Tiga puluh tahun yang lalu di zaman saya SMP, radio merupakan hiburan utama selain televisi.Â
Kelebihan dari radio adalah bisa didengarkan sambil mengerjakan hal lain, pada waktu itu cocoknya dijadikan teman belajar di malam hari.Â
Ada satu program yang jadi favorit saya dan teman-teman di radio kesayangan kami yaitu AMKM (Anda Meminta Kami Memutar).
Pada program ini, kami akan menelepon ke kantor radio dan request lagu yang sedang hits disertai dengan nama kami dan ditujukan untuk siapa lagu itu serta dilengkapi pula pesannya.Â
Saat mendengar nama kita disebut di radio, wah rasanya senang sekali. Bahagia kita sesederhana itu.Â
Di malam hari, saya selalu tune in karena ada penyiar favorit yang suaranya lembut sekali, cocok banget dijadikan pengantar tidur.Â
Saya suka membayangkan wujud si penyiar pemilik suara lembut itu, dan suatu ketika cukup takjub ketika main ke stasiun radio. Ternyata penyiar yang saya suka itu beda jauh dengan bayangan saya. Pemilik suara lembut ini ternyata aslinya berewokan dan macho.Â
Kemudian ada pula sandiwara radio yang bersambung setiap hari pada jam tertentu, wah ini bikin penasaran sekali karena dibawakan dengan penuh penjiwaan oleh para pengisi suara.Â
Saur Sepuh dan Tutur Tinular yang begitu terkenalnya hingga dibawa ke layar lebar. Suara  yang memerankan Brama Kumbara, Mantili dan Lasmini jadi teringat selalu, karena seringnya mendengarkan mereka.
Ada juga Ludrukan, nah ini kalau di Jawa Timur tepatnya dari Surabaya ada Kartolo CS. Guyonan mereka ini direkam dan disiarkan lewat radio, sebagai orang Jawa Timur benar-benar bisa kemekel kalau mendengarkan lawakan mereka ini. Karena memang menggambarkan kehidupan sehari-hari orang Jawa Timur lengkap dengan guyonan dan makiannya.Â
Kuis radio juga menarik sekali, di mana penyiar akan membacakan pertanyaan dan kita harus cepat-cepat menjawabnya via telepon. Karena pendengar radio banyak, tentu saja semakin banyak yang mau ikut menjawab. Pada saat telepon kita bisa masuk, belum tentu benar juga jawabannya, jadinya semakin seru.Â
Sempat mendapat beberapa kali hadiah lewat kuis di radio, selain hadiahnya, mendengar nama sendiri disebut itu sensasinya beda. Asyik aja gitu. Mirip-mirip sensasinya saat kita kirim-kiriman salam di radio itu.Â
Beranjak dewasa peran radio dalam kehidupan juga berubah, kalau dulu menemani belajar pada saat kuliah selain menenami belajar. Juga paling pas untuk menemani saat setrika, pekerjaan mudah tapi membosankan karena tidak bisa diselesaikan dengan cepat.Â
Radio adalah alat hiburan yang paling pas, karena bisa disambi dengan menyetrika. Yang sedih karena siaran radio biasanya berakhir di jam 12 malam, yang ditandai dengan lagu Indonesia Raya, sementara belajar kita belum selesai. Untunglah menemukan satu saluran yang mengudara 24 jam, dan di atas jam 12 malam biasanya hanya memutar lagu-lagu saja karena penyiarnya sudah pulang.Â
Saat sudah kerja, radio banyak didengarkan justru saat sedang di jalan, terutama di Surabaya yang lalu lintasnya suka macet di mana-mana.Â
Pagi hari paling cocok mendengarkan Good Morning Hard Rockers yang dipandu duo penyiar kocak, guyonan mereka membuat macet tidak berasa justru malah khawatir disangka pengendara di sebelah orang gila. Karena suka tiba-tiba ketawa ngakak sendiri dengerin radio.Â
Jadi bergantung dengan radio Suara Surabaya atau SS FM karena butuh untuk mengetahui kondisi lalu lintas, dan berbagai kejadian penting yang sedang terjadi.Â
Radio juga jadi sumber penelitian di waktu menempuh Sarjana S1, saat itu saya mengambil marketing dengan topik pilihan brand personality. Di mana memang jelas sekali segmentasi pendengar radio, dari cara siaran, lagu yang diputar hingga iklan yang ditayangkan siapa saja atau bagaimana demografis pendengar radio tertentu.Â
Dalam pekerjaan saya, radio juga dimanfaatkan untuk talk show di mana kita bisa mempromosikan via live talk show di studio.Â
Ada kejadian unik pada saat membuat program talk show bersama salah satu radio di kota Malang, di mana saya mengadakan talk show yang memberikan hadiah untuk para peserta kuis yang bisa menjawab pertanyaan.Â
Pada saat acara talk show berjalan selama kurang lebih 1 jam, di studio hanya ada si penyiar dan satu orang temannya. Sedikit aneh, karena biasanya selain penyiar tetap ada pegawai lain di stasiun radio. Tetapi karena radio itu sudah lama berdiri dan cukup terkenal, tentu saya tidak berpikir aneh-aneh.Â
Pada saat sesi interaktif, penyiar hanya membacakan pertanyaan dari komputer dan tidak ada telepon langsung ke studio.Â
Sepulangnya dari siaran, saya cerita kepada teman saya. Dan dia bilang, bisa jadi tadi itu siaran bodong, karena radio tersebut ternyata sempat bermasalah dengan perijinan dan lain-lain.Â
Dengan kata lain, memang benar dilakukan di studio dan kita bisa mendengarkan ini di ruang tunggu radio. Tetapi belum tentu mengudara secara umum, karena sedikit aneh kalau tidak ada satupun penelepon untuk kuis gampang yang diberikan dengan hadiah yang cukup lumayan. Kebetulan juga memang saya tidak melakukan pengecekan dengan meminta rekan-rekan untuk cek radio tersebut saat kami talk show.Â
***
Wacana radio berhenti mengudara ini cukup menyedihkan, karena bagaimanapun radio walaupun bukan yang utama tetapi sebenarnya cukup berperan dalam kehidupan sehari-hari kita utamanya untuk saya angkatan 90an.Â
Saya tahu lagu-lagu baru pun justru dari radio, karena di radio kita tidak bisa memilih apa yang ingin kita dengarkan. Radio akan memutar lagu baru berulang-ulang, sehingga akhirnya kita familiar dan menjadi suka dengan lagu tersebut.
Berbeda dengan menggunakan aplikasi, terkadang penyanyi meluncurkan lagu barunya via digital. Tetapi jika kita mendengarkan sekali dan kurang tertarik, tentu tidak akan memutarnya kembali. Sementara ada lagu yang didengarkan beberapa kali baru bisa nyantol dan kita sukai. Contohnya adalah Peter Pan yang berjudul Topeng.Â
Saya ingat tidak suka dengan lagu ini, tetapi karena waktu itu hits sekali, hampir tiap hari saya mendengarnya di radio. Lama-kelamaan saya sendiri jadi suka lagu itu.Â
Untuk mencegah radio berhenti mengudara juga tidak mudah karena memang untuk anak zaman sekarang yang tumbuh dengan cara berbeda, mereka tidak familiar dengan konsep radio sehingga untuk menjadi pendengar radio fanatik cukup sulit.Â
Sementara radio hidup dari iklan, jika tidak ada yang pasang iklan akan sulit sekali bagi radio untuk bertahan. Kemungkinan yang bisa bertahan adalah jika radio memiliki nilai lebih, sebagai sarana berbagi informasi seperti SS FM.Â
Sebagai pendengar radio, saya paham pentingnya iklan untuk kelangsungan hidup radio, tapi saya sempat jengkel juga dengan iklan di radio yang terkadang konsepnya bikin sakit telinga.Â
Dan iklan ini akan diulang-ulang terus pada program tertentu, dalam 1 jam kita bisa mendengarkan iklan yang sama hingga 5 kali. Cukup menyebalkan.Â
Bagaimanapun saya tidak setuju jika radio berhenti mengudara, semoga ada jalan keluar terbaik untuk semuanya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H