Mohon tunggu...
Indigenous Muhammad
Indigenous Muhammad Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Padjadjaran

Valar Morghulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perjuangan Perempuan dalam Mewujudkan Keterwakilannya di Politik

15 April 2022   11:20 Diperbarui: 15 April 2022   11:37 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perempuan sebagai bagian dari separuh total populasi di Indonesia representasinya di bidang politik masih dapat dihitung sedikit. Kondisi ini disebabkan oleh diskriminasi dan persepsi yang diciptakan oleh budaya, agama dan masyarakat terhadap status dan kedudukan perempuan. 

Politik yang selama ini erat kaitannya dengan dunia laki-laki seringkali bersikap tidak ramah perempuan yang kemudian menyebabkan minimnya partisipasi perempuan di dalam politik. 

Salah satu budaya yang mendiskreditkan perempuan yaitu patriarki dimana keberadaannya membuat jurang antara perempuan dan keterwakilannya di bidang politik. 

Ketika perempuan sudah tidak dilibatkan di dalam politik makaa kebijakan-kebijakan yang kemudian dihasilkan akan cenderung tidak pro kepada perempuan bahkan tidak memperhatikan perempuan sama sekali.

Walaupun telah banyak gerakan dan kebijakan yang dilakukan untuk mendorong peran perempuan di dalam politik seperti affirmative action, hal-hal tersebut belum mampu memberikan dampak yang signifikan terhadap keterwakilan perempuan di politik. Jika melihat data Pemilihan Legislatif 2019, dari 575 anggota DPR RI terpilih, 118 diantaranya merupakan perempuan. 

Jika melihat kembali kepada UU No.12 Tahun 2003 yang mengatur kuota 30% perempuan di dalam parlemen, sejak disahkannya kebijakan itu, angka keterwakilan perempuan belum mampu memenuhi kuota tersebut yang berarti politik dan pemerintah masih didominasi oleh kaum pria. Dari sini kita dapat melihat bahwa terdapat beberapa faktor penghambat yang kemudian membuat keterwakilan perempuan secara maksimal di parlemen menjadi sulit.

Terdapat masalah yang sangat kompleks terkait keterwakilan perempuan di dalam politik bahkan perempuan harus bisa melewati berbagai rintangan untuk dapat terjun ke politik. 

Tantangan pertama yang harus dilalui perempuan yaitu agama dan kultur, perempuan yang akan terjun ke politik sudah pasti akan dibenturkan oleh agama dan kultur yang seringkali menyempitkan peran perempuan di dalam kehidupan bahkan cenderung menempatkan perempuan pada bidang domestik. 

Hal ini tentu menjadi tantangan terberat karena perempuan akan dibatasi oleh keluarga, kerabat dan masyarakat dengan menggunakan dalil agama dan kultur. Ketika perempuan berhasil melewati tantangan pertama, maka perempuan akan dihadapkan oleh tantangan kedua yaitu, partai politik. 

Walaupun kebijakan affirmative action telah diberlakukan untuk partai politik, dominasi kaum pria di dalam partai politik akan menjadi penghambat yang kemudian menggagalkan usaha perempuan untuk dapat maju kedalam politik.

 Elit-elit partai politik yang didominasi oleh pria dengan budaya patriarki tentu akan menggunakan sistem yang berlaku di partai sebagai cara untuk menjegal keterlibatan perempuan di dalam politik. 

Ketika perempuan berhasil melewati agama, kultur, dan partai politik, maka perempuan akan berhadapan dengan hal yang paling vital dan berat dilakukan yaitu meyakinkan masyarakat untuk percaya kepada perempuan di dalam politik. 

Lagi-lagi, perempuan akan menghadapi kesulitan untuk meyakinkan masyarakat bahwa perempuan mampu untuk terjun dan berpartisipasi di dalam politik. 

Masyarakat Indonesia yang kental akan budaya patriarki akan bersikap acuh terhadap keterlibatan perempuan di dalam politik. Masyarakat punya banyak alasan untuk mendukung sikap patriarki mereka, salah satunya yaitu agama dan budaya yang sejak zaman dahulu telah mengatur tugas dan peran perempuan di dalam masyarakat.

Ketiga hal tersebut kemudian membuat perempuan yang ingin terjun ke dalam politik terjebak di dalam lingkaran setan yang disebabkan oleh satu budaya yaitu patriarki. 

Oleh karena itu, affirmative action dari pemerintah belum cukup untuk mendorong keterlibatan perempuan di dalam politik. Diperlukan gerakan yang mengakar di dalam masyarakat untuk mengurangi cengkraman budaya patriarki. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun