Mohon tunggu...
Tommy Junus Sarwan
Tommy Junus Sarwan Mohon Tunggu... Petani -

indonesia sejahtera 2045 adalah berhasilnya pelaksanaan cita-cita berdirinya indonesia sebagai negara yang mandiri sejati dan berdaulat, bangsa yang makmur dan sehat, dalam kehidupan yang dinamis dan aman. tujuan itu tercapai pada usia 100 tahun indonesia merdeka; melalui 5 program kerja berdasarkan isi pembukaan UUD 1945 yang dimulai pada tahun 2014

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengapa Saya Sulit Bayar Pajak?

3 Februari 2017   02:37 Diperbarui: 3 Februari 2017   02:49 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

BIKIN HUTANG BARU UNTUK BAYAR PAJAK

Saya hampir satu tahun tidak bisa bayar pajak (lagi) sebab selain dalam beberapa bulan pendapatan minus dan ketika selisih terdapat plus walaupun tidak banyak, maka pajak 1% omset itu tergunakan untuk keperluan pendidikan anak maupun keperluan dapur sehari-hari; dan mendekati pelaporan pajak tahunan ini, saya semakin berat saja untuk membayarkan akumulasi pajak yang tercatat; padahal bagaimanapun juga pajak tetap harus saya bayarkan, walaupun harus membuat hutang baru.

PENYEBAB PAJAK TERTUNGGAK

Saya mendapati beberapa hal yang menyebabkan tertunggaknya pembayaran pajak saya tersebut;

1. Omset yang kecil karena cuma usaha warung kecil, namun karena saya tercatat sebagai pemilik NPWP, maka saya harus mengikat diri pada hal-hal yang terkait pajak; walaupun pelaporan pajak pribadi nihil, sementara harus menyetorkan 1% omset yang kadang selisih pendapatan itu malah minus.

2. Dalam perhitungan pajak yang saya buat, walaupun saya sendiri menghitung nihil ketika selisih pendapatan sama dengan “tekor”; tetapi setoran pajak usaha yang 1 % itu sebenarnya bisa dibayarkan ketika selisih pendapat menjadi plus; dan kelemahan saya kemudiannya adalah setoran pajak karena selisih plus itu malah tergunakan untuk pemakaian rumatangga. Dan akhirnya ketika tahun berlalu, maka akumulasi semakin membesar dalam ukuran saya sebagai pengelola warung kecil.

3. Akumulasi ini memicu ketidaksepakatan didalam rumatangga, sehingga saya terjebak pada posisi mau bayar pajak dan dilarang bayar pajak; sementara pelaporan pajak tahunan sudah harus dilakukan bulan depan (Maret).

PEMERINTAH TIDAK PEKA PAJAK

Saya melihat kembali kepada pemerintah; yangmana seandainya pemerintah “berniat” mau menjadikan rakyat dan negara menjadi lebih baik ke masadepan, ada beberapa hal pula yang boleh diperbaiki didalam proses perpajakan rakyat.

1. Pemerintah tidak merasa penting, jika pendidikan pajak diajarkan kepada anak sekolah sejak masa PAUD, sehingga ketika anak Indonesia dewasa, ia tidak paham bahwa melakukan kewajiban pajak dengan semua keteraturan yang ditetapkan adalah haknya sebagai manusia di Indonesia.

Jika pemerintah mendidik anak Indonesia mulai PAUD sampai PT sejak smester pertama masa sekolah 2017-2018 nanti; maka, minimum 5 tahun kedepan, semua anak yang sejak tamat SMA sudah sadar penuh pada kewajiban pajak.

2. Pemerintah tidak merasa penting untuk mensosialisasikan pajak pada penghuni rumatangga, dari desa sampai kota, sehingga rakyat umum hanya melihat bahwa bayar pajak itu cuma suatu hal yang sia-sia tanpa guna buat pribadi rakyat, sebab malah merugikan diri sendiri. Jangankan mengharapkan pemerintah mau perhatikan kebutuhan sehari-hari rakyat pembayar pajak, nyatanya  untuk makan sendiri yang harus dicari sendiri saja, rakyat susah malah nyaris mati; mana pemerintah peduli?

Seandainya pemerintah mau melakukan sosialisasi pertanggungjawaban pemerintah atas pajak yang diambil dari rakyat; yang dilakukan bukan cuma “ngetrend yang hit and run” tetapi terus-menerus terjadual, maka rakyat Indonesia yang pada umumnya bukan “orang yang pantas” untuk bayar pajak, menyadari bahwa walaupun ia cuma “manusia biasa yang tidak berarti” di negeri ini, tapi adalah kebanggaan baginya jika ia “wajib” bayar pajak.

Selain itu, dalam sosialisasi terjadual sedemikian, pemerintah sendiri akan semakin paham apa yang menjadi masalah didalam rumatangga rakyat, yang tentunya pemerintah boleh memperbaiki apapun sistem yang tidak efektif pada sekarang ini.

[catatan saya 1; Adalah naïf jika pemerintah berpikir bahwa Indonesia ini terbangun oleh perusahaan “a” atau investasi “b” sebagai kontributor pajak; bukan oleh rumatangga di desa dan di kota yang “pelahap” pajak; dan jika begitu, maka pemerintah itu justru tidak tahu bahwa yang terjadi malah sebaliknya; yaitu rakyatlah yang menjadi kontributor kekayaan perusahaan dan investor]

3. Pemerintah tidak merasa penting untuk menghentikan persoalan korupsi sebagai komoditas sensasi maupun komoditas politik, yang tidak berguna bagi rakyat; sebab rakyat umum malah terpameo bahwa percuma bayar pajak kepada negara karena cuma untuk “dimakan” pejabat apakah ia korupsi atau tidak.

Seandainya pemerintah mau bijaksana, pemerintah bisa memberi pendidikan bagi pemberitaan media dan setiap berita selalu diimbangi dengan memberi pendidikan pula kepada rakyat Indonesia apa yang benar bagi rakyat dan tanggungjawab yang bagaimana yang harus dilakukan rakyat; maka perlahan-lahan rakyat bisa menyadari dan bisa membedakan jernihnya, bahwa korupsi itu terkutuk, sedangkan bayar pajak itu adalah citra manusia beradab.

HARAPAN KEPEKAAN PEMERINTAH

Entah pemerintahan  sekarang yang dipimpin Presiden Joko Widodo juga peka pada hal ini atau tidak, saya juga tidak tahu, namun apa yang saya alami, membuktikan kepada saya, bahwa Indonesia ini dari zaman ke zaman tidak terdidik didalam tanggungjawab kewajiban pajak.

[catatan saya 2; Saya memperhatikan pemerintah tidak menyadari bahwa, penerimaan negara terbesar adalah pajak dari perusahaan, investasi, dan BUMN; bukannya dari hasil produksi mandiri negara. Tidak ada produksi negara yang dibuat untuk menciptakan penerimaan negara melebihi penerimaan pajak. iitu sebabnya keuangan negara mengambang tanpa fondasi; akibatnya rupiah bukannya semakin kuat, malahan pemerintah bangga karena menaikkan harga apa saja. Pemikiran ini sungguh terbalik-balik dari tujuan kesejahteraan bangsa; sebab pemerintah tidak tahu dengan menurunkan harga barang justru membuat nilai rupiah semakin berwibawa. Sayang sungguh, pemerintah juga tidak tahu, bahwa beras tahun 1913 tetap sama saja dengan beras tahun 2016; tapi beras tahun 1913 bernilai 5 sen “rupiah” per kgnya, sementara beras tahun 2016 harus dibeli dengan Rp 10.000 setiap kg. Entah bagaimana pikiran pemerintah, malah semakin menaikkan harga komoditas rakyat di semua barang dan jasa agar boleh mendapatkan untung. Sekali lagi ini sungguh terbalik-balik]. (Sumber)

[catatan saya 3; Seandainya pemerintah melakukan pendidikan pajak sejak PAUD, ketika saatnya tiba dimana semua rakyat sudah bangga pajak; maka pendapatan pajak akan tertambah melalui pajak murni usaha rakyat keseluruhan, dan pendapatan murni usaha negara – ini dapat menjadikan penerimaan pajak konvensional jadi nomor 2  di APBN – dan tentunya menaikkan total pendapatan negara berkali lipat]. (Sumber 1 dan 2)

Tetapi, saya selalu mengoptimiskan harapan, jika pemerintah sekarang tidak merasa penting, pasti akan tiba saatnya pula, bahwa ada pemerintah yang sangat mementingkan pendidikan pajak sejak PAUD sebagai satu dari pendidikan moral bangsa Indonesia.

Salam Indonesia sejahtera

Tuhan memberkati Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun