Hari ini, 14 Oktober, 8 tahun lalu dunia kewartawanan Indonesia ditinggal oleh salah satu jurnalis hebat yang dikenal sebagai sosok wartawan perang, Hendro Subroto. Lahir di Surakarta, 18 Desember 1938, ia memulai karier jurnalistiknya saat masuk ke TVRI pada 1964.
Sejak saat itu karier Hendro Subroto nyaris tak perputus hampir 30 tahun, setelah memutuskan untuk pensiun pada 1993 silam. Meski pensiun dari TVRI, Hendro bukan berarti tak meninggalkan dunia wartawan, ia tetap menjadi 'single fighter', buktinya ia sempat menjadi kontributor untuk televisi Australia saat jejak pendapat di Timor-Timur.
Seperti dikutip dari Kompas.com, pria yang sempat mengenyam pendidikan di Television Journalisme di OTCA, Tokyo, Jepang memang lebih banyak melakukan peliputan di daerah perang dan konflik. Liputan konflik bersenjatan Hendro ialah saat meliput ke Serawak, Malaysia pada 1964 ketika berlangsung konfrontasi Indonesia dengan Malaysia.
Saat di Serawak itu, ia meliput satu tim sukarewalan Indonesia (Batalyon-305) yang berjumlah 19 orang masuk ke desa Kayangan, Kalimantan Barat. Batalyon 3-5 merupakan satu dari tiga batalyon Linud di Brigade Infanteri Lintas Udara 17/Kujang I, Divisi Infanteri 1/Kostrad. Saat melakukan penyusupan ke Kalbar tersebut, Batalyon ini dipimpin oleh Mayor Inf Nanang Suhanir.
Pulang dari Serawak, Hendro Subroto kemudian terbang ke Sulawesi Tenggara untuk meliput penumpasan pemberontakan DI/TII pimpinan Kahar Muzakar pada medio Januari sampai Februari 1965.Â
Salah satu karya Hendro ialah foto jenazah Kahar Muzakar yang terbaring di luar rumah bambu, tempat persembunyiannya di desa Laiyu dekat sungai Lasolo. Foto ini yang kabarnya meyakinkan Presiden Soekarno bahwa Kahar Muzakar sudah tewas.
Saat meletus peristiwa G30S, Hendro pada 04 Oktober 1965 juga menjadi peliput saat pengangatakn para jenazah Jendral dan seorang perwira AD di sumur tua, Lubang Buaya. Ia juga kemudian ikut dalam peliputan penumpasan pengikut dan simpatisan PKI di sejumlah daearh di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Bali yang dipimpin oleh Sarwo Edhie Wibowo dari RPKAD.
Bahkan saat ikut meliput penumpasan ini, Hendro seperti dikutip dari Historia.id memiliki kenangan tersendiri kepada besan dari mantan Presiden SBY ini.Â
Hendro berkisah dalam memoarnya yang berjudul Perjalanan Seorang Wartawan Perang, saat menumpas PKI di lereng Gunung Merapi, Sarwo Edhie membekali Hendro sepucuk pistol jenis Makarov 9 x 18 mm berisi tiga magasen peluru serta sebilah pisau komando. "Kamu jangan sembrono. Pakai ini," kata Sarwo Edhie kepada Hendro saat itu.
Saat era Orde Baru, Hendro juga pernah meliput penumpasan OPM di Irian Barat serta GAM di Aceh. Pada 1991, Hendro bersama rekannya Bambang Setyo Purnomo meliput Perang Teluk. Bukan hal mudah bagi seorang wartawan saat itu bisa meliput Perang Teluk, pasalnya Amerika Serikat memberlakukan seleksi ketat. Dari 1300 wartawan yang ingin meliput, hanya 100 yang diizinkan, 98 diantaranya ialah wartawan asal Amerika Serikat, dan sisanya ialah Hendro dan Bambang Setyo.
Terpilihnya Hendro tentu karena rekam jejaknya seperti tersebut diatas. Ia dianggap memiliki kapasitas dan kemampuan untuk bertahan di medan tempur sembari melaporkan liputan jurnalistiknya. Meski bisa meliput Perang Teluk, Hendro bercerita bahwa ia tak bisa masuk ke Irak karena Indonesia saat itu tak punya hubungan diplomatik.
"Ketika di palagan barat Perang Teluk, pasukan yang saya ikuti masuk dari Arab Saudi ke Kuwait lewat Irak. Reporter dari media pemerintah Indonesia tak bisa ikut, karena Indonesia dan Irak tpunya hubungan diplomatik.Â
Saya tak bisa masuk ke Irak tanpa visa, walaupun Basra Cuma 80 km di depan. Kalau saya paksakan diri dan tertangkap, bisa jadi persoalan politik. Maka saya ke palagan timur, sehingga begitu melewati perbatasan langsung bisa masuk ke Kuwait." kenang Hendro seperti dikutip dari intisari.grid.id
Menjadi seorang wartawan perang bukan tanpa resiko. Ancaman nyawa sudah tentu menjadi hal paling menaktukan seorang wartawan saat terjun ke medan perang dan konflik. Resiko lainnya seperti terkena tembakan juga hal paling menakutkan, dan Hendro pernah merasakan kondisi tersebut.
Saat meliput Timor Timur saat pra intergrasi, ia pernah tertembak  dada, pipi, dan jempol tangan oleh tentara Fretilin. Hendro memiliki sejuta kisah soal aksinya di Timor Timur ini, dan ia bukukan dalam buku berjudul 'Sanksi Mata Perjuangan Intergrasi Timor Timur'.
Bersama rekannya, Saleh Kamah yang juga salah satu wartawan senior, Hendro menjadi sanksi mata saat terbunuhnya 5 wartawan Australia di Balibo pada 15 Oktober 1975 yang kemudian kita kenal dengan sebutan Balibo Five. Di posisi seperti ini, Hendro dan Saleh Kamah berada di posisi yang cukup sulit.
Pada kasus yang menyita perhatian dunia internasional tersebut, Hendro bersama Saleh Kamah bahkan sampai diminta kesaksiannya di Australia. Menurut Kamah, pada 1992 Subroto pergi ke Australia membawa film dokumentasi tentang Timor Timur berjudul The New Era East Timor.Â
Ketika di Darwin, Australia, Subroto dihempaskan banyak pertanyaan wartawan lokal tentang pihak yang harus bertanggung jawab atas kasus Balibo itu.
"Apakah dalam peristiwa ini David Nason harus meminta tanggung jawab pihak lain", Hendro balik bertanya. Hendro menambahkan wartawan perang harus benar-benar menyadari resiko yang dihadapi dan harus menyadari musibah yang mungkin sewaktu-waktu menimpa mereka" tulis Saleh Kamah dalam bukunya.
Selain buku 'Sanksi Mata Perjuangan Intergrasi Timor Timur', Hendro juga menulis buku berjudul 'Operasi Udara di Timor Timur' yang terbit pada 2005 tersebut, salah satu paragraph dalam buku ini menarik buat saya.Â
Hendro menuliskan cerita yang mungkin cukup lucu saat Luhut Binsar Panjaitan yang sekarang Menkopolhukam gemetaran ketakutan sampai hampir ngompol karena tidak berani terjun payung untuk merebut pangkalan udara yang berlokasi di Dili.
Luhut saat itu dijatuhi hukuman oleh LB Pandjaitan yang memimpin Tim C Group 1 Para Komando Satuan Lintas Udara, Kopassus dalam Operasi Seroja untuk melalukan aksi tersebut. Hendro sendiri juga dikenal sebagai wartawan yang mencintai olahraga terjun payung. Ia juga menjadi pendiri FASI (Federasi Aero Sport Indonesia).
Selain itu, Hendro juga mengalami cerita lain sebelum ia tertembak oleh Fretelin. Hendro mengatakan sempat berniat negatif saat berada di Timor Timur, untungnya niat negatif itu urung ia lakukan. "Waktu di Dili saya lihat ada satu lukisan kuno di museum. Saya berniat mencurinya setelah usai meliput perang. Ternyata saya tertembak. Sejak itu saya tidak berani lagi berpikir macam-macam kalau meliput perang,'' kenang Hendro.
Pada tahun lalu, Aryadi Noersaid juga menuliskan sepak terjang Hendro Subroto sebagai wartawan perang di Kompasiana dengan judul (Catatan Tepi) Perang Kecil Cilandak 30 Oktober 1984. Di tulisannya tersebut, Aryadi mengisahkan aksi Hendro meliput peristiwa meledaknya gudang peluru di Cilandak menjadi inspirasinya menjadi seorang wartawan perang.
Ya, bagi kebanyakan wartawan, pencapaian tertinggi kariernya ialah saat bisa meliput di daerah konflik. Ada adrenalin, dan perasaan yang tak biasa ketika mampu melaporkan liputan jurnalistik di bawah ancaman peluru dan bom.Â
Bukan sekadar untuk gaya-gaya-an namun untuk memberikan informasi ke masyarakat tentang kondisi daerah tersebut, bicara tentang cinta, penderitaan, dan pengorbanan. Berharap laporan jurnalistik tersebut mampu mengubah paradigma dunia tentang mengerikannya peperangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H