Mohon tunggu...
Indira Pradipta
Indira Pradipta Mohon Tunggu... Akuntan - Magister Akuntansi Universitas Mercu Buana ; NIM : 55520110027

Kebebasan yang paling membebaskan adalah kebebasan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB2 Prof Dr Apollo: Tax Haven Country dan Dunia yang Memeranginya

12 November 2021   09:31 Diperbarui: 12 November 2021   09:45 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : theconversation.com

Tax haven, atau yang kerap disebut sebagai suaka pajak, adalah negara - negara tempat dimana mereka tidak mengenakan, atau mengenakan tarif pajak yang sangat rendah terhadap wajib pajaknya, sehingga membuat negara - negara ini sangat diminati dan menarik bagi para pencari suaka pajak.

Dari sudut pandang wajib pajak, pembayaran pajak selain dapat dipandang sebagai kewajiban bagi wajib pajak, secara akuntansi diakui sebagai beban (expense), dimana beban dalam keuangan wajib pajak didefinisikan sebagai penurunan manfaat ekonomi bagi wajib pajak dalam bentuk arus keluarnya aset atau timbulnya hutang / kewajiban yang pada akhirnya menimbulkan penurunan ekuitas. Oleh karenanya, wajib pajak utamanya wajib pajak badan sebagai entitas bisnis memiliki dorongan untuk ingin selalu meminimalisasi beban beban dalam menjalankan bisnisnya, tidak terkecuali beban pajaknya.

Dengan adanya penjelasan di atas, maka dapat dipahami jika para Wajib Pajak menempuh berbagai cara sebagai upaya untuk meringankan beban usahanya. Salah satu cara yang dilakukan wajib pajak yang akan dibahas kali ini adalah usaha wajib pajak dalam mencari suaka pajak, yaitu dengan cara memanfaatkan adanya tax haven countries. Wajib Pajak ini kemudian mengalihkan aset-aset / penghasilannya ke Tax Haven Country, agar atas penghasilan dan aset tersebut dapat dikenakan pajak dengan tarif yang sangat rendah, sehingga WP pada akhirnya dapat melakukan penghematan beban pajak hingga milyaran dollar.

Namun demikian, untuk dapat memanfaatkan tax haven country, wajib pajak tentunya perlu memiliki jaringan bisnis multinasional. Apabila anda membayangkan bagaimana suatu entitas bisnis dapat membangun jaringan bisnis multinasional pada era dua puluuh tahun yang lalu, maka hal tersebut agaknya tidak mudah, bahkan merupakan effort yang sangat besar untuk dilakukan wajib pajak demi memangkas beban pajaknya. Namun demikian, pada era globalisasi serta di tengah pesatnya  kemajuan teknologi dewasa ini, mempermudah bagi suatu entitas untuk menjangkau negara lain, bahkan melakukan kegiatan bisnis antar negara, seakan batas - batas negara menjadi memudar.

Thomas Piketty melalui karyanya di tahun 2013 menyatakan bahwa Globalisasi memungkinkan suatu entitas bisnis untuk terus bertumbuh meski negara tempat dimana bisnis tersebut beroperasi sedang mengalami krisis secara ekonomi. Sebab, melalui skema-skema tertentu bisnis dapat beralih ke negara lain dengan mudah apabila suatu negara mengalami krisis. Dengan kata lain, globalisasi mempermudah suatu entitas bisnis untuk melakukan pengalihan aset dan / atau penghasilannya ke negara lain untuk alasan - alasan tertentu, tidak terkecuali untuk memanfaatkan tax haven country.

Sumber : statista.com
Sumber : statista.com

Dalam praktik pemenfaatan tax haven country ini, suatu entitas bisnis multinasional boleh jadi mendapatkan sebagian besar penghasilannya dari kegiatan bisnisnya di suatu negara sebagai negara sumber penghasilannya. Namun demikian, penghasilan yang didapatkan tersebut dialihkan kepada perusahaan afiliasinya di negara - negara dengan tarif pajak rendah yang kemudian dijadikannya sebagai tempat pengalihan aset / penghasilannya. Skema ini akan lebih mudah lagi dilakukan apabila produk yang dijual atau aset tersebut adalah berupa intangible assets, dimana aset ini sangat mudah dipindahkan. Sebagai contoh, perusahaan yang belakangan ini menjadi sorotan, yakni Netflix. Dengan memiliki produk dan aset bersifat tidak berwujud yang mudah untuk dipindahkan, Netflix menjual produknya di banyak negara di dunia. Namun atas penghasilan yang didapatnya dari banyak negara tersebut, Netflix mengakuinya di Belanda, yang memiliki tarif pajak yang rendah. Skema ini tentu membuat Netflix mampu menghemat banyak sekali pengeluaran atas beban pajak, dibandingkan jika Netflix mengakui penghasilannya dari tiap - tiap negara sumber penghasilannya. Namun di sisi lain, dengan melakukan skema ini, Netflix membiarkan banyak negara di dunia mengalami kerugian akibat kehilangan hak nya untuk menarik pajak atas penghasilan yang diterima oleh wajib pajak dari kegiatan bisnis yang dilakukan di negaranya.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka masuk akal bahwa dengan adanya tax haven country, dunia telah mengalami kerugian yang sebesar. Didukung dengan penelitian Gabriel Zucman, bahwa terdapat 7,6 triliun dollar yakni sekitar delapan persen dari kekayaan bersih global, adalah kekayaan yang disimpan di rekening luar negeri di mana atas kekayaan tersebut, tidak ada pajak yang ditarik oleh negara manapun. Keadaan ini disamping merugikan bagi banyak negara di dunia, juga mengganggu kedaulatan suatu bangsa yang memiliki tanggung jawab untuk memakmurkan rakyatnya, salah satunya melalui mekanisme penarikan pajak.

Sumber : theconversation.com
Sumber : theconversation.com

Banyak negara di dunia keberatan dengan adanya fenomena ini. Namun demikian, karena usaha - usaha yang bersifat parsial agaknya tidak efektif dalam memerangi tax haven countries, maka negara - negara di dunia, khususnya G20 countries melalui Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), melakukan perancangan standar peraturan perpajakan Internasional sebagai upaya penanggulangan penghindaran pajak prsh multinasional (BEPS) secara simultan. Hal ini dilakukan agar tercipta universalitas perraturan perpajakan antar negara di dunia, sehingga wajib pajak, di negara manapun ia berada akan mendapatkan perlakuan yang sama, sehingga hukum perpajakan dapat di tegakkan secara global.

Dilansir dari laman www.icij.org pada 8 Oktober 2021, bahwa terdapat lebih dari 130 negara yang telah menandatangani kesepakatan, yang berdasarkan kesepakatan tersebut akan mengenakan pajak pada wajib pajak perusahaan multinasional dengan tarif minimum 15% sebagai upaya untuk menekan pengalihan keuntungan dan penghindaran pajak secara agresif oleh beberapa perusahaan multinasional besar di dunia. Perjanjian yang didukung oleh Amerika Serikat dan dikoordinasikan oleh OECD ini, juga akan mewajibkan perusahaan untuk membayar pajak di negara tempat mereka melakukan bisnis / memperoleh penghasilan.

Setelah terjadinya skandal pajak perusahaan selama bertahun-tahun lamanya, perjanjian ini hadir untuk menargetkan tax haven yang selama ini telah menerapkan kesepakatan manis dan tarif pajak perusahaan yang sangat rendah untuk memikat wajib pajak bisnis internasional yang ingin memangkas miliaran dolar dari tagihan pajaknya. Melalui pendekatan "dua pilar", kesepakatan baru OECD menetapkan tarif pajak perusahaan secara global, yakni minimum 15%, juga memberdayakan pemerintah setempat untuk mengenakan pajak pada perusahaan multinasional raksasa di negara-negara tempat barang atau jasa mereka dijual, terlepas dari apakah perusahaan memiliki kehadiran fisik di sana ataupun tidak.

Di Indonesia sendiri, sebagai bentuk permulaan adopsi dari kesepakatan OECD ini, maka dikeluarkanlah aturan mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), yakni PMK No. 48 Tahun 2020, yang mengatur pengenaan pajak pada perusahaan multinasional atas kegiatan bisnisnya di Indonesia, terlepas dari apakah perusahaan memiliki kehadiran fisik di Indonesia (melalui Bentuk Usaha Tetap) ataupun tidak.

Source :

https://www.icij.org/investigations/paradise-papers/136-countries-agree-to-global-minimum-tax-for-corporations-in-historic-oecd-deal/

Gabriel Zucman. 2013. The Hidden Wealth of Nations. Chicago : University of Chicago Press

Thomas Piketty. 2013, Capital in the Twenty-First Century. Cambridge : Harvard University Press

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun