Sang Pencipta Manusia mengatakan bahwa semua manusia adalah pemimpin dan semua pemimpin akan dimintai pertanggung jawabannya. Nah.. kita belajar banyak-banyak yuk dari para pemimpin masa lalu.
Umar bin Khatab adalah seorang pemimpin besar dalam sejarah. Saat ia berkuasa wilayah kekuasaannya meliputi hampir setengah bola dunia. Ia adalah kaisar besar di masa itu. Dan kaisar besar ini memberi contoh kesederhanaan yang sangat menakjubkan. Bajunya hanya dua potong, rumahnya sangat apa adanya. Tak pernah ia memanfaatkan posisi kekaisarannya untuk mendapatkan kekayaan. Senang atau susah sama saja baginya.
Salah satu gubernurnya adalah Amr bin Ash, yang memerintah wilayah Mesir. Dan kesederhanaan Umar tak bisa dilihat dari Amr bin Ash. Amr bin Ash memiliki istana besar di Mesir, seperti penguasa-penguasa di Mesir lainnya. Dan di sebelahnya ada sebuah gubuh reyot milik seorang pria Yahudi.
Suatu hari Amr bin Ash merencanakan sebuah proyek di samping istananya. Maka ia memanggil pria pemilik rumah tersebut. Ia menawarkan untuk membeli tanah di mana ia tinggal, karena di atas tanah tersebut akan ada bangunan lain.
Pria Yahudi tersebut tidak ingin menjual tanahnya. Maka berapapun harga yang ditawarkan Amr bin Ash, ia tak mau menerimanya. Ia sudah tinggal di tanah tersebut lama sekali sehingga ia merasa tak ingin pindah dari sana. Dan Amr bin Ash pun mengatakan bahwa kalau tanah itu tak mau dijual juga, maka tanah itu akan digusur.
Marahlah pria Yahudi tersebut. Makai a pun pergi ke Madinah untuk mengadu ke Umar. Ia tak pernah bertemu atau melihat Umar. Ia berfikir, kalau gubernurnya saja tinggal di sebuah istana yang sangat besar, apalagi khalifahnya. Pasti lebih besar lagi dan lebih mewah lagi. Kalau Amr bin Ash memakai pakaian yang sangat bagus, apalagi khalifahnya. Pasti lebih mewah lagi. Apalagi ia adalah Yahudi, bukan Muslim. Apa mungkin ia didengar? Awalnya ia ragu-ragu, tapi demi mendapatkan tanah yang sudah ditinggalinya puluhan tahun ia memberanikan diri menemui boss nya Amr bin Ash, Umar.
Sesampainya di Madinah, ia menemukan seorang laki-laki di bawah pohon kurma. Badannya tegap dan gagah, jubahnya sangat sederhana. Ditegurnya laki-laki itu, “Pak, tahukah Bapak Umar bin Khatab, sang khalifah?
“Tahu,” kata laki-laki itu.
“Istananya di manakah?” tanya pria Yahudi itu.
“Istananya di atas lumpur,” jawab laki-laki di bawah pohon kurma itu.
“Pakaiannya seperti apa, Pak?” tanyanya lagi.
“Pakaiannya iman dan takwa,” jawab laki-laki tersebut.
Bingunglah pria Yahudi itu. “Di mana ia saat ini, Pak? Saya ingin menemuinya,” tanyanya lagi.
“Di depanmu,” jawab laki-laki yang ternyata adalah Umar bin Khatab.
Pria Yahudi itu kaget luar biasa. Tak disangkanya pemimpin besar yang wilayah kekuasannya meliputi negaranya, Mesir, bisa sesederhana itu. Umar memang hanya memiliki dua jubah, satu pun milik anaknya, dan sudah bertambal-tambal. Maka tak ada tanda kemewahan sama sekali. Ini hal yang benar-benar diluar dugaan pria Yahudi Mesir tersebut.
Disampaikannya kegundahan hatinya dan rencana penggusuran tanahnya. Maka Umar pun memintanya mengambil sebuah tulang unta yang ada di dekat mereka. Digoresnya sebuah garis lurus di atas tulang unta tersebut.
“Berikan tulang ini pada gubernurmu,” perintah Umar.
Kembali pria Yahudi tersebut menjadi sangat bingung.
“Apa maksudnya?” tanyanya lagi.
“Berikan saja. Ia akan mengerti,” tegas Umar.
Maka pulanglah laki-laki itu ke Mesir, dan sesampainya di Mesir diserahkannya tulang itu pada Amr bin Ash. Menerima tulang itu dan melihat goresan pedang Umar di atasnya, Amr bin Ash begidik ketakutan. Langsung dibatalkannya rencana penggusuran itu.
Pria Yahudi itupun bertanya, “Apa maksudnya ini? Mengapa engkau langsung berubah keputusan hanya karena menerima sepotong tulang?”
“Tulang ini adalah nasehat Umar bagiku,” jelas Amr bin Ash. “Ia ingin mengatakan, bahwa aku hanya manusia yang nantinya akan menjadi tulang belulang seperti ini. Maka aku tak boleh seenaknya. Dan aku harus lurus dalam memerintah, adil dan bijaksana, tak boleh menyimpang sama sekali, atau pedang Umar akan menjadi penentu keadilan, seperti garis yang ditorehkan Umar pada tulang ini,” tambahnya.
“Wah, jadi Umar sangat adil ya?” tanyanya.
“Iya, Umar sangat adil, dan memang Islam mengajarkan seluruh pemimpinnya untuk adil dan tidak pandang bulu. Semua harus tunduk pada hukum keadilan,” jelas Amr bin Ash.
Pria Yahudi tersebut sangat takjub. Belum pernah ada pemimpin rendah hati, bijaksana. Ia pun kemudian mengetahui bahwa Umar benar-benar menjalankan nilai-nilai Islam yang dipelajarinya dari Rasulullah saw. Dan seperti itulah seharusnya seorang pemimpin.
Pria Yahudi itu terkesima dan sangat tersentuh hatinya. Maka ia tak jadi bersikeras di atas tanahnya. Ia pun mengatakan bahwa ia kini ingin mengikuti ajaran yang benar-benar adil pada semua umat manusia, dan ia pun menyatakan dirinya menerima Islam sebagai agamanya.
Bukan kekerasan yang bisa melembutkan hati, tapi kebaikan dan keadilan lah yang membuat hati manusia tertawan, lembut dan akhirnya menyatu dengan apa yang telah digariskan. Inilah pelajaran yang diajarkan Umar dalam kisah ini. Banyak sekali kisah lain yang menggambarkan bahwa keadilan dan kepedulian lah senjata ampuh bagi para pemimpin untuk bisa menjalankan pemerintahannya dengan mulus.
Pemimpin harus menyentuh hati dengan menunjukkan kebijaksanaan dan kasih sayang tak pandang bulu.Pemimpin harus membangun dukungan dengan mau mendengarkan dan menetapkan kebaikan.
Karena kita semua adalah pemimpin, apa yang dapat kita lakukan saat ini dengan lebih baik lagi, sebagai seorang pemimpin, meneladani kisah diatas?
Bagaimana agar kita dapat terus menjadi pemimpin yang lebih baik lagi setiap hari?
Dan bagaimana agar kita dapat mengajak sebanyak-banyaknya orang untuk juga menjadi pemimpin yang lebih baik lagi setiap hari?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H