekannya yang mau memberikan bola kepadanya.
FA akhirnya memiliki keputusan. 27 Desember 1915 atau 9 bulan setelah laga, FA memutus bersalah tujuh pemian kedua tim. Tujuh pemain yang hadir di pub The Dong and Partridge dihukum bersalah dan dilarang beraktifitas di sepak bola seumur hidup. Enoch West jadi pemian yang berusaha berjuang untuk memprotes keputusan tersebut.
Namun hingga ia pensiun, FA tak mengabulkan permintaan West. Sementara enam pemian lainnya, Sheldon, Fairfoul, Pursell, Miller, Turnbull, dan Whalley akhrinya malah dikirim ke medan perang.
Menariknya keputusan keenam pemain tersebut untuk turun ke medang perang dunia I justru pada akhirnya membuat FA mengubah hukuman seumur hidup. Hal itu lantaran desakan dari banyak pihak karena lima pemain itu telah berjasa untuk Inggris.Â
Sheldon, Pursell, Miller dan Whalley bisa kembali bermain pada 1919, Turnbull terbunuh di Prancis, sedangkan West harus menunggu hingga usai Perang Dunia II untuk FA mencabut hukuman seumur hidup kepadanya. Saat hukuman dicabut, usianya sudah 59 tahun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H