Mohon tunggu...
Indigenous Muhammad
Indigenous Muhammad Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Padjadjaran

Valar Morghulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Reformasi "Mengobati" Korupsi

31 Desember 2022   17:07 Diperbarui: 31 Desember 2022   17:07 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Reformasi yang dilakukan masyarakat terhadap pemerintah mengubah banyak konsep-konsep pemerintahan yang ada sebelumnya. Era reformasi dianggap menjadi awal penegakan demokrasi melalui politik terbuka dan liberal. Pemerintah pusat mendistribusikan kekuasaannya kepada daerah dengan memberlakukan otonomi daerah. Pelimpahan kekuasaan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah diharapkan dapat membuat pemerintah daerah yang ada di Indonesia bisa membangun sendiri daerahnya dengan sumberdaya yang dimiliki. 

Sebelumnya, pemerintah pusat memiliki kendali penuh atas ekonomi daerah dimana pendapatan sumber daya alam daerah secara penuh dikendalikan oleh pemerintah pusat dan dialirkan ke pemerintah pusat. Sejak diberlakukannya otonomi daerah maka tiap-tiap daerah memiliki kesempatan untuk merasakan manfaat dan keuntungan dari sumber daya alamnya .

Selain otonomi daerah, pemerintah Reformasi juga membangun kembali demokrasi di Indonesia dengan memberlakukan beberapa kebijakan seperti kebebasan pers, pemberian izin pendirian partai politik dan organisasi buruh, pembebasan tahanan politik dan pembatasan masa jabatan presiden. Selain itu, pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia juga dikembalikan kepada masyarakat dengan dilaksanakannya pemilihan umum secara langsung untuk eksekutif dan legislatif setelah sebelumnya pemilihan eksekutif dilaksanakan secara tidak langsung melalui legislatif. Reformasi pada saat itu menjadi harapan baru bagi masyarakat Indonesia setelah 32 tahun dibatasi oleh pemerintah Orde Baru. 

Reformasi membuat masyarakat Indonesia kembali memiliki harapan terhadap pemerintah yang mampu membangkitkan kembali perekonomian nasional dengan menuntaskan masalah-masalah lungsuran dari rezim Orde Baru yaitu korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Reformasi juga diharapkan dapat menjadi obat yang tepat untuk membasmi tindakan korupsi yang telah mengakar di masyarakat Indonesia selama masa pemerintahan orde baru. Akan tetapi, menyelesaikan KKN ternyata tidak semudah itu untuk dilakukan oleh pemerintah.

Tindak pidana korupsi di Indonesia telah mengakar sangat kuat di pemerintah maupun masyarakat. Korupsi sudah tidak memandang watak dan tabiat dari manusia akan tetapi bergantung pada kesempatan yang ada. Hal ini tidak lepas dari banyaknya celah hukum dan kebijakan yang dapat dimanfaatkan oleh pemangku kebijakan yaitu pejabat negara dan politikus bersama dengan pihak swasta untuk meraih keuntungan masing-masing. Di lain sisi, praktik korupsi sendiri memiliki dampak yang destruktif bagi negara maupun masyarakat. Praktik korupsi ini pada akhirnya akan mengancam perekonomian negara, merusak lembaga demokrasi dan memperlambat jalannya pembangunan di Indonesia. 

Akan tetapi, tumbuh suburnya praktik korupsi di Indonesia bukan tanpa pencegahan. Setelah sebelumnya pada masa Orde Baru korupsi dijalankan oleh pucuk eksekutif dan terkonsentrasi melalui korporatisme pemerintahan Soeharto. Masa Reformasi memperbaiki hal itu dengan melakukan transfer kekuasaan pemerintah dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah melalui kebijakan otonomi daerah. Selain itu, reformasi juga melakukan transfer kekuasaan pemerintah ke berbagai lembaga negara dengan banyaknya dibentuk lembaga-lembaga negara yang berfungsi sebagai pengawas dalam rangka membasmi tindak korupsi. 

Akan tetapi usaha dari pemerintah masa Reformasi justru membuat praktik korupsi semakin meluas bahkan lebih parah dari masa Orde Baru. Korupsi di masa Reformasi telah tumbuh secara horizontal di seluruh lembaga negara dan vertikal dari tingkat pusat hingga daerah.

Pertumbuhan korupsi yang baik di era Reformasi ini tidak bisa lepas dari kebijakan otonomi daerah yang diterapkan oleh pemerintah Reformasi. Distribusi kekuasaan kepada daerah-daerah justru membawa penumpang gelap yaitu korupsi itu sendiri. Korupsi di masa desentralisasi justru semakin meluas dan menjamur di daerah-daerah itu sendiri. Hal ini diamini oleh Prof. Wihana Kirana Jaya dalam pidato pengukuhan Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Gajah Mada. Menurutnya, penyelenggaraan desentralisasi tidak hanya menciptakan akuntabilitas anggaran negara melainkan ikut menciptakan korupsi, kolusi dan nepotisme melalui kontrol kuat elit politik lokal . 

ICW juga membenarkan hal itu dengan mengutip pernyataan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi yaitu terdapat 17 Gubernur dari 33 Provinsi dan 150 Bupati yang tersandung kasus korupsi pada 2010. Hal ini juga diamini oleh data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sampai saat ini terdapat 1261 kasus korupsi yang terjadi sejak 2004 hingga 3 Januari 2022.

Laporan tren kasus korupsi yang semakin meningkat tiap tahunnya terjadi di berbagai sektor pemerintahan di Indonesia. Terdapat beberapa sektor yang rawan untuk dikorupsi di Indonesia mengacu pada data yang dikeluarkan oleh Indonesian Corruption Watch. Sektor pelayanan publik, sumber daya alam dan tata kelola pemerintahan menjadi sektor utama tumbuhnya praktik korupsi. Tindak korupsi yang dilakukan juga beragam yaitu kegiatan suap menyuap, pungutan liar hingga kegiatan pencucian uang. Kasus korupsi di Indonesia tidak dapat dilihat hanya dari klasifikasi sektor melainkan keterlibatan individu maupun kelompok juga menghantui Indonesia. 

Dari sini dapat dilihat bahwa korupsi tidak hanya melibatkan banyak pihak akan tetapi terkadang didalangi hanya dengan satu pihak yang mengatur jalannya korupsi dengan mengintegrasi kekuasaan dari berbagai pihak dan mengeksploitasi kegagalan sistem pemerintahan di Indonesia. Selain sektor-sektor diatas, korupsi di kalangan hakim, jaksa dan pejabat polisi juga marak terjadi dan merusak ha katas perlindungan yang sama dimata hukum. 

Kalangan penegak hukum kerap kali harus ternodai dengan kasus suap dalam proses perizinan usaha pertambangan dan perkebunan yang mengizinkan untuk merampas tanah dari masyarakat adat atau masyarakat setempat serta meringankan hukuman terhadap pelaku tindak pidana korupsi..

Makin suburnya praktik korupsi pada masa reformasi tidak lepas dari hubungannya dengan aspek ekonomi dan politik dalam suatu negara. Ekonomi menjadi instrumen utama untuk melihat bagaimana praktik korupsi berjalan pada suatu negara, dimana ekonomi digunakan untuk melihat bagaimana dan dimana korupsi itu terjadi serta melihat dampak dari korupsi itu sendiri. Sedangkan politik sendiri menjadi alat utama bagi oknum koruptor melakukan korupsi dengan memanipulasi kebijakan dan produk produk politik serta memanfaatkan celah konstitusi agar praktik korupsi dapat berjalan lancar. 

Dari sini dapat dilihat bahwa politik berperan penting di dalam praktik korupsi mengingat peran pejabat publik sebagai aktor politik seringkali melibatkan self-interest bersama dengan aktor privat di dalam menyusun kebijakan-kebijakan publik. Hal ini tentu berbahaya karena kepentingan-kepentingan publik akan disusun sedemikian rupa demi memuaskan nafsu ekonomi dari aktor-aktor politik dan juga privat. Pada akhirnya, terjadi pemusatan kekuatan ekonomi dan kepentingan publik tidak akan pernah tercapai sebagaimana mestinya.

Pada akhirnya, penyelesaian korupsi di masa reformasi tidak akan pernah mencapai kata maksimal dan tindak korupsi akan terus terjadi di berbagai tempat. Praktik korupsi merupakan warisan birokrasi patrimonial masyarakat Indonesia yang menjelma menjadi birokrasi nepotisme. Praktik pemberian jabatan atau fasilitas khusus terhadap kerabat marak terjadi dan sudah menjadi hal yang wajar ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Dengan pewajaran seperti itu maka praktik korupsi juga dianggap sebagai sesuatu yang wajar. 

Walaupun telah dibentuk lembaga-lembaga untuk mencegah tindak korupsi seperti Badan Pengawas Keuangan, Inspektorat Jenderal dan alat lainnya, akan tetapi lembaga-lembaga ini masih saja dipenuhi oleh budaya birokrasi patrimonial yang ada. Selain itum masalah hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia masih memiliki banyak celah hukum. Terdapat kelemahan hukum di Indonesia yang membuat para koruptor menjadi leluasa untuk melakukan tindakan korupsi karena terdapat celah untuk lepas dari jeratan hukum.

Selain itu, terdapat mahar yang mahal dalam penyelenggaraan negara di Indonesia. Penyelenggaraan negara memerlukan kerja sama ekonomi antara politikus dan pihak swasta sebagai salah satu saluran untuk mendistribusi kekayaan negara. Kerja sama tersebut tentu menjadi celah bagi politikus dengan memanfaatkan kekuasaannya dan mengeksploitasi pihak swasta. Kerja sama ini tentu akan dihargai mahal oleh politikus sehingga pihak swasta harus membayar mahar agar perizinan dan proyek pengadaan pemerintah dapat diraih oleh pihak swasta.

Akhir kata  praktik korupsi di Indonesia akan terus tumbuh dengan subur karena banyaknya celah yang diciptakan oleh koruptor itu sendiri. Tidak peduli berapa banyak lembaga pencegahan yang dibentuk oleh pemerintah, korupsi tidak akan pernah habis karena celah-celah tersebut. Masyarakat telah melihat berbagai lembaga anti korupsi di Indonesia justru terjebak dalam kewenangannya dan melakukan tindak pidana korupsi.

Kita tidak bisa hanya menyalahkan koruptor tersebut akan tetapi kita juga harus melihat bagaimana sistem yang membangun lembaga tersebut. Korupsi mungkin akan terjadi ketika para pejabat publik serakah, tetapi mungkin juga terjadi ketika terdapat celah yang dapat dimaksimalkan. Celah tersebut tidak diperbesar oleh Reformasi, akan tetapi disuburkan dan dibiarkan tumbuh mengakar ke berbagai daerah dan lembaga pemerintah. Bak sebuah ember, air yang sebelumnya mengalir deras keluar dari ember melalui satu lubang, menjelma menjadi mengalir deras keluar dari ember dengan ratusan lubang. 

Tentu untuk mengatasinya akan semakin sulit, akan tetapi bukan berarti mustahil. Reformasi yang diharapkan oleh masyarakat menjadi obat dari praktik korupsi yang parah yang terjadi di masa Orde Baru justru berubah menjadi obat yang menguatkan, menumbuhkan dan menyebarkan praktik korupsi di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun