Laporan dari laborrights.org, negara India dan Pakistan merupakan dua negara yang menyerap pekerja anak terbesar di industri rumahan bola kaki. Di Pakistan ada satu kota yang dikenal sebagai tempat industri terbesar bola kaki, yakni Sialkot. Di kota yang memiliki luas 19 km persegi ini, industri rumahan bola kaki menghasilkan 60 juta bola per tahun atau 70 persen dari total produksi bola di seluruh dunia.
Berbeda dengan kota-kita di Pakistan yang sepanjang 2007 diguncang bom bunuh diri para terorisme, Sialkot cukup aman untuk masyarakatnya. Namun dibalik amannya kota ini, di sejumlah pelosok daerah di kota ini kita akan menemukan sangat banyak industri rumahan yang memproduksi bola untuk kelak di tendang, di sundul, ditangkap oleh pemain top dunia seperti Ronaldo, Messi, atau de Gea.
Tidak hanya menjamurnya industri rumahan bola sepak di Sialkot, di kota ini juga berdiri sebuah pabrik bernama Forward Sports Factory yang dimiliki seorang penguasaha Pakista bernama Khawaja Akhtar Masood. Pabrik ini seperti dikutip dari roadsandkingdoms.com menjadi produksi bola sepak yang dijual oleh appareal kenamaan Adidas.
Pabrik ini berdiri di pinggiran Sialkot tepatnya di jalan Sambrial yang berlokasi tak jauh dari kawasan Grand Trunk Road, sebuah jalur dagang yang dikenal berabad-abad lampau karena menjadi jalur perdagangan untuk para saudagar dari Afganistan dan sekitarnya menuju ke Dhaka, Bangladesh.
Tiap harinya pabrik ini memproduksi 18 ribu bola yang dipasok untuk kebutuhan pertandingan di Major League Soccer (MLS) Amerika Serikat, Bundesliga Jerman, hingga Liga Champions. Awalnya pabrik ini memang hanya memproduksi peralatan olahraga yang untuk pasar Pakistan sendiri, namun kemampuan lobby dari Masood membuat ia mampu menembus pasar Eropa dan dunia. Â
Angka tersebut tentu sangat fantastis, Pakistan yang tak memiliki akar budaya sepakbola dan masyarakatnya lebih gemar bermain kriket justru menjadi negara yang memiliki angka produksi bola sepak terbesar di dunia. Hal itu memang sangat positif bagi masyarakat, maraknya industri bola sepak di Pakista bisa menyerap ribuan orang untuk menjadi buruh bola sepak.
Para buruh yang bekerja di pabrik ini tak disebut jumlah detailnya oleh Masood, namun seperti kebanyakan buruh di industri bola sepak di India, Pakistan, dan negara berkembang lainnya, para buruh ini mendapat pendapatan yang sangat kecil.
Bahkan di sejumlah industri bola sepak di Pakista dan India terdapat para pekerja anak yang hanya mendapat bayaran hanya beberapa sen dengan durasi kerja mereka mencapai 10 - 15 jam per shift.
"Sementara industri-industri lain sudah berkomitmen untuk menghentikan mempekerjakan anak-anak, industri bola kaki malah sebaliknya. Bahkan di Pakistan terdapat serikat pekerja anak industri bola kaki," kata Trina Tocco, perwakilan dari Forum Internasional Hak Buruh.
Bekerja di industri bola sepak juga tidak hanya bermasalah di soal upah, namun juga soal keselamatan dan perlindungan kesehatan. Para pekerja di industri ini harus siap menerima resiko seperti mengalami tangan luka terkena jarum pentul yang sangat besar saat menjahit bola, serta ancaman penyakit punggung karena harus duduk tegak selama berjam-jam saat produksi bola sepak.
Tidak hanya di Pakistan dan India, Masood menyebut bahwa industri bola sepak di Tiongkok malah lebih gila lagi. Ia menyebut saat industri bola sepak di Negeri Tirai Bambu itu mendapat kontrak dari FIFA sebagai pembuat bola di ajang Piala Dunia, para penguasaha di sana mampu memberikan harga yang lebih murah.
Menurut Masood, industri bola sepak di Tiongkok memberikan bahan mentah yang lebih murah dengan biaya tenaga kerja yang juga sangat murah. Bahkan Masood menyebut bahwa empat perlima dari bahan baku di pabriknya di impor dari Tiongkok. "Lebih murah mengimpor bahan baku dari sana dibanding membeli bahan baku di Pakistan," kata Masood.
Masood sendiri menampik jika pabriknya ini membayar para tenaga kerja dengan harga sangat murah dan tak mempedulikan soal keselamatan serta kesehatan. Ia menyebut para buruhnya dibayar 8000 ruppe atau setara dengan 80 dolar per bulannya, plus mendapat asuransi kesehatan dan hadiah uang tunai jika ada anak buruhnya yang melangsungkan pernikahan.
Soal minimum pembayaran untuk para buruh bola sepak di Pakistan sendiri tidak ada standarnya, artinya pembayaran per bulan yang dibayar Masood itu bisa sewaktu-waktu berubah tergantung pada keuntungan perusahaan. Masood pun mengatakan bahwa jam opersional pabriknya ialah pagi hingga petang hari, ia tak memperlakukan shift malam dikarenakan jarak tempat tinggal para buruhnya yang sangat jauh.
Dengan tidak diperlakukannya shift malam tersebut, maka mau tak mau tiap hari para buruh di kejar target untuk bisa menghasilkan ribuan bola sepak. Masood malah menyebut bahwa industri bola sepak yang justru lebih tidak manusiawi dengan tetap memperlakukan shift malam meski mayoritas buruhnya tinggal sangat jauh dari lokasi pabrik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H