Jika dilihat dari kacamata politik dan hukum mengenai persoalan klaim ini akan berdampak pada kedaulatan dan kebijakan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. Karena selama ini Indonesia memiliki sikap untuk tidak memihak maupun turut serta secara aktif dalam konflik Laut Cina Selatan. Namun, dengan nina dash line yang tidak jelas dapat menimbulkan persinggungan dengan hak berdaulat Indonesia di Kepulauan Natuna, maka Pemerintah Indonesia telah meningkatkan kekuatan militer di Kepulauan Natina. Presiden RI, Joko Widodo telah memerintahkan pesawat tempur SU-27, SU-30, F-16, P3-C, pengawas maritim, dan pesawat antikapal selam ke pulau-pulau sekitar natuna. Selain itu, Presiden menambah pasukan ke pangkalan militer disana untuk menunjukkan tekad Indonesia melindungi wilayah Kesatuan Republik Indonesia, khususnya ZEE di Natuna. Â Â
Ketegangan semakin memanas karena Pemerintah Republik Rakyat Cina sengaja menghindari diskusi terkait isu ZEE ini. Beberapa pengamat berpendapat bahwa Cina menggunakan strategi Fabian[8]Â kepada Indonesia sehingga masalah ZEE seolah menguap. Sebelumnya, Filipina telah membawa masalah ini ke Arbitrase Internasional di Den Haag, namun gugatan tersebut ditolak karena yurisdiksi masalah ini.
Dalam Pasal 287 UNCLOS 1982 mengatur tentang alternatif dan prosedur penyelesaian sengketa (dispute settlement) bagi negara-negara yang berhubungan dengan wilayyah zona kelautan. Terdapat dua bentuk alternatif penyelesaian sengketa dimana negara-negara diberi kebebasan memilih bentuk penyelesaian mana yang mereka anggap paling tepat dalam sengketa yang dihadapi. Adapun bentuk alternati penyelesaia sengketa dalam kerangka UNCLOS 1982, adalah:
(a) Penyelesaian Sengketa Secara Damai
UNCLOS 1982 mewajibkan negara-negara menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka dengan merujuk pada ketentuan Pasal 3 ayat (2) UN Charter. Disini negara-negara diberi kebebasan untuk memilih bentuk prosedur penyelesaian sengketa dengan menggunakan sarana-sarana penyelesaian sengketa sebagaimana diatur pada Pasal 33 ayat (1) UN Charter, sekalipun demikian ketentuan dalam Pasal 33 UN Charter tidak meniadakan kemungkinan para pihak untuk memilih bentuk penyelesaian sengketa secara damai lainnya sepanjang para pihak sepakat untuk itu. Jika cara dan prosedur yang ditentukan pada Pasal 33 UN Charter tidak mampu menyelesaikan sengketa diantara para pihak, maka salah satu pihak dapat mengundang pihak lainnya untuk konsiliasi. Prosedur  penyelesaian sengketa secara damai dapat dikatakan berhasil adalah apabila pihak yang terlibat sengketa secara bersama-sama menyatakan menerima dan puas akan hasil rekomendasi atau kepustusan prosedur penyelesaian sengketa yang dilakukan.
Â
(b) Penyelesaian Sengketa Dengan Compulsory Settlement
Dalam hal tidak tercapai suatu kesepakatan dalam penyelesaian sengketa secara damai, maka para pihak dapat menggunakan prosedur wajib yang menghasilkan keputusan yang mengikat. Berdasarkan Pasal 287 ayat (1) UNCLOS 1982, saat ditandatangani, diratifikasi, atau aksesi, sebuah negara bisa membuat pernyataan memilih satu atau lebih metode penyelesaian sengketa yang dalam UNCLOS. Bab XV khususnya pasal 287 UNCLOS 1982 menyediakan empat forum yang dapat dipilih untuk menyelesaikan sengketa, yakni:
a) International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS);
b) International Court of Justice (ICJ);
c) Arbitral Tribunal;