Pada saat Amr bin Ash baru saja diangkat menjadi pemimpin Mesir oleh Khalifah Umar bin Khatab, ia kebingungan. Belum seminggu ia sampai di Mesir, Sungai Nil kering kerontang, tak ada aliran sungainya. Padahal waktu itu bukan musim kemarau. Maka Amr bin Ash pun memanggil para pemuka penduduk setempat dan bertanya, ada apa ini?
Ternyata di Mesir, kalau sungai Nil berhenti mengalir, penduduk melempar tumbal. Dan tumbal yang paling efektif, paling cepat mengalirkan kembali aliran sungai ini, adalah tumbal gadis perempuan.
Amr bin Ash bingung. Ini bukan Islam. Tak ada tumbal dalam Islam. Maka dilaporkannya hal ini pada Khalifah Umar. Umar pun mengirim surat dan meminta Amr bin Ash membacakan surat itu pada Sungai Nil. Isinya sebagai berikut:
Hai Sungai Nil, saya Umar Bin Khatab, hamba Allah. Kalau kau mengalirkan air hanya karena tumbal, maka kami tak mau kau mengalir selamanya. Tapi kalau kau mengalir karena Allah Yang Maha Perkasa, maka mengalirlah hanya atas nama Allah itu saja.
Dan kemudian sungai Nil pun mengalir kembali. Ternyata semua adalah permainan syaithan. Sukses syaithan mengelabui penduduk Mesir. Tapi begitu nama Allah disebut, syaithan mana yang tak ketakutan?
Sesungguhnya hanya Allah yang mengatur alam semesta. Hanya Allah tempat meminta, tempat bersandar, tempat mencurahkan segala kebutuhan hidup. Hanya Allah. Simpel dan sederhana, sama sekali tak merepotkan kita. Cukup satu. Tak ada dewa sungai terpisah dari dewa laut dan dewa sawah. Hanya satu, Allah, dan itu cukup untuk seluruh alam semesta. Sayangnya manusia sering merasa tak cukup dengan yang hanya satu, merasa harus melakukan yang lain agar kebutuhannya tercukupi. Padahal Allah lah Maha Mencukupi, Maha Pemberi.
Syaithan bekerja keras sejak awal masa penciptaan untuk mengelabui kita. Maka berhati-hatilah. Dan Allah menguji kita melalui usaha syaithan ini. Maka kita perlu kaji kembali berbagai tradisi nenek moyang. Mana yang bisa kita lanjutkan dan mana yang harus kita sesuaikan dengan tauhid.
Kalau ada kebiasaan potong kambing lalu diberikan ke sawah untuk sajen dewa sawah atau ke laut untuk dewa laut, lanjutkan potong kambingnya, tapi adakan hajatan di rumah. Undang anak-anak yatim, dan makanlah kambing itu bersama-sama. Sampaikan semua keinginan, kebutuhan, hajat dan berbagai cita-cita keluarga, berdoalah bersama hanya padaNya. Tradisi potong kambing tetap berjalan, tapi tauhid bisa dikembalikan.
Dan seringkali tumbal berganti dengan makhluk lain. Ada keinginan, kita bergantung pada suami, pada orang tua, pada dokter, pada boss atau perusahaan. Dan saat mereka tak bisa memenuhi keinginan dan kebutuhan kita, kita merana dan merasa terpuruk luar biasa.Â
Kita yang salah. Kenapa minta pada manusia? Semua manusia punya keterbatasan. Minta dulu pada Allah, baru datangi manusia. Kita cari kepanjangan tanganNya yang ditetapkanNya mewujudkan keinginan kita.Â
Suami, orang tua, boss nggak bisa memenuhi? Ya sudahlah, doakan semoga suatu hari bisa. Kita yang salah, kenapa berharap pada manusia, jangan sampai kita kesal dan sebal pada mereka. Salah arah.
Tauhid membawa nikmat, tenang, bahagia. Tauhid menjauhkan kesal, dendam, benci, kerusakan rumah tangga, persahabatan. Kita sadar bahwa hanya Allah tempat kita meminta, bukan manusia atau makhluk apapun.
Untuk semuanya, minta dulu pada Allah, baru usaha, bekerja mendapatkannya. Maka kerja kita akan mendapat petunjukNya. Tanpa izinNya, kerja keras kita tak akan pernah membuahkan hasil.Â
Tapi kalau Allah sudah berkehendak dan sudah menetapkan bahwa saatnya sudah tiba, tak akan ada yang bisa menghalangi, meskipun kita belum menjalankan usaha. Usaha kita hanya syarat.Â
Allah bisa mengabulkan dengan berbagai cara-cara ajaibNya. Dan yang namanya "usaha" jangan hanya usaha yang kita kenal secara duniawi, bekerja saja. Lengkapi dengan tahajud, dluha, sedekah, shalawat dan berbagai "usaha" ibadah lainnya.
Yakinlah pada Allah seperti Umar yakin sungai Nil akan mengalir kembali saat namaNya disebut. Lakukan semua perintahNya dan jauhi semua laranganNya. Yakin bahwa semua doa itu didengar dan akan dikabulkan dengan cara dan waktuNya. Kita tak bisa memaksaNya. Allah yang tahu apa yang terbaik bagi kita. Jadi berdoa, dan serahkan segalanya hanya padaNya.
Yuk, kita junjung tinggi tauhid. Baik dalam bentuk fisik, tertulis, maupun amalan sehari-hari. Ini yang paling penting. Ini pula yang insya Allah bisa membawa kalimat ini ke bibir kita di penghujung usia nanti. Aamiin... ridloilah, ya Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H