Mohon tunggu...
Galih Prasetyo
Galih Prasetyo Mohon Tunggu... Lainnya - pembaca

literasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengenang Hendro Subroto, Sang Wartawan Perang

14 Oktober 2018   08:50 Diperbarui: 14 Oktober 2018   18:13 2187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hendro Subroto | grid.id

"Ketika di palagan barat Perang Teluk, pasukan yang saya ikuti masuk dari Arab Saudi ke Kuwait lewat Irak. Reporter dari media pemerintah Indonesia tak bisa ikut, karena Indonesia dan Irak tpunya hubungan diplomatik. 

Saya tak bisa masuk ke Irak tanpa visa, walaupun Basra Cuma 80 km di depan. Kalau saya paksakan diri dan tertangkap, bisa jadi persoalan politik. Maka saya ke palagan timur, sehingga begitu melewati perbatasan langsung bisa masuk ke Kuwait." kenang Hendro seperti dikutip dari intisari.grid.id

Menjadi seorang wartawan perang bukan tanpa resiko. Ancaman nyawa sudah tentu menjadi hal paling menaktukan seorang wartawan saat terjun ke medan perang dan konflik. Resiko lainnya seperti terkena tembakan juga hal paling menakutkan, dan Hendro pernah merasakan kondisi tersebut.

Saat meliput Timor Timur saat pra intergrasi, ia pernah tertembak  dada, pipi, dan jempol tangan oleh tentara Fretilin. Hendro memiliki sejuta kisah soal aksinya di Timor Timur ini, dan ia bukukan dalam buku berjudul 'Sanksi Mata Perjuangan Intergrasi Timor Timur'.

Bersama rekannya, Saleh Kamah yang juga salah satu wartawan senior, Hendro menjadi sanksi mata saat terbunuhnya 5 wartawan Australia di Balibo pada 15 Oktober 1975 yang kemudian kita kenal dengan sebutan Balibo Five. Di posisi seperti ini, Hendro dan Saleh Kamah berada di posisi yang cukup sulit.

Pada kasus yang menyita perhatian dunia internasional tersebut, Hendro bersama Saleh Kamah bahkan sampai diminta kesaksiannya di Australia. Menurut Kamah, pada 1992 Subroto pergi ke Australia membawa film dokumentasi tentang Timor Timur berjudul The New Era East Timor. 

Ketika di Darwin, Australia, Subroto dihempaskan banyak pertanyaan wartawan lokal tentang pihak yang harus bertanggung jawab atas kasus Balibo itu.

"Apakah dalam peristiwa ini David Nason harus meminta tanggung jawab pihak lain", Hendro balik bertanya. Hendro menambahkan wartawan perang harus benar-benar menyadari resiko yang dihadapi dan harus menyadari musibah yang mungkin sewaktu-waktu menimpa mereka" tulis Saleh Kamah dalam bukunya.

Selain buku 'Sanksi Mata Perjuangan Intergrasi Timor Timur', Hendro juga menulis buku berjudul 'Operasi Udara di Timor Timur' yang terbit pada 2005 tersebut, salah satu paragraph dalam buku ini menarik buat saya. 

Hendro menuliskan cerita yang mungkin cukup lucu saat Luhut Binsar Panjaitan yang sekarang Menkopolhukam gemetaran ketakutan sampai hampir ngompol karena tidak berani terjun payung untuk merebut pangkalan udara yang berlokasi di Dili.

Luhut saat itu dijatuhi hukuman oleh LB Pandjaitan yang memimpin Tim C Group 1 Para Komando Satuan Lintas Udara, Kopassus dalam Operasi Seroja untuk melalukan aksi tersebut. Hendro sendiri juga dikenal sebagai wartawan yang mencintai olahraga terjun payung. Ia juga menjadi pendiri FASI (Federasi Aero Sport Indonesia).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun