Gaya Kepemimpinan Aristoteles
Gaya kepemimpinan telah menjadi subjek kajian ekstensif sepanjang sejarah filsafat, terutama bila dikaitkan dengan tokoh-tokoh besar seperti Aristoteles. Aristoteles adalah seorang filsuf Yunani kuno yang hidup pada abad ke-4 SM, dan memainkan peran sentral dalam membentuk pemikiran Barat tentang etika, politik, dan kepemimpinan.Â
Berbagai gagasan yang dikemukakannya tidak hanya berkaitan dengan pemerintahan namun juga bagaimana memimpin masyarakat dan organisasi secara efektif dan beretika. Refleksi Aristoteles tentang kepemimpinan seringkali terfokus pada konsep etika dan kebajikan, atau arethe dalam bahasa Yunani.
Menurut Aristoteles, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak hanya melaksanakan tugasnya dengan baik, tetapi juga mempunyai akhlak yang baik. Menurut Aristoteles, kepemimpinan erat kaitannya dengan teori kebajikan moral dan intelektual yang dikemukakannya dalam karyanya yang terkenal, The Nicomachean Ethics.
 Dalam karyanya tersebut, Aristoteles menekankan bahwa tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebahagiaan (eudaimonia), yang hanya dapat dicapai dengan mengamalkan kebajikan.Â
Menurutnya, kebajikan ini tidak hanya berarti kebaikan moral, tetapi juga kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan, yang sangat penting dari sudut pandang kepemimpinan. Para pemimpin harus mampu menemukan jalan tengah di antara hal-hal ekstrem yang tidak diinginkan, prinsip "cara emas", salah satu gagasan inti Aristoteles.Â
Misalnya, dalam hal keberanian, seorang pemimpin yang baik harus mampu menyeimbangkan kedua kualitas tersebut tanpa terlalu gegabah atau terlalu pengecut. Kebahagiaan bagi Aristoteles tidak hanya terbattas pada praktek perilaku kebaikan saja. Menurutnya, perilaku yang tidak baik pun merupakan sesuatu yang dapat membahagiakan manusia
. Namun, menurutnya perilaku demikian adalah perilaku yang berada dalam domain temporary happiness (kebahagiaan sementara). Hal ini disebut sebagai kebahagiaan semu, yang mana kebahagiaan ini hanyalah sifat sementara dan tidak memberikan nuansa kebahagiaan yang sejati menurut Aristoteles.
Lebih lanjut Aristoteles memandang manusia sebagai makhluk sosial yang secara kodrati hidup dalam komunitas politik. Ia berpendapat bahwa pemimpin harus mengutamakan kesejahteraan masyarakat di atas kepentingan pribadi karena kehidupan yang baik hanya dapat dicapai melalui partisipasi aktif dalam kehidupan bermasyarakat.Â
Dalam bukunya yang lain, Politik, Aristoteles menegaskan bahwa bangsa yang baik adalah bangsa yang dipimpin oleh individu-individu yang berintegritas, karena merekalah yang paling mampu mengambil keputusan yang menciptakan kesejahteraan bersama. Bagi Aristoteles, kepemimpinan tidak hanya berarti kekuasaan tetapi juga tanggung jawab untuk menciptakan kondisi di mana setiap individu dalam masyarakat dapat berkembang sepenuhnya.Â
Pendekatan kepemimpinan Aristoteles juga mempertimbangkan pentingnya pengetahuan dan kemampuan intelektual. Menurutnya, seorang pemimpin harus memiliki phronesis, atau kebijaksanaan praktis, yang memungkinkan dia mengambil keputusan yang tepat dalam situasi yang kompleks dan seringkali tidak pasti.Â
Hal ini bukan hanya tentang memiliki informasi dan data yang benar, namun juga tentang kemampuan menafsirkan informasi tersebut dengan cara yang etis dan bijaksana.
 Kebijaksanaan praktis inilah yang menjadi landasan utama gaya kepemimpinan Aristoteles, yang memadukan pengetahuan teoritis dengan kemampuan menerapkannya pada situasi dunia nyata. Â
Gaya kepemimpinan Aristoteles juga sangat menekankan pentingnya pendidikan dan pelatihan untuk membangun karakter seorang pemimpin. Ia percaya bahwa kebajikan tidak datang secara alami, tetapi harus dipupuk melalui kebiasaan dan praktik yang baik.Â
Oleh karena itu, pemimpin yang efektif adalah mereka yang terus berusaha untuk belajar dan meningkatkan serta melayani komunitasnya dengan lebih baik. Pemimpin yang ideal adalah seseorang yang memiliki visi jangka panjang untuk kebaikan bersama, dan tidak hanya memikirkan hasil jangka pendek.Â
What: Apa arti eudaimonia dalam konteks kepemimpinan yang diajarkan oleh Aristoteles?
Dalam konteks kepemimpinan menurut Aristoteles, konsep eudaimonia merujuk pada kebahagiaan atau kesejahteraan tertinggi yang menjadi tujuan utama kehidupan manusia, termasuk dalam peran seorang pemimpin.Â
Eudaimonia tidak sekadar mengacu pada kebahagiaan dalam arti kenikmatan fisik atau kesenangan sementara, melainkan pada kondisi hidup yang bermakna, seimbang, dan sesuai dengan kebajikan.Â
Bagi Aristoteles, kebahagiaan sejati tercapai ketika seseorang hidup sesuai dengan tujuan tertinggi manusia, yaitu mengembangkan kebajikan moral dan intelektual. Hal ini sangat relevan dalam konteks kepemimpinan karena seorang pemimpin yang baik harus mencerminkan nilai-nilai ini dalam tindakan dan kebijakannya.
Menurut Aristoteles, seorang pemimpin yang bijaksana tidak hanya bertindak untuk kepentingan pribadinya, melainkan juga untuk kesejahteraan orang lain. Dalam konteks eudaimonia, pemimpin tidak bisa dianggap berhasil hanya karena mencapai kekuasaan atau meraih kesuksesan material.Â
Sebaliknya, keberhasilan seorang pemimpin terletak pada kemampuannya untuk mempromosikan kebaikan bersama dan membantu masyarakat yang dipimpinnya mencapai kesejahteraan. Untuk itu, pemimpin harus menunjukkan kebajikan dalam setiap aspek kepemimpinannya---dari pengambilan keputusan hingga interaksinya dengan orang lain. Â
Aristoteles membedakan antara tujuan sementara dan tujuan akhir. Tujuan sementara hanyalah langkah untuk mencapai sesuatu yang lebih tinggi, sedangkan tujuan akhir adalah hal yang dicari demi dirinya sendiri. Bagi seorang pemimpin, tujuan akhir yang seharusnya dicapai adalah eudaimonia, yakni kebahagiaan dan kesejahteraan yang bersifat universal bagi dirinya dan masyarakat.Â
Kebahagiaan ini tidak hanya menyangkut pemimpin secara individu, tetapi juga kesejahteraan rakyatnya. Pemimpin yang mengejar eudaimonia akan memfokuskan tindakannya pada kebaikan umum, keadilan, dan pengembangan kebajikan, bukan hanya pada keuntungan atau kekuasaan pribadi.
 Lebih jauh, Aristoteles menekankan pentingnya kebajikan moral (virtue) dalam mencapai eudaimonia. Seorang pemimpin yang baik harus hidup secara moral, artinya ia harus bertindak dengan cara yang benar dan bijaksana, memperhitungkan dampak dari keputusan-keputusannya.Â
Kepemimpinan yang efektif dalam pandangan Aristoteles adalah kepemimpinan yang berlandaskan kebajikan, di mana tindakan pemimpin tidak hanya didorong oleh ambisi atau keinginan pribadi, tetapi juga oleh komitmen untuk mencapai kebaikan yang lebih besar bagi masyarakat. Â
Kebahagiaan yang dimaksud Aristoteles juga tidak bisa dicapai secara pasif. Menurutnya, kebahagiaan datang dari tindakan aktif dalam mengembangkan potensi diri dan menjalankan kebajikan. Pemimpin yang ingin mencapai eudaimonia harus terus-menerus berusaha untuk memperbaiki dirinya dan berbuat baik kepada orang lain.Â
Ini termasuk mengambil keputusan yang bijaksana, memimpin dengan keadilan, serta memastikan bahwa masyarakat yang dipimpinnya mendapatkan kesempatan untuk berkembang dan mencapai potensi penuh mereka.Â
   Selain itu, Aristoteles menganggap bahwa kebahagiaan dalam kepemimpinan juga terkait dengan logos, atau rasio dan pemikiran rasional. Pemimpin harus mampu menggunakan akalnya untuk merenungkan setiap keputusan yang diambil, memahami konsekuensi jangka panjangnya, dan selalu bertindak berdasarkan prinsip-prinsip kebajikan. Kepemimpinan yang berlandaskan rasio ini memungkinkan pemimpin untuk tidak hanya mengelola situasi praktis dengan baik, tetapi juga menjaga keseimbangan moral dalam setiap tindakannya.
Dalam rangka mencapai eudaimonia, seorang pemimpin harus memiliki visi yang jelas tentang bagaimana tindakan dan kebijakan mereka dapat berkontribusi pada kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat. Mereka harus mampu melihat melampaui kepentingan pribadi dan mempertimbangkan apa yang terbaik bagi keseluruhan komunitas.Â
Pemimpin yang mengejar eudaimonia akan memastikan bahwa semua tindakannya membawa manfaat jangka panjang dan mendukung pencapaian kehidupan yang bermakna dan bahagia bagi dirinya dan rakyatnya.Â
Singkatnya, eudaimonia dalam kepemimpinan menurut Aristoteles adalah kebahagiaan yang tercapai melalui hidup yang berbudi luhur, adil, dan bijaksana. Pemimpin yang mencapai eudaimonia adalah mereka yang tidak hanya mengejar kesuksesan material, tetapi juga membangun masyarakat yang sejahtera melalui tindakan yang bermoral, adil, dan rasional. Â
Aristoteles mengembangkan pemikiran tentang etika yang memiliki kesamaan dengan ajaran Sokrates dan Plato, terutama dalam hal tujuan mencapai eudaimonia, yaitu kebahagiaan sebagai "kebaikan tertinggi" dalam hidup. Namun, Aristoteles memahami hal ini dengan cara yang lebih realistis dan sederhana.Â
Ia tidak fokus pada akal dan penerapannya, seperti yang dilakukan oleh Sokrates, dan tidak pula mencari pengetahuan tentang ide yang abadi dan tidak berubah, seperti yang dikemukakan oleh Plato mengenai ide kebaikan. Sebaliknya, Aristoteles lebih menekankan pada kebaikan yang bisa dicapai manusia sesuai dengan jenis kelamin, status, kedudukan, atau pekerjaannya masing-masing.Â
Menurut Aristoteles, tujuan hidup bukanlah semata-mata mencapai kebaikan demi kebaikan itu sendiri, tetapi untuk merasakan kebahagiaan. Misalnya, bagi seorang dokter, kesehatan adalah kebaikan; bagi seorang prajurit, kemenangan adalah kebaikan; dan bagi seorang pengusaha, kemakmuran adalah kebaikan. Ukuran kebaikan, menurutnya, adalah sejauh mana hal itu memiliki nilai praktis dalam kehidupan.Â
Tujuan kita bukanlah untuk sekadar mengetahui, melainkan untuk bertindak. Kita tidak perlu hanya memahami apa itu kebajikan, tetapi harus berusaha menjadi pribadi yang berbudi.
Aristoteles berpendapat bahwa manusia memiliki tujuan yang harus dicapai melalui tindakan-tindakannya. Hampir semua aktivitas manusia diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu, yang biasanya ditujukan demi hal lain. Sebagai contoh, seorang ayah bekerja untuk mendapatkan uang, uang digunakan untuk membeli kebutuhan, dan kebutuhan tersebut dipenuhi agar berbagai tugas dapat diselesaikan.Â
Dalam kerangka ini, Aristoteles mengajukan pertanyaan apakah ada tujuan tertinggi, terbaik, dan final yang dikejar demi dirinya sendiri, bukan demi tujuan lain. Jika ada, maka semua tujuan yang telah disebutkan akan mengarah pada tujuan terakhir tersebut. Aristoteles menyatakan bahwa tujuan akhir ini adalah eudaimonia atau kebahagiaan, yang diartikan kebahagiaan well-being.Â
Well-being berarti bahwa semua kebutuhan terpenuhi, dan manusia hidup dengan baik serta sejahtera. Dalam bahasa Yunani, eudaimonia secara harfiah berarti 'memiliki daimn yang baik'.Â
Daimn di sini merujuk pada jiwa, sehingga memiliki jiwa yang baik -- atau jiwa yang berbahagia -- adalah tujuan akhir yang tidak ditujukan untuk hal lain. Tidak ada seorang pun yang mengejar kebahagiaan demi kehormatan, kekuasaan, atau kekayaan. Dengan demikian, kebahagiaan bukanlah sarana, melainkan tujuan akhir bagi manusia.
Aristoteles juga menegaskan bahwa kebahagiaan tidak dapat didefinisikan hanya berdasarkan kondisi subjektif manusia. Jika kebahagiaan didefinisikan secara subjektif, maka akan ada banyak versi definisi kebahagiaan, karena individu akan memahaminya secara berbeda tergantung pada situasi hidupnya.Â
Misalnya, saat seseorang sakit, ia akan menganggap kesehatan sebagai kebahagiaan; ketika miskin, ia mungkin berpikir kekayaan adalah kebahagiaan. Oleh karena itu, dibutuhkan definisi yang objektif dan tepat untuk menggambarkan kebahagiaan sebagai 'yang baik'.Â
Kebahagiaan, menurut Aristoteles, harus sesuai dengan keutamaan tertinggi manusia. Karena rasio dianggap sebagai kemampuan dan keutamaan tertinggi manusia, maka kegiatan yang melibatkan pengetahuan teoretis -- seperti kontemplasi -- dapat menuntun manusia pada kebahagiaan yang sempurna. Aristoteles menjelaskan bahwa kehidupan kontemplatif ini lebih dari sekadar manusiawi, karena terdapat elemen ilahi di dalamnya yang melampaui sifat alami manusia.Â
Kehidupan yang dipandu oleh kebajikan praktis, seperti keadilan dan semangat, dianggap sebagai kebahagiaan sekunder, karena aktivitas-aktivitas ini dinilai baik berdasarkan kesepakatan manusia.Â
Di sisi lain, kebajikan moral atau keutamaan yang berkaitan dengan emosi dianggap lebih alami bagi manusia. Keduanya sangat terkait erat. Kebijaksanaan praktis dipengaruhi oleh kebijaksanaan moral, sehingga kedua jenis kebijaksanaan ini merupakan bagian penting dari sifat manusia.Â
Sebagai konsekuensinya, kebahagiaan yang berasal dari kebijaksanaan praktis bersifat manusiawi. Sedangkan kebahagiaan yang berasal dari kecerdasan teoretis berbeda, karena membutuhkan sedikit dukungan eksternal.
 Sementara kebijaksanaan praktis memerlukan banyak elemen luar agar dapat diwujudkan, kebahagiaan yang terkait dengan kecerdasan membutuhkan lebih sedikit faktor eksternal untuk tercapainya. Misalnya, sifat adil membutuhkan konteks di mana keadilan dapat dijalankan, sedangkan belajar dapat dilakukan tanpa memerlukan banyak bantuan dari luar.
Aristoteles berpendapat bahwa kehidupan para dewa dianggap sebagai kebahagiaan tertinggi, namun kebahagiaan tersebut tidak datang dari tindakan seperti keadilan atau semangat, melainkan dari kontemplasi. Menurutnya, para dewa tidak terlibat dalam tindakan-tindakan manusiawi ini, dan karena itu, kebahagiaan ketuhanan berasal dari kegiatan kontemplasi. Kegiatan ini juga dianggap sebagai jalan terbaik bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan.Â
Makhluk lain selain manusia tidak dapat mencapai kebahagiaan karena mereka tidak terlibat dalam kontemplasi. Manusia dapat mendekati kebahagiaan para dewa melalui kontemplasi, dan semakin banyak waktu yang dihabiskan untuk merenung dan belajar, semakin besar kebahagiaan yang dirasakan. Oleh karena itu, para filsuf yang mendedikasikan hidupnya untuk mencari kebenaran melalui akal adalah yang paling mungkin mencapai kebahagiaan tertinggi.Â
Meskipun manusia memiliki potensi ilahi melalui kontemplasi, mereka tetap membutuhkan kesejahteraan materi untuk bertahan hidup, seperti makanan dan perlindungan. Namun, kesejahteraan eksternal ini tidak perlu berlebihan; kebutuhan sederhana sudah cukup untuk melaksanakan tindakan kebajikan yang mengarahkan manusia pada kebahagiaan. Â
Dua Jenis KeutamaanÂ
   Aristoteles mengidentifikasi dua jenis keutamaan, yaitu keutamaan moral dan keutamaan intelektual, yang keduanya berperan penting dalam mencapai kebahagiaan.Â
1. Keutamaan MoralÂ
Keutamaan moral, menurut Aristoteles, adalah watak yang memungkinkan manusia untuk memilih jalan tengah antara dua ekstrem. Konsep ini dikenal sebagai the golden mean atau "jalan tengah." Misalnya, keberanian adalah jalan tengah antara kepengecutan dan ketidakpedulian yang nekat. Dengan memilih jalan tengah, manusia bisa hidup secara seimbang, tidak terlalu berlebihan dalam tindakan atau terlalu kurang dalam menjalankan tanggung jawab moralnya.
Keutamaan moral adalah hasil dari kebiasaan dan praktik yang berulang-ulang. Menurut Aristoteles, seseorang tidak dilahirkan dengan keutamaan moral, tetapi keutamaan ini dibentuk melalui latihan terus menerus. Dengan menjalankan tindakan yang baik secara konsisten, seseorang akan mengembangkan karakter yang berbudi luhur. Pemimpin yang baik, misalnya, adalah orang yang mampu mengambil keputusan yang tepat dan adil, karena mereka sudah terbiasa hidup dalam kebajikan.Â
Keutamaan moral mencakup berbagai karakteristik seperti keberanian, keadilan, kemurahan hati, dan pengendalian diri. Semua kualitas ini penting dalam menjalani kehidupan yang baik dan dalam memastikan bahwa tindakan seseorang selaras dengan prinsip-prinsip moral yang benar. Aristoteles menekankan bahwa tindakan moral harus didorong oleh niat yang baik dan dilakukan dengan penuh kesadaran. Â
2. Keutamaan IntelektualÂ
Selain keutamaan moral, Aristoteles juga membahas keutamaan intelektual. Keutamaan ini berkaitan dengan kemampuan rasio manusia, yang menurutnya memiliki dua fungsi utama: rasio teoretis dan rasio praktis.
- Rasio Teoretis:Â
Fungsi ini berhubungan dengan kemampuan manusia untuk memahami dan mengenali kebenaran. Rasio teoretis berfokus pada pencarian pengetahuan dan pemahaman tentang dunia. Ini adalah aspek dari kehidupan manusia yang melibatkan perenungan, penelitian, dan refleksi mendalam. Misalnya, seorang filsuf atau ilmuwan menggunakan rasio teoretis untuk mencapai pemahaman yang lebih tinggi tentang realitas.Â
- Rasio Praktis:Â
Fungsi rasio ini lebih terkait dengan tindakan sehari-hari dan pengambilan keputusan. Rasio praktis memberikan petunjuk kepada manusia tentang bagaimana bertindak secara benar dalam situasi tertentu. Keutamaan intelektual dalam rasio praktis disebut phronesis atau kebijaksanaan praktis, yang memungkinkan seseorang untuk mengambil keputusan yang tepat berdasarkan konteks dan situasi yang ada, sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip moral. Â
Keutamaan intelektual sangat penting karena mereka membantu manusia dalam menjalankan kehidupan yang rasional dan bermoral. Tanpa rasio teoretis dan praktis, manusia tidak dapat sepenuhnya memahami dunia atau mengambil tindakan yang bijaksana.Â
Aristoteles menekankan bahwa kebahagiaan yang sejati hanya bisa dicapai melalui penggabungan keutamaan moral dan intelektual, karena manusia, sebagai makhluk rasional, memiliki kemampuan unik untuk berpikir dan bertindak berdasarkan kebajikan.Â
Aristoteles berpendapat bahwa manusia yang mengarahkan seluruh kegiatannya pada kecerdasan, mendidik dirinya, dan memelihara kecerdasannya adalah yang paling dicintai oleh para dewa. Para dewa lebih peduli dan menyukai yang terbaik dan yang paling mirip dengan mereka, yaitu kecerdasan manusia. Karena manusia menghargai apa yang paling penting bagi para dewa, diharapkan para dewa akan membalasnya dengan kebaikan.Â
Akibatnya, manusia tersebut menjadi yang paling dicintai oleh para dewa dan, karenanya, paling bahagia. Hal ini menunjukkan bahwa para filsuf mencapai tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi daripada orang lain.
Meskipun ajaran eudaimonisme Aristoteles ditolak oleh beberapa pihak seiring berjalannya waktu, kenyataannya banyak dari mereka yang menolak tetap menjalankan prinsip tersebut dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, ajaran Aristoteles tentang eudaimonia tetap relevan bagi manusia, bahkan hingga saat ini.Â
Kesimpulan:Â
Kesimpulan dari konsep kepemimpinan menurut Aristoteles yang berlandaskan eudaimonia adalah bahwa pemimpin yang baik harus berorientasi pada kebahagiaan dan kesejahteraan tertinggi, baik untuk dirinya sendiri maupun masyarakat yang dipimpinnya.Â
Kebahagiaan ini tidak bersifat sementara atau material, melainkan berhubungan dengan pengembangan kebajikan moral dan intelektual yang berkelanjutan. Pemimpin harus hidup secara bermoral, adil, bijaksana, dan berfokus pada kebaikan umum, bukan hanya keuntungan pribadi.Â
Aristoteles menekankan bahwa kebahagiaan (eudaimonia) hanya dapat dicapai melalui tindakan aktif, pengembangan potensi diri, serta penerapan kebajikan. Pemimpin harus memilih jalan tengah dalam setiap tindakannya, hidup dalam keseimbangan, dan menggunakan rasio dalam mengambil keputusan.
Eudaimonia bagi pemimpin melibatkan kesejahteraan masyarakat secara luas dan pemimpin yang mengejar kebajikan akan selalu berusaha untuk memajukan kebaikan bersama. Kebahagiaan yang sejati adalah hasil dari kehidupan yang rasional, berbudi, dan kontemplatif. Â
Dua jenis kebajikan yang penting dalam mencapai eudaimonia adalah kebajikan moral dan intelektual. Kebajikan moral, seperti keadilan dan keberanian, dibentuk melalui kebiasaan dan latihan, sementara kebajikan intelektual, yang meliputi rasio teoretis dan praktis, berfungsi untuk memahami kebenaran dan bertindak bijaksana dalam kehidupan sehari-hari. Pemimpin yang mampu menggabungkan keduanya akan mendekati kebahagiaan tertinggi dan mampu menciptakan kesejahteraan bagi masyarakatnya.
Why: Mengapa Aristoteles menganggap keutamaan moral sangat penting dalam kepemimpinan?
Aristoteles menyebutkan dua jenis keutamaan, salah satunya adalah keutamaan moral. Menurut Aristoteles, keutamaan merupakan watak yang memungkinkan manusia memilih jalan tengah di antara dua ekstrem yang berlawanan. Dengan kata lain, keutamaan merupakan jalan tengah antara kelebihan dan kekurangan.Â
Dalam Buku II, bab 4, Aristoteles mendefinisikan kebajikan moral sebagai hexis. Ia menegaskan hal ini dengan memeriksa unsur-unsur dalam jiwa, mengesampingkan perasaan yang bersifat pasif dan dorongan alami yang sudah kita miliki, untuk kemudian menemukan bahwa kebajikan tidak terletak pada tindakan itu sendiri, tetapi pada individu yang melakukannya. Ini adalah pernyataan penting yang menjadi dasar keseluruhan Etika.Â
Aristoteles berpendapat bahwa tidak ada tindakan yang baik, adil, atau berani karena kualitas yang melekat pada tindakan tersebut. Kebajikan hanya terwujud dalam tindakan ketika seseorang melakukannya sambil mempertahankan diri dalam cara tertentu. Di sinilah istilah hexis muncul, yang berasal dari ps echn, yaitu sikap seseorang dalam bertindak.Â
Habitus bahasa Latin adalah terjemahan yang sangat baik dari bahasa Yunani hexis , tetapi jika jalan memutar itu membawa kita ke habit dalam bahasa Inggris, kita telah kehilangan arah. Faktanya, hexis pada dasarnya adalah kebalikan dari habit.
Tindakan dianggap berbudi luhur hanya jika seseorang menjaga keseimbangan jiwa yang stabil, memilih tindakan itu dengan sadar dan karena tindakan itu sendiri. Istilah bebais kai ametakints diterjemahkan sebagai "dalam keseimbangan yang stabil," di mana bebais berarti stabil atau setelah mengambil sikap, dan ametakints tidak berarti kaku, tetapi merujuk pada kondisi yang tidak mudah diubah.Â
Ini bukan kepatuhan kaku terhadap aturan atau tugas, melainkan seperti roda Newton yang seimbang atau mainan yang selalu kembali tegak setelah dijatuhkan. Keseimbangan jiwa yang stabil ini adalah apa yang kita sebut sebagai karakter. Â
Banyak teori kepemimpinan kontemporer seperti "kepemimpinan moral," "kepemimpinan yang bertanggung jawab," "kepemimpinan autentik," atau "kepemimpinan transformasional" menekankan pentingnya motivasi intrinsik dari pengikut serta kepemimpinan dengan teladan. Mereka juga menolak penggunaan kekuasaan dan manipulasi, serta mendukung nilai-nilai seperti kesederhanaan dan perhatian terhadap kesetaraan.Â
Namun, jika kita fokus pada kebajikan kemurahan hati (sebagaimana dipahami oleh Aristoteles), ada argumen yang dapat dibuat bahwa pemimpin yang ideal tidak selalu harus sederhana. Mereka mungkin perlu menonjolkan kebesaran mereka dibandingkan orang lain dan memanfaatkan barang eksternal, termasuk penghargaan, sebagai insentif.Â
Pendekatan ini, yang berakar pada etika kebajikan, memberikan wawasan penting bagi manajer etika yang ingin memimpin dengan teladan, sekaligus mengangkat pertanyaan baru untuk penelitian lebih lanjut tentang apa yang membuat manajemen etika efektif.Â
Teori kontemporer tentang kebajikan moral banyak dipengaruhi oleh filsuf Yunani kuno, Aristoteles (384--322 SM), yang melihat kebajikan sebagai keunggulan yang menghasilkan tindakan yang merupakan "jalan tengah" antara kekurangan dan kelebihan. Menurut Aristoteles, keunggulan ini harus dipelihara agar tetap ada dan bisa hilang jika diabaikan; ia bukanlah sifat tetap atau bawaan.Â
Kebajikan, selain terkait dengan sarana untuk bertindak dan keinginan, juga berfungsi sebagai sarana itu sendiri, karena berada di antara dua sifat buruk yang saling bertentangan. Contohnya, keberanian merupakan kebajikan yang terletak antara kecerobohan di satu sisi dan kepengecutan di sisi lain.
   Menurut Aristoteles, etika dalam kepemimpinan adalah tentang bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang benar dan adil. Seorang pemimpin yang etis adalah mereka yang mempertimbangkan kepentingan rakyatnya dan bertindak untuk kebaikan bersama.
Ajaran Aristoteles menekankan pentingnya moralitas sebagai landasan utama dalam proses pengambilan keputusan, terutama bagi para pemimpin. Menurut Aristoteles, seorang pemimpin yang ideal bukan hanya bijaksana dan cerdas, tetapi juga memiliki integritas moral yang tinggi.Â
Pemimpin semacam ini selalu merenungkan secara mendalam konsekuensi etis dari setiap keputusan yang diambil, memastikan bahwa tindakan mereka selaras dengan prinsip-prinsip moral yang benar. Keberanian untuk memilih tindakan yang benar, meski mungkin sulit atau tidak populer, merupakan tanda dari seorang pemimpin yang bermoral.Â
Salah satu gagasan sentral dalam filsafat Aristoteles adalah keadilan, yang dianggap sebagai fondasi utama bagi pemerintahan yang baik. Bagi Aristoteles, keadilan berarti memberikan kepada setiap individu hak yang sepatutnya, dan memastikan bahwa mereka diperlakukan secara adil di hadapan hukum.Â
Pemerintahan yang adil harus menegakkan hukum yang bersifat universal, di mana semua warga negara memiliki kedudukan yang sama, tanpa diskriminasi, serta hak dan kewajiban yang setara.
 Aristoteles percaya bahwa hanya dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan yang adil dan seimbang, sebuah masyarakat dapat mencapai kesejahteraan bersama dan menjaga harmoni sosial. Aristoteles juga mengajarkan bahwa seorang pemimpin memiliki tanggung jawab moral terhadap rakyatnya. Pemimpin yang baik adalah mereka yang memprioritaskan kepentingan rakyatnya di atas kepentingan pribadi atau golongan tertentu.Â
Aristoteles juga membedakan kebajikan moral dari kebajikan intelektual, seperti kebijaksanaan, yang mengarahkan perilaku etis, serta pemahaman yang muncul dari usaha dan refleksi ilmiah. Menemukan cara rasional untuk menjalankan kebajikan moral sering kali membutuhkan kebijaksanaan.Â
Namun, kebajikan moral tidak hanya berkaitan dengan menemukan dan melakukan tindakan yang benar, tetapi juga dengan mengembangkan karakter yang membuat tindakan tersebut terasa alami.
 Misalnya, mengetahui kapan harus menyumbang memerlukan kebijaksanaan sebagai kebajikan intelektual, tetapi menyumbang dengan kecenderungan alami memerlukan kebajikan moral berupa kemurahan hati. Â
Konsep kebajikan sebagai keunggulan yang dikembangkan sudah ada di budaya Yunani sebelum zaman Aristoteles. Sejak lama, masyarakat Yunani telah mengenali berbagai kebajikan konvensional, seperti kehati-hatian, kesederhanaan, ketabahan, dan keadilan---empat kebajikan "kardinal" yang juga diakui oleh agama Kristen.Â
Plato, guru Aristoteles (428/27--348/47 SM), juga membahas sifat kebajikan dalam dialog-dialog yang menampilkan karakter Socrates---perwujudan dari guru Plato dalam kehidupan nyata, meskipun Socrates sendiri tidak meninggalkan tulisan. Namun, analisis Aristoteles tentang kebajikan dalam Etika Nikomakhean telah menjadi pembahasan paling berpengaruh tentang topik ini.Â
Menurut Aristoteles, perkembangan jiwa manusia dimulai dari kebiasaan, yang kemudian menjadi aktif, dan akhirnya mencapai hexis, yaitu keadaan aktif yang memberi jiwa status moral.Â
Jika jiwa tidak memiliki status aktif dan tidak ada aktivitas yang melekat secara permanen, maka tidak akan ada status moral, hanya kebiasaan. Ketika pertama kali membahas kebahagiaan, Aristoteles mempertanyakan apakah masuk akal jika seorang tukang kayu atau pembuat sepatu memiliki pekerjaan, tetapi manusia sendiri tidak memiliki tugas tertentu.Â
Jawabannya adalah bahwa alam telah memberikan manusia tugas, yaitu menggunakan kekuatan akal budi. Tanpa tugas ini, kita tidak akan bahagia. Namun, Aristoteles tidak menyatakan bahwa semua orang harus menjadi filsuf atau bahwa hidup manusia hanya didasarkan pada aktivitas intelektual, melainkan tugas kita adalah mengaktifkan logos (akal).Â
Selain itu, Aristoteles menjelaskan bahwa dorongan irasional sama manusiawinya dengan penalaran. Sebagai manusia, keinginan kita tidak harus acak atau tidak rasional, melainkan dapat dibentuk oleh pemikiran menjadi pilihan yang dipertimbangkan.
 Ciri khas kerja manusia adalah aktivitas rangkap tiga: menetapkan tujuan, memikirkan cara mencapainya, dan memilih tindakan. Tindakan yang bertanggung jawab menggabungkan semua kekuatan jiwa, termasuk persepsi, imajinasi, penalaran, dan keinginan, yang selalu aktif di dalam diri kita.
Pelatihan dari orang tua yang baik tidak menciptakan atau membentuk kekuatan-kekuatan ini, melainkan membebaskannya agar dapat berfungsi secara efektif dalam tindakan. Menurut Aristoteles, meskipun orang tua, masyarakat, dan alam berperan, kita juga adalah co-pencipta keadaan aktif jiwa kita sendiri.Â
Kesimpulan:Â
Aristoteles menganggap keutamaan moral sangat penting dalam kepemimpinan karena ia meyakini bahwa keutamaan ini membantu individu memilih jalan tengah antara dua ekstrem--- baik kelebihan maupun kekurangan. Keutamaan moral, menurutnya, adalah kondisi di mana seseorang bertindak dengan kesadaran dan keseimbangan jiwa.Â
Aristoteles menyebut ini sebagai hexis, yakni sikap mental yang memungkinkan seseorang untuk bertindak dengan stabil dan tidak mudah tergoyahkan oleh keadaan. Kepemimpinan yang baik, bagi Aristoteles, bukan hanya soal tindakan yang bijaksana, tetapi tindakan yang diambil secara moral dengan mempertimbangkan kepentingan bersama dan keadilan. Â
Dalam konteks kepemimpinan, Aristoteles menegaskan bahwa seorang pemimpin harus memiliki integritas moral yang tinggi, selalu mengutamakan kebaikan bersama, dan bertindak dengan mempertimbangkan konsekuensi etis dari setiap keputusan. Keutamaan seperti keadilan sangat penting, karena hanya dengan mempraktikkan keadilan, seorang pemimpin dapat menciptakan masyarakat yang harmonis, di mana setiap orang diperlakukan setara di hadapan hukum.Â
Pemimpin yang baik tidak hanya mematuhi aturan, tetapi juga menjaga keseimbangan batin yang stabil saat mengambil keputusan yang mungkin sulit atau tidak populer.
Selain itu, Aristoteles membedakan keutamaan moral dari keutamaan intelektual. Kebijaksanaan, misalnya, merupakan keutamaan intelektual yang membantu pemimpin menentukan tindakan yang benar, namun keutamaan moral seperti kemurahan hati memungkinkan seseorang melakukannya dengan kecenderungan alami.
 Oleh karena itu, menurut Aristoteles, kepemimpinan yang efektif dan etis harus didasarkan pada keseimbangan antara kebajikan moral dan intelektual.Â
Pemimpin ideal tidak hanya bijaksana, tetapi juga berbudi luhur, selalu memilih tindakan yang adil dan bertanggung jawab, serta menjaga keseimbangan antara dorongan rasional dan irasional.
How: Bagaimana konsep the golden mean diterapkan oleh pemimpin dalam menghadapi tantangan atau konflik? Â
Konsep Golden Mean atau "jalan tengah emas" adalah gagasan Aristoteles yang menyatakan bahwa kebajikan terletak di antara dua ekstrem yang bertentangan---satu sisi berupa kelebihan (excess) dan sisi lainnya berupa kekurangan (deficiency). Aristoteles berpendapat bahwa dalam setiap situasi moral, ada dua arah yang harus dihindari, yaitu bertindak secara berlebihan atau bertindak secara tidak cukup.Â
Kebajikan ditemukan ketika seseorang mampu menemukan keseimbangan yang tepat, di mana tindakannya tidak terlalu ekstrem atau terlalu sedikit. Misalnya, keberanian merupakan kebajikan yang terletak di antara kepengecutan (kekurangan keberanian) dan keberanian yang berlebihan (nekat atau ceroboh).Â
Lebih dari sekadar menghindari dua ekstrem ini, konsep Golden Mean menekankan pentingnya penilaian yang matang. Aristoteles percaya bahwa kebajikan tidak bisa diukur dengan satu aturan yang berlaku untuk semua orang, melainkan harus disesuaikan dengan konteks, situasi, dan individu yang mengalaminya. Setiap orang memiliki kebutuhan yang berbeda, dan jalan tengah yang tepat bagi satu orang mungkin berbeda bagi orang lain, tergantung pada keadaan.Â
Konsep ini penting dalam etika kepemimpinan, karena seorang pemimpin yang baik harus mampu menemukan keseimbangan yang tepat dalam keputusan dan tindakannya. Misalnya, dalam memimpin tim, seorang pemimpin harus mampu menyeimbangkan antara sikap tegas dan fleksibilitas.Â
Terlalu tegas dapat membuat anggota tim merasa terkekang, sementara terlalu lunak bisa membuat disiplin runtuh. Dengan menemukan jalan tengah, pemimpin dapat menciptakan lingkungan kerja yang efektif, di mana tujuan tercapai tanpa mengorbankan kesejahteraan atau keharmonisan tim.Â
Selain itu, Golden Mean juga menekankan bahwa kebajikan adalah hasil dari kebiasaan. Dengan terus-menerus berusaha menemukan keseimbangan dalam tindakan kita, kita bisa mengembangkan karakter yang berbudi luhur.Â
Aristoteles menegaskan bahwa kebajikan ini harus dilakukan secara konsisten dalam berbagai situasi, sehingga keseimbangan tersebut menjadi bagian dari watak dan cara berpikir kita dalam menjalani hidup.
 Filsafat jalan tengah Aristoteles adalah manifestasi pemikiran Yunani yang berasal dari prinsip moral di Kuil Apollo di Delphi, yang menekankan, "Tidak ada yang berlebihan." Banyak filsuf kuno, termasuk Plato dalam karyanya Philebus, juga menyinggung gagasan ini. Dalam Buku II Etika Nikomakhean, Aristoteles menjelaskan bahwa kebajikan karakter dapat diartikan sebagai suatu cara yang menekankan prinsip-prinsip tertentu.Â
Pertama, keutamaan dipandang sebagai sarana, di mana kebajikan bukan sifat yang absolut, melainkan terletak pada pencarian jalan tengah antara dua sifat buruk. Aristoteles berargumen bahwa individu dapat menemukan perilaku moral di antara kelebihan dan kekurangan. Selanjutnya, ia menyadari bahwa jalan tengah yang rasional mungkin berbeda tergantung pada situasi, dan bisa mendekati salah satu ekstrem.Â
   Praktik dan pengembangan kebajikan menjadi kunci untuk membentuk karakter yang berbudi luhur, di mana jalan tengah berfungsi sebagai panduan untuk menyempurnakan perilaku dan mencapai keunggulan moral.Â
Akhirnya, Aristoteles memandang kebajikan sebagai kontinum, dengan titik tengah di antara dua ekstrem, yang berarti ada berbagai tingkat kebajikan. Menemukan tingkat yang tepat sangat penting untuk mengembangkan karakter yang baik.
Menurut Aristoteles, hubungan antara kebajikan dan akal budi menjadi jelas ketika kita memahami bahwa setiap kebajikan berada di tengah-tengah antara dua ekstrem: kelebihan dan kekurangan.Â
Misalnya, keberanian terletak di antara kepengecutan (kekurangan) dan kecerobohan (kelebihan); kepercayaan diri berada di antara sikap merendahkan diri (kekurangan) dan kesombongan (kelebihan); sementara kedermawanan adalah keseimbangan antara kekikiran dan pemborosan.Â
Namun, Aristoteles menekankan bahwa kebajikan tidak hanya terletak di tengah-tengah secara literal, melainkan di "jalan tengah yang benar," yang kadang-kadang bisa lebih dekat ke salah satu ekstrem.Â
Seperti yang dijelaskan dalam Etika Nikomakheia, tindakan yang baik harus dilakukan pada waktu yang tepat, dengan cara yang tepat, terhadap orang yang tepat, untuk tujuan yang tepat---ini adalah kondisi yang seimbang dan sesuai dengan kebajikan.Â
Tindakan baik, menurut Aristoteles, adalah "berkaitan dengan pilihan yang berada di tengah, relatif terhadap kita, yang ditentukan oleh akal budi dan ditetapkan dengan cara yang sama seperti orang yang bijaksana akan menentukannya."Â
Penting untuk dipahami bahwa menemukan titik keseimbangan ini adalah kemampuan yang bisa dikembangkan seiring waktu. Seperti yang ditulis Will Durant dalam Story of Philosophy (1926), "Rata-rata emas" bukanlah rata-rata matematis yang tetap, tetapi fluktuatif, tergantung pada keadaan spesifik, dan hanya bisa ditemukan melalui pemikiran yang matang dan fleksibel.Â
 Aristoteles memberikan beberapa panduan tentang cara menemukan 'jalan tengah' yang tepat dalam tindakan dan hidup dengan baik secara keseluruhan. Misalnya, jika kita cenderung berada di salah satu ekstrem dalam perilaku tertentu, kita harus mencoba bergerak ke arah yang berlawanan.Â
Dengan menjauh dari kesalahan yang biasa kita lakukan, kita lebih mungkin menemukan keseimbangan. Aristoteles membandingkan ini dengan metode yang digunakan tukang kayu untuk meluruskan kayu yang bengkok. Â
Jika, misalnya, Anda menyadari bahwa Anda mudah marah, Anda mungkin menganggap seseorang yang tidak pernah marah sebagai sosok berbudi luhur. Namun, menurut Aristoteles, ini tidak selalu benar, karena tidak pernah marah bisa menjadi kekurangan dalam situasi yang membutuhkan kemarahan.
Tetapi, jika pandangan ini membantu Anda menggeser perilaku Anda menuju jalan tengah---antara terlalu cepat marah dan terlalu tenang---maka berusaha untuk menjadi lebih tenang adalah langkah yang baik.
Aristoteles menekankan bahwa meskipun jalan tengah adalah yang terbaik, salah satu ekstrem biasanya lebih buruk daripada yang lain dalam situasi tertentu. Sebagai contoh, dia berpendapat bahwa lebih baik bersikap terlalu murah hati daripada terlalu pelit, dan lebih baik merendahkan diri daripada bersikap sombong.Â
Oleh karena itu, dia menyarankan prinsip yang baik untuk menemukan jalan tengah adalah dengan menghindari ekstrem yang paling jauh dari keseimbangan. Artinya, ketika harus menentukan tindakan yang tepat, cenderunglah pada sisi yang dianggap "kurang buruk" untuk keamanan.Â
Langkah berikutnya adalah bersikap sangat jujur pada diri sendiri dan mengidentifikasi perilaku tidak diinginkan yang paling sering Anda alami. Misalnya, jika Anda cenderung tidak sabar atau kurang komunikatif, tanyakan kepada diri sendiri: "Apakah saya sedang tidak sabar? Apakah saya kurang berkomunikasi? Apakah saya perlu menyeimbangkannya?".
Terakhir, Aristoteles mengingatkan agar tidak terlalu keras pada diri sendiri. Dalam usahanya untuk mencapai kebahagiaan, kesalahan dianggap sebagai kesempatan belajar.
Penerapan Golden Mean dalam Koteks Konflik dan Tantangan.Â
Salah satu tantangan terbesar dalam kepemimpinan adalah pengambilan keputusan. Seorang pemimpin seringkali dihadapkan pada situasi yang memerlukan keputusan cepat, tetapi di sisi lain juga membutuhkan pemikiran yang matang. Di sinilah konsep the golden mean bisa diterapkan, di mana pemimpin harus menemukan keseimbangan antara membuat keputusan terlalu cepat (yang bisa mengakibatkan kesalahan) dan terlalu lambat (yang bisa menyebabkan hilangnya peluang).Â
Pengambilan keputusan yang tergesa-gesa mungkin menunjukkan kelebihan dalam bertindak, tetapi tanpa pertimbangan yang cukup, keputusan tersebut bisa membawa dampak buruk jangka panjang. Sebaliknya, menunda keputusan terlalu lama bisa menjadi tanda kurangnya tindakan, yang juga berisiko merugikan organisasi
 Oleh karena itu, seorang pemimpin yang efektif harus bisa menyeimbangkan antara bertindak cepat dan berpikir secara mendalam, dengan cara mempertimbangkan semua informasi yang ada tetapi tetap bergerak cepat ketika situasi mendesak. Â
Contoh dalam konteks bisnis adalah ketika sebuah perusahaan dihadapkan pada peluang pasar yang menarik, tetapi juga menghadapi risiko besar. Pemimpin yang mengikuti konsep the golden mean akan memastikan bahwa mereka mengevaluasi risiko dengan hati-hati tanpa terlalu lama merespons, sehingga perusahaan dapat memanfaatkan peluang tanpa terjebak dalam ketidakpastian.Â
1. The Golden Mean dalam Manajemen TimÂ
Seorang pemimpin harus menyeimbangkan antara memberikan kebebasan dan kontrol kepada tim mereka. Memberikan terlalu banyak kebebasan dapat menyebabkan kekacauan dan kurangnya disiplin, sementara memberikan terlalu banyak kontrol dapat mematikan kreativitas dan inisiatif individu. Dalam konteks ini, the golden mean dapat membantu pemimpin menemukan titik keseimbangan yang tepat.
 Pemimpin yang baik harus bisa mendelegasikan tanggung jawab dengan efektif, memberikan kepercayaan kepada tim untuk mengambil inisiatif tetapi tetap menjaga kendali agar tim tetap beroperasi sesuai dengan visi dan tujuan organisasi. Dengan demikian, pemimpin dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan individu di dalam tim tanpa kehilangan arah dan disiplin.
Seorang manajer proyek, misalnya, harus mampu memberikan kebebasan kepada anggota tim untuk menemukan solusi kreatif terhadap masalah yang muncul, tetapi tetap memantau perkembangan proyek untuk memastikan bahwa setiap langkah sejalan dengan rencana yang lebih besar. Dengan menerapkan the golden mean, seorang manajer bisa memberikan ruang bagi tim untuk berkembang sambil tetap menjaga struktur dan fokus. Â
2. The Golden Mean dalam KomunikasiÂ
Kepemimpinan yang efektif juga sangat dipengaruhi oleh kemampuan komunikasi. Di sini, pemimpin sering kali harus menyeimbangkan antara transparansi dan diskresi. Dalam komunikasi dengan tim atau pemangku kepentingan, terlalu transparan bisa membuat pemimpin terlihat tidak memiliki filter, sementara terlalu tertutup bisa menimbulkan ketidakpercayaan dan spekulasi.
Menggunakan prinsip the golden mean, seorang pemimpin dapat menemukan keseimbangan dengan berbagi informasi yang diperlukan untuk memastikan kejelasan, transparansi, dan kepercayaan, tetapi tetap menjaga kerahasiaan ketika diperlukan demi melindungi kepentingan perusahaan atau menjaga stabilitas internal.Â
Ini terutama penting dalam situasi krisis, di mana komunikasi yang berlebihan atau kurangnya informasi bisa memperburuk keadaan.Â
Sebagai contoh, dalam menghadapi krisis finansial di perusahaan, seorang CEO yang menerapkan the golden mean mungkin akan memberikan informasi yang jujur tentang situasi yang dihadapi kepada karyawan, tetapi menjaga beberapa detail strategis tetap rahasia agar tidak menimbulkan kepanikan di pasar atau di antara karyawan. Dalam hal ini, komunikasi yang seimbang akan membantu pemimpin mempertahankan kepercayaan dan stabilitas.
3. The Golden Mean dalam Menghadapi PerubahanÂ
Perubahan adalah hal yang tidak dapat dihindari dalam kepemimpinan. Pemimpin sering dihadapkan pada tantangan untuk beradaptasi dengan perubahan eksternal seperti perubahan teknologi, regulasi, atau kondisi pasar. Pada saat yang sama, mereka harus memutuskan kapan dan bagaimana membawa perubahan dalam organisasi mereka.Â
Di satu sisi, terlalu banyak perubahan yang dilakukan secara cepat bisa mengganggu stabilitas organisasi dan menimbulkan resistensi dari karyawan. Di sisi lain, terlalu sedikit atau lambat dalam beradaptasi dengan perubahan bisa membuat organisasi tertinggal.
The golden mean mengajarkan bahwa pemimpin harus mencari jalan tengah, di mana mereka mendorong inovasi dan perubahan dengan cara yang bertahap dan terencana, tetapi tetap responsif terhadap perkembangan eksternal yang mendesak. Â
Misalnya, ketika sebuah perusahaan dihadapkan pada perubahan teknologi yang mengancam model bisnis tradisional mereka, seorang pemimpin yang bijak akan mencari cara untuk mengintegrasikan teknologi baru tersebut secara bertahap, sambil tetap menjaga operasi bisnis yang sudah ada. Dengan demikian, organisasi dapat beradaptasi tanpa mengorbankan stabilitas jangka pendek.Â
4. The Golden Mean dalam Manajemen Stres dan TekananÂ
Tekanan dan stres adalah bagian dari pekerjaan kepemimpinan. Seorang pemimpin yang baik harus bisa menyeimbangkan antara bekerja keras untuk mencapai tujuan dan menjaga kesehatan mental serta kesejahteraan dirinya dan timnya. Terlalu banyak tekanan bisa menyebabkan burnout, sementara terlalu sedikit bisa mengakibatkan hilangnya motivasi dan produktivitas.
Dalam hal ini, the golden mean mengajarkan bahwa pemimpin harus menciptakan lingkungan kerja yang menyeimbangkan tuntutan kinerja dengan dukungan untuk kesejahteraan karyawan. Seorang pemimpin yang baik akan menetapkan target yang menantang tetapi realistis, dan pada saat yang sama memberikan sumber daya dan dukungan yang diperlukan untuk mencapainya.Â
Misalnya, dalam perusahaan rintisan yang sering kali bekerja di bawah tekanan tinggi, seorang pemimpin yang menerapkan prinsip the golden mean akan memastikan bahwa tim bekerja dengan efisien dan produktif tanpa mengorbankan kesehatan mereka. Ini bisa dilakukan dengan menetapkan jadwal kerja yang fleksibel, memberikan waktu istirahat yang cukup, dan menawarkan bantuan untuk manajemen stres.Â
Kesimpulan:Â
Golden Mean atau "jalan tengah emas" Aristoteles menekankan bahwa kebajikan terletak di antara dua ekstrem: kelebihan dan kekurangan. Menurutnya, tindakan yang benar adalah tindakan yang seimbang, tidak berlebihan atau kurang, dan disesuaikan dengan situasi serta individu yang menghadapinya. Dalam kepemimpinan, konsep ini mengajarkan bahwa keseimbangan diperlukan dalam berbagai aspek, seperti pengambilan keputusan, manajemen tim, komunikasi, dan menghadapi perubahan.Â
Misalnya, dalam pengambilan keputusan, pemimpin harus menemukan keseimbangan antara bertindak cepat dan berpikir matang. Dalam manajemen tim, keseimbangan antara kebebasan dan kontrol menjadi penting untuk mendorong kreativitas sambil menjaga disiplin.Â
Begitu juga dalam komunikasi, seorang pemimpin harus transparan tetapi tetap menjaga kerahasiaan yang diperlukan.
Golden Mean juga menekankan pentingnya pengembangan kebiasaan yang seimbang dalam jangka panjang, di mana keseimbangan menjadi bagian dari karakter. Dengan terus menerapkan prinsip ini, pemimpin dapat mencapai keseimbangan antara tuntutan pekerjaan dan kesejahteraan tim, menciptakan lingkungan yang sehat dan produktif.Â
ReferensiÂ
      Aristoteles. (2009). Nicomachean Ethics. (D. P. Chase, Trans.). New York: Random House.Â
       Aristotle: Ethics | Internet Encyclopedia of Philosophy. (n.d.).
      Eldridge, S. (2024, October 8). Moral virtue | Definition, Aristotle, Virtue Ethics, & Facts. Encyclopedia Britannica. Â
      Maden, J. (n.d.). The 'Golden Mean': Aristotle's guide to living Excellently. Philosophy Break.Â
      Mysch.Id. (n.d.). Makna Hidup Manusia menurut Aristoteles dan Victor Frankl. mysch.id.Â
      Nugroho, B. C. (2022). Eudaimonia: Elaborasi Filosofis Konsep Kebahagiaan Aristoteles dan Yuval Noah Harari. FOCUS, 1(1), 8--           14.
      Singer, P. (2024, October 21). Ethics | Definition, History, Examples, Types, Philosophy, & Facts. Encyclopedia Britannica.Â
      Suhandoko. (2024, May 4). Inilah Etika dan Moralitas yang Diajarkan Aristoteles Kepada Alexander Agung. VIVA. Â
      Suhandoko. (2024c, May 18). Konsepsi Golden Mean: Keseimbangan dalam Kebajikan Aristoteles dalam "Nikomakhos Etika."             VIVA.
       Tholen, B. (2022). The virtues of the exemplary moral leader. Lessons from Ausiness Ethics. Business Ethics the Environment                & Responsibility, 32(2), 532--543. Â
       Virtue Ethics (Stanford Encyclopedia of Philosophy). (2022, October 11).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H