Dengan mengacu pada konsep Ranggawarsita Tiga Era, masyarakat Indonesia dapat melihat perjalanan degradasi nilai-nilai moral secara bertahap. Pemahaman ini penting untuk refleksi diri dan mendorong upaya membangkitkan kembali nilai-nilai luhur di masyarakat, sehingga masyarakat dapat berupaya mewujudkan keadilan, harmoni, dan kebajikan seperti yang tercermin dalam era Kalasuba.
Why: Mengapa konsep Ranggawarsita Tiga Era dianggap relevan untuk menjelaskan fenomena korupsi di Indonesia?
Konsep Ranggawarsita Tiga Era dianggap relevan untuk menjelaskan fenomena korupsi di Indonesia karena ia menggambarkan perjalanan moral dan nilai sosial masyarakat yang mengalami degradasi dari masa keemasan menuju krisis moral, hingga akhirnya mencapai titik kerusakan yang mendalam. Tiga era yang dikemukakan, yakni Kalasuba (masa keemasan), Katatidha (masa ketidakpastian), dan Kalabendhu (masa kegelapan), menawarkan perspektif yang membantu kita memahami akar dan perkembangan perilaku koruptif dalam konteks Indonesia.
Dalam konsep Kalasuba, masyarakat hidup dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, keadilan, dan integritas. Masa ini melambangkan harapan masyarakat Indonesia terhadap kepemimpinan yang jujur dan adil, di mana pejabat publik menjalankan tugasnya demi kepentingan umum. Namun, kondisi ideal ini sering kali hanya bertahan sementara, terutama ketika terjadi perubahan sosial, ekonomi, dan politik. Di Indonesia, harapan pada masa awal kemerdekaan dan pada reformasi 1998 mencerminkan keinginan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat, sebuah konsep yang berakar dari Kalasuba. Sayangnya, harapan ini terkikis seiring berjalannya waktu.
Era Katatidha, masa ketidakpastian dan keraguan, mencerminkan krisis identitas yang terjadi ketika masyarakat dan pemimpin mulai tergoda untuk mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan bersama. Ketika nilai-nilai luhur mulai ditinggalkan, celah bagi perilaku koruptif semakin terbuka lebar. Di Indonesia, era ini dapat dikaitkan dengan masa-masa ketika masyarakat menghadapi tantangan ekonomi dan sosial yang memperkuat pola hidup pragmatis, sementara ikatan sosial dan nilai-nilai kebersamaan mulai melemah. Era ini menggambarkan masa transisi di mana korupsi mulai menjadi fenomena yang dianggap "normal," mencerminkan kemerosotan moral.
Era terakhir, Kalabendhu, menandai puncak dari krisis moral, di mana korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan merajalela. Pada masa ini, nilai-nilai integritas dan keadilan hampir sepenuhnya tergusur oleh kepentingan pribadi dan kelompok. Di Indonesia, Kalabendhu menggambarkan situasi di mana korupsi sudah merasuki hampir semua lapisan pemerintahan, dan sering dianggap sebagai budaya yang sulit diberantas. Ketika korupsi dianggap lumrah, masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah, dan institusi hukum sulit memberantasnya karena terjebak dalam struktur yang sama.
Dengan melihat fenomena korupsi melalui Ranggawarsita Tiga Era, kita memahami bahwa korupsi bukan hanya tindakan individu, melainkan cerminan dari kemerosotan nilai-nilai masyarakat secara kolektif. Pemahaman ini menekankan pentingnya pemulihan nilai-nilai keadilan dan integritas, agar Indonesia dapat beralih kembali ke tatanan sosial yang lebih etis dan bermoral, seperti yang dicita-citakan dalam Kalasuba.
How: Bagaimana nilai-nilai luhur di era Kalasuba dapat dihidupkan kembali untuk mengatasi masalah korupsi dan memperbaiki          moralitas sosial di Indonesia?
Untuk mengatasi masalah korupsi dan memperbaiki moralitas sosial di Indonesia, nilai-nilai luhur yang tercermin dalam era Kalasuba dapat dihidupkan kembali melalui berbagai pendekatan yang melibatkan perbaikan moral individu, pendidikan karakter, serta reformasi sistemik. Era Kalasuba dikenal sebagai masa keemasan di mana masyarakat menjunjung tinggi kejujuran, keadilan, kepedulian sosial, serta integritas, yang menjadi fondasi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Menghidupkan kembali nilai-nilai ini di Indonesia membutuhkan usaha dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, institusi pendidikan, masyarakat sipil, dan individu.
Pertama, penting untuk menanamkan nilai-nilai etika dan integritas sejak dini melalui pendidikan karakter di sekolah. Institusi pendidikan berperan penting dalam membentuk pola pikir generasi muda yang anti-korupsi dan berorientasi pada moralitas. Materi mengenai nilai-nilai luhur, seperti kejujuran, keadilan, dan pengabdian pada kepentingan umum, perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum. Selain itu, pemberian contoh nyata dari para pendidik dan pemimpin dalam menjalankan prinsip-prinsip etis sangat penting agar nilai-nilai ini tertanam kuat pada anak-anak dan remaja.
Kedua, pemerintah perlu memperkuat penegakan hukum dan menciptakan sistem transparansi yang efektif untuk mencegah peluang korupsi. Pada masa Kalasuba, keadilan dan keterbukaan menjadi landasan penting dalam kehidupan sosial. Dengan menegakkan hukum secara tegas tanpa pandang bulu, pemerintah dapat menunjukkan komitmen nyata dalam memberantas korupsi. Sistem pemerintahan yang transparan, seperti memperkuat peran lembaga anti-korupsi, mengimplementasikan teknologi informasi dalam pelayanan publik, dan membuka akses informasi, akan meminimalkan peluang korupsi serta meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.