Mohon tunggu...
Indigo
Indigo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Penyimak persoalan-persoalan sosial & politik,\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perlunya Kolektifitas Dalam Pemberantasan Korupsi

16 Desember 2011   09:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:11 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Postingan ini terinspirasi setelah mendengarkan review sebuah buku novel karya Tahar Ben Jelloun yang berjudul Korupsi di sebuah stasiun radio swasta. Seorang sastrawan Perancis kelahiran Maroko yang menghadirkan sebuah novel dengan tema yang cukup berat, yang terinspirasi dari karya Pramoedya Ananta Toer dengan judul yang sama.

Sekilas yang saya tangkap dari review buku novel tersebut adalah menceritakan seorang yang bernama Murad yang bekerja di sebuah instansi pemerintahan dalam hal ini pekerjaan umum dengan tugas utamanya sebagai seorang yang memeriksa berkas pembangunan, amanah yang dia pegang sangat strategis karena tanpa persetujuannya pembangunan takkan terjadi di kota Casablanca tempatnya bekerja.

Murad terlibat kasus korupsi dan perselingkuhan, sebuah fenomena yang juga mewabah di negeri Maroko sana. Gambaran yang juga terjadi dinegeri ini, Indonesia. Betapa korupsi sudah menjadi penyakit yang mendarah daging di seantero negeri.

Perselingkuhan yang terjadi, yang dilakukan oleh Murad adalah sebuah pelarian yang bermula dari betapa tertekannya dia karena dilingkungan tempatnya bekerja dipenuhi dengan praktek-praktek korupsi. Murad membutuhkan tempat diskusi atas masalah yang dia hadapi ditempatnya bekerja. Adalah Nadya seorang teman lamanya yang kemudian menjadi selingkuhan Murad, sekaligus tempatnya curhat. Karena ia merasa keluarganya, terutama istrinya malah menjadi pendorong ia untuk melakukan tindakan korupsi.

Murad terlahir sebagai pribadi yang kuat kepribadiannya dan menganggap hidup tanpa harta kekayaan yang melimpah akan tetapa bisa dijalaninya dan bisa meraih kebahagiaan. Ini tercermin dari tindakannya yang selalu menolak untuk terlibat dalam perbuatan korupsi. Tetapi setelah berkali-kali bersikukuh dengan pendiriannya, akhirnya bobol juga pertahanan Murad dan ikut melakukan korupsi dan terjebak dalam lingkaran yang tidak mudah untuk ia keluar. Jebakan teman-temannya untuk membawa Murad kedalam praktek korupsi berhasil. Ini disebabkan tekanan ekonomi keluarganya yang akhirnya ia menerima dollar dalam map yang berisi berkas pembangunan yang harus ia tandatangani.

Teman-temannya menjebak Murad dengan uang tersebut sebagai media psy warnya, karena uang tersebut telah ditandai oleh sang pemberi suap. Ketika menukarkan uangnya ke bank kali kedua ia dihadapkan kepada kenyataan bahwa perbuatan korupsi yang dilakukan ternyata telah diketahui. Murad dihadapkan kepada pemilik bank dan diberikan pertanyaan yang cukup membuatnya lemas tak berdaya ” Darimana uang itu anda dapatkan?’

Tetapi kejadian tersebut bukan untuk membawanya kedalam jeruji besi, melainkan hanya untuk meneror Murad untuk tetap berada dalam lingkaran korupsi yang sudah ia lakukan. Karena tindakan korupsi itu sulit untuk  dibuktikan, maka teman-teman mencari kesalahan sepele yang dilakukan oleh Murad. Celakanya Murad telah meminjam mesin tik kantor yang sudah dijadikan barang tak terpakai untuk dipergunakannya dirumah. Bukti nyata ini yang kemudian menjadi teror yang dilakukan oleh teman-temanya agar Murad tetap berada dalam lingkaran korupsi.

***

Bahwa persoalan korupsi bukanlah persoalan sepele, yang pada akhirnya seorang Nadya yang menjadi selingkuhan Murad pun tak mampu memberikan solusi yang cukup membuatnya terhindar dari perbuatan korupsi dengan membenturkan prinsipnya bahwa tanpa harta kekayaan ia akan tetap bisa melanjutkan hidup. Tetapi pada kenyataannya ia ikut terlarut pula dalam lingkaran korupsi.

Dalam novel tersebut memang tidak diceritakan adanya pihak lain yang ikut membantunya untuk keluar dari lingkaran korupsi sebelum dan sesudah Murad ikut didalamnya.

Apa yang terjadi pada Murad, meskipun diilustrasikan sebagai sebuah kejadian yang terjadi dinegeri Maroko sana, namun kita bisa ambil kesimpulan yang sama bahwa permasalahan korupsi yang terjadi memiliki modus yang sama seperti yang terjadi dinegeri kita Indonesia.

Tindak pidana korupsi dinegeri ini sudah bukan rahasia lagi, karena hampir disemua  sektor  terjadi hal tersebut, bahkan secara terang-terangan dan berjamaah pula!. Sehingga ada anekdot yang mengatakan bahwa ” korupsi sekarang tidak lagi terjadi dibawah meja tetapi bersama meja-mejanya ikut dikorupsi”, korupsi bukan hanya merajalela dan meratulela bahkan sudah mendarah daging.

Sehingga ada cemoohan dari orang-orang yang melakukan korupsi kepada orang yang tidak mau atau belum melakukan hal yang sama sebagai orang yang “sok alim”, “sok suci” , “gak doyan uang lagi”, “ulama dikampung maling”, dan sebutan-sebutan lain yang menyindir orang-orang yang masih bertahan atas prinsipnya untuk tidak melakukan korupsi.

Tidak berhenti sampai disitu, mereka melakukan tindakan seperti yang dilakukan oleh teman-teman , kolega , rekanan Murad tempatnya bekerja dengan teror secara halus hingga ancaman pembunuhan jika tidak ikut kedalam perbuatan korupsi. Menyelipkan uang kedalam amplop atau map untuk proyek yang sudah diloloskan, memberi parcel, hadiah pernikahan yang mewah, hingga ancaman untuk “mengarungi” orang yang tidak mau mengakomodir kepentingan dalam hal tindakan korupsi.

Susahnya Murad untuk keluar dari lingkaran korupsi adalah sebuah fakta yang sama terjadi dinegeri ini, betapa kita lihat setiap harinya berita yang mengabarkan bahwa pejabat dari level terendah hingga pejabat tinggi, satu persatu menjadi pesakitan karena tindak pidana korupsi yang ia lakukan.

Pegawai negeri  sipil, Bupati, walikota, Gubernur, Menteri,Presiden, mantan Presiden, pejabat BUMN, politikus, penggiat LSM, dan lain-lain adalah barisan yang rentan untuk melakukan tindakan korupsi.

Kalau bukan karena telah mendarah dagingnya perilaku untuk melakukan tindak pidana korupsi, tentu akan sangat mudah untuk memberantas korupsi dinegeri ini. Kalau bukan karena telah menjadi gurita yang mencengkeram begitu banyak pihak sehingga lahirnya mafia-mafia yang menggerogoti harta kekayaan negeri ini, tentu akan banyak rakyat yang terangkat kondisi perekonomiannya. Tentu saja negeri yang kaya raya ini tak perlu ada cerita duka anak-anak yang busung lapar dan kekurangan gizi, nenek yang mencuri 3 butir cokelat lalu mengalami tindakan hukum yang tidak adil.

Korupsi yang menggurita dan mendarah daging ini tidak bisa dilawan oleh seorang “Murad” belaka, meskipun telah tertanam kepribadian yang kuat. Diperlukan kekuatan lain yang saling mendukung satu sama lain. Murad-Murad yang ada dinegeri ini jangan dibiarkan berjuang sendirian, karena akan mengalami kehabisan tenaga dan menumbangkan pendirian yang kokoh.

Kekuatan yang bermula dari lingkaran terdekat, yaitu keluarga, istri dan anak-anak, orangtua, lingkungan yang baik, lembaga-lembaga yang bersih, penegak hukum yang adil, pembuat undang-undang yang amanah, pemimpin yang komitmen terhadap kesejahteraan rakyatnya. Tanpa itu semua akan hanya seperti tong kosong yang nyaring bunyinya.

Teriakan-teriakan yang menggaungkan untuk menghentikan tindakan korupsi hanya akan memenuhi ruang-ruang diskusi dan wacana belaka, karena tak sempat  terimplementasikan dalam tindakan hukum yang benar-benar membuat efek jera. Gaung yang hanya sebatas pencitraan belaka tak menyentuh nurani para pelakunya.

Adakah kita termasuk orang yang malah berpihak dengan secara tidak sadar dengan para koruptor dengan sikap yang menjelekkan pihak-pihak yang berusaha memerangi tindakan korupsi, hanya karena mereka berada dipihak atau dilembaga yang mereka perangi. Mengganggap semuanya telah menjadi hitam oleh korupsi hanya karena kita telah terlanjur mengganggap buruk semua yang terkait didalamnya.

Harus kita sadari bahwa korupsi sudah bukan permainan individu-individu tetapi sudah menjadi jaringan yang saling terkait satu sama lain, saling melindungi, saling memberi peran dalam kepentingan yang sama, yaitu menjadikan korupsi sebagai lahan yang harus tetap dipertahankan.

Bahkan mantan pejabat negara pernah mengatakan bahwa membongkar korupsi akan mengganggu  stabilitas negara karena banyak pihak yang terlibat didalamnya. Bukankah kejahatan yang terorganisir akan memenangkan pertarungan melawan kebaikan yang dilakukan secara parsial  dan sendiri-sendiri?.

“Tanpa terbangunnya kesadaran kolektif dalam pemberantasan korupsi, akan sangat susah bahkan mustahil untuk menjadikan negeri ini terbebas dari penyakit kronis tersebut”

gambar diambil dari sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun