Mohon tunggu...
Galih Prasetyo
Galih Prasetyo Mohon Tunggu... Lainnya - pembaca

literasi

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Menjadi Suporter Perempuan di Tengah Hegemoni Sepak Bola Milik Laki-laki

27 November 2018   20:39 Diperbarui: 27 November 2018   20:54 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepakbola identik sebagai olahraga maskulin - olahraga yang identik dengan kaum laki-laki - melihat pesepakbola perempuan, wasit perempuan, petinggi klub perempuan, hingga suporter perempuan jadi sesuatu yang 'aneh'. Bias gender pun akan selalu muncul ke permukaan saat kaum Hawa ini menonjol di tengah gemerlap panggung sepakbola. Pembahasan yang dimunculkan rata-rata hanya menampilkan sisi kecantikan hingga keseksian.

Bahkan jika kita mencari kata suporter sepakbola di sosial media atau mesin pencari Google, mayoritas foto yang disajikan ialah gambar perempuan tengah menggunakan jersey sepakbola yang tampak seperti menyusut karena habis dicuci.

Selain itu, bagi kebanyakan orang jika melihat perempuan menyukai sepakbola terbangun pemikiran bahwa mereka paling tidak paham betul permainannya tapi suka bola karena tampang rupawan para pesepakbola. Ini stereotip yang terbangun di banyak tempat, termasuk di Indonesia.  Stereotip ini makin diperkuat juga oleh banyak pembahasan di media.

Getty Images misalnya seperti dikutip bbc.co.uk pada perhelatan Piala Dunia 2018 lalu sempat menerbitkan galeri foto dengan judul 'Fans terpanas di Piala Dunia', tentu saja isi fotonya berisi para suporter perempuan dari sudut pandang keseksian. Belakangan galeri foto ini kemudian dihapus karena menimbulkan protes dari sejumlah suporter perempuan.

"Sangat mengecewakan media yang seharusnya bisa meruntuhkan stereotip itu malah terus mengembangkan cerita lama yang membosankan," kata salah satu suporter perempuan Leicester City.

Akibat rasa muak tentang framming media dan anggapan masyarakat terhadap hal ini, sejumlah suporter perempuan di Inggris mencoba untuk membuat saluran informasi tersendiri. Mereka membuat website khusus yang bertujuan untuk menunjukkan eksistensi mereka sebagai suporter perempuan dan jadi saluran informasi meruntuhkan stereotip terhadap suporter perempuan.

Website tersebut bernama thisfangirl.com yang digagas oleh dua suporter perempuan bernama Amy dan Laura, dua suporter Leicester City. "Sepanjang 2016 hingga 2017, kami berdua berkeliling Inggris dan bertemu banyak suporter perempuan lalu mendokumentasikan itu semua. Kami ingin mengangkat bahwa suporter perempuan juga bagian tak terpisahkan dari suporter laki-laki," kata Amy.

Sementara itu, di belahan bumi lain suporter perempuan malah sampai harus berjuang hidup dan mati demi bisa menoton laga sepakbola di stadion. Di Iran misalnya sejak 1980 pemerintah melarang keras perempuan bersentuhan langsung dengan sepakbola. Bagi suporter perempuan di Iran memberanikan diri untuk datang ke stadion dan menonton pertandingan sepakbola yang dimainkan pemain laki-laki sama saja merelakan diri mereka masuk ke dalam bui.

Tekanan terhadap Iran agar tak menerapkan aturan yang dinilai sebagian kalangan sangat diskriminatif tersebut berlangsung sampai detik ini. Pada Piala Dunia 2018 lalu, pemerintah Iran sempat membuat kaget publik dunia saat mengizinkan siaran nonton bareng Iran vs Spanyol di Stadion Azadi, Teheran. Siaran nonton bareng ini juga memperbolehkan para suporter perempuan menghadirinya, sayang sehari sebelum pertandingan pemerintah Iran mengumumkan ke publik acara tersebut dibatalkan.

"Pertandingan Iran vs Spanyol tidak akan disiarkan di Stadion Azadi karena kesalahan teknis. Kami menghimbau warga tercinta untuk tidak datang ke stadion," bunyi pengumuman pemerintah Iran yang disiarkan dari kantor berita Tasnim.

Pada era kepemimpinan Mahmoud Ahmadinejad, pemerintah Iran sempat untuk mengkaji aturan yang berlaku pasca kemenangan Revolusi Islam, namun kemudian niat Ahmadinejad tersebut mendapat banyak kritik dan kajian untuk mencabut larangan tersebut pun urung terlaksana.

Pada 2006, sineas Iran, Jafar Panahi bahkan sempat mengangkat hal ini dalam bentuk film. Film yang berjudul 'Offside' tentu saja mendapat respon positif dari suporter sepakbola perempuan di sana, namun bagi pemerintah itu sama saja aksi pembangkangan. Film ini sendiri dilarang disiarkan di Iran.

Di Indonesia perlakuan tak mengenakkan juga dialami suporter perempuan meski kadarnya masih sangat jauh berbeda dibanding di Iran. Salah satu suporter perempuan, Isabella Angelita beberapa waktu lalu sempat mengatakan kepada saya bahwa anggapan aneh masih ia terima saat menonton langsung sepakbola di dalam stadion.

"Ini pengalaman sendiri dan teman-teman juga, jika ada perempuan datang ke stadion dianggap hal negatif. Berharap ke depannya, orang-orang yang menganggap negatif perempuan yang datang ke stadion itu jaga mulutnya. Karena kita perempuan sama dengan laki-laki, sama-sama ingin menonton bola" kata mahasiswi yang berkuliah di Jerman itu.

Lebih jauh perempuan yang sudah mencintai Persebaya Surabaya sejak duduk di bangku SMP itu mengatakan agar suporter perempuan yang datang ke stadion juga bisa menahan diri tidak berbuat aneh-aneh karena di dalam stadion ada juga suporter laki-laki yang haus kasih sayang lantas melihat suporter perempuan dari pemikiran negatif.

Menjadi seorang suporter bagi perempuan memang bukan perkara mudah, di beberapa tempat suporter perempuan memiliki tantangannya tersendiri. Acapkali aksi kekerasan yang biasanya terjadi antar suporter laki-laki juga harus menimpa suporter perempuan, teranyar yang kita tahu tentu saja aksi pengeroyokan suporter Timnas Malaysia ke suporter Myanmar dimana korbannya ada juga suporter perempuan.

Serangan yang dilakukan suporter Malaysia ke suporter Myanmar tidak hanya fisik, namun juga dalam bentuk serangan verbal yang khusus ditujukan ke suporter perempuan Myanmar. Fox Sports Asia melaporkan ada 20 suporter suporter Myanmar yang mengalami kejadian tak mengenakkan tersebut.

Jika melihat kasus ini dari kacamata pemikiran biar gender, sebagian publik tentu saja akan langsung menyalahkan si suporter perempuan yang jadi korban. Akan muncul pernyataan-pernyataan seperti, "Siapa suruh perempuan datang ke stadion, yah itu akibatnya. Sepakbola kan emang keras," pernyataan yang acapkali juga digaungkan saat terjadinya pelecahan seksual atau pemerkosaan. Perempuan selalu berada di posisi yang salah, sudah korban, disalahkan pula.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun