Sebuah stasiun televisi swasta menyiarkan sebuah acara yang menampilkan profil bakal calon gubernur DKI Jakarta tahun 2012.
Tayangan tersebut ditonton oleh seorang anak berusia enam tahun dan berkata kepada ibunya,
"mi, orang yang ada kumisnya itu gagah ya!"
"iya, itu namanya gubernur!"
"gubernur itu apa sih mi?"
"gubernur itu yang memimpin sebuah daerah"
"ooo...." , lanjut anak tersebut, dan kembali bertanya
"gubernur itu adanya di Jakarta saja ya mi?"
"enggak disini juga ada"
Sang ibu kembali menjelaskan lebih lebih lanjut tentang contoh kepemimpinan dalam level yang terendah, yaitu seperti pemimpin kelas yang ada disekolah sang anak.
"untuk jadi gubernur itu harus pintar!, oleh karena itu harus rajin belajar"
Sang anak menganggukan kepala atas penjelasan yang diberikan oleh sang ibu.
***
Hak asasi manusia (HAM) yang didengung-dengungkan selama ini oleh aktifis HAM dunia, salah satunya adalah tentang kebebasan berpolitik. Karena hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki bahkan sejak sang anak masih dalam kandungan sang ibu. Bila kemudian dalam perjalanan hidup sang anak sampai pada saatnya untuk mengenal salah satu hak asasinya, yaitu hak berpolitik. Maka akan sampai pula dimana orang tua harus memberikan penjelasan yang cukup disesuaikan dengan usianya.
Perbincangan antara ibu dan anak tentang gubernur diatas adalah salah satu contoh, bagaimana seorang anak diberikan pemahaman baru tentang dunia politik, pemahaman yang mungkin kelak sangat berguna dalam pengimplementasian hak dan kewajibannya sebagai seorang warga negara yang memiliki hak berpolitik.
Dalam banyak kesempatan kita bisa saksikan bahwa hak politik seorang anak, dalam hal ini untuk mendapatkan pencerahan tentang informasi-informasi awal sesuai usianya sering tidak diberikan oleh orang tua dengan berbagai macam alasan. Bisa karena faktor pendidikan orang tua yang tidak cukup untuk menjelaskan tentang hal tersebut, tetapi banyak juga disebabkan oleh karena anggapan bahwa dunia politik adalah dunianya orang dewasa atau orang tua saja.
Sehingga anak masuk dalam kondisi dimana ia tidak mengalami sebuah masa pendidikan politik dasar secara baik. Kelak saat ia dewasa ia hanya menjadi pewaris tabiat politik yang sudah ada sebelumnya. Belum lagi jika kemudian sang anak hanya dicekoki oleh stempel buruk pelaku politik. Bahwa politik itu kotor dan kejam dan hanya untuk dijadikan sebuah tujuan bukan sebagai sebuah cara.
Menyingkirkan anak-anak untuk mengenali dunia politik sejak dini adalah salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Bukankah kelak mereka adalah calon-calon pemimpin bagi negerinya ?, lalu mengapa mereka tidak diberikan kesempatan untuk mengenali dunia politik sejak dini?, bukankah disaat keemasan petumbuhan otak dan fisik mereka menjadi saat yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai berpolitik yang baik?.
Bagaimana menjadi seorang pemimpin yang baik, bagaimana proses sang pemimpin diberikan amanah rakyatnya, bagaimana sang pemimpin menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk kebaikan banyak pihak bukan hanya bagi kepentingan diri, keluarga dan kelompoknya saja. Untuk hal-hal seperti itu, tentu kita bisa memberikan contoh panutan yang baik dari keteladanan pemimpin masa lalu. Bukankah itu sebagai sebuah pembelajaran politik bagi anak-anak kita.
Tetapi celakanya pihak-pihak yang menyingkirkan anak-anak dari dunia politik adalah notabene mereka yang berkecimpung dalam menyuarakan pentingnya menjunjung tinggi hak asasi manusia. Mereka yang mengaku sebagai para pembela hak asasi manusia itu turut serta dalam menjauhkan anak-anak untuk mengenal dunianya kelak ketika dewasa, yaitu dunia politik.
Banyak talkshow jelang pemilu maupun opini-opini yang tersampaikan diruang publik menyeruak masuk ditengah hingar-bingar kampanye dari mereka para pembela hak asasi manusia untuk menunjuk hidung bahwa partai politik tertentu (yang menjadi sasaran opininya) telah melakukan eksploitasi anak-anak dalam pemilu dan menyebutnya sebagai sebuah pelanggaran HAM oleh mereka. Padahal dalam prakteknya apa yang dilakukan oleh partai politik tersebut adalah sebuah pembelajaran politik sejak usia dini terhadap para kader dan konstituennya yang memiliki dan membawa anak ketika berkampanye.
Untuk merasakan bagaimana atmosfer sesungguhnya dalam meraih cita-cita politik yang diusung partai politik tersebut. Merasakan bagaimana sebuah hiruk-pikuk kampanye bisa terselenggara dengan penuh ketertiban yang luar biasa oleh karena ada kekuatan besar yang menjadi perhatian bersama dalam partai politik tersebut. Bahwa kampanye bukan hanya sekedar ajang hura-hura dan ajang eksploitasi elit politik dan konstituen saja, melainkan ada hal-hal yang baik yang bisa terbangun dari penampilan kampanye yang tertib dan aman, yaitu menjadi model penyelenggaraan pemilu yang damai bagi bagi banyak pihak.
Maka wajarlah kenapa dunia perpolitikan kita selalu dipenuhi dengan "kebusukan demi kebusukan", karena tak ada upaya yang dilakukan untuk mengenalkan anak-anak usia dini kepada hal tersebut. Bahkan bukan hanya tidak mengenalkan, tetapi melarangnya. Sehingga yang terjadi adalah dunia politik tetap kotor dan kejam dan hampir semua hanya berkutat kepada kepentingannya semata.
Bagaimana mungkin akan terjadi "potong generasi" politisi bobrok, sementara generasi-generasi penerusnya (anak-anak diusia dini) ditinggalkan dalam mengenal urusan berpolitik!. Sebuah urusan yang menyangkut hak asasinya sebagai manusia yang kelak diberikan amanah.
Siapa yang meneriakkan paling keras terhadap pembelaan akan hak asasi manusia, tapi kenyataanya menjadi pelanggar hak asasi manusia di garda terdepan. Sungguh mengherankan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H