Aristoteles juga menegaskan bahwa kebahagiaan tidak dapat didefinisikan hanya berdasarkan kondisi subjektif manusia. Jika kebahagiaan didefinisikan secara subjektif, maka akan ada banyak versi definisi kebahagiaan, karena individu akan memahaminya secara berbeda tergantung pada situasi hidupnya.Â
Misalnya, saat seseorang sakit, ia akan menganggap kesehatan sebagai kebahagiaan; ketika miskin, ia mungkin berpikir kekayaan adalah kebahagiaan. Oleh karena itu, dibutuhkan definisi yang objektif dan tepat untuk menggambarkan kebahagiaan sebagai 'yang baik'.Â
Kebahagiaan, menurut Aristoteles, harus sesuai dengan keutamaan tertinggi manusia. Karena rasio dianggap sebagai kemampuan dan keutamaan tertinggi manusia, maka kegiatan yang melibatkan pengetahuan teoretis -- seperti kontemplasi -- dapat menuntun manusia pada kebahagiaan yang sempurna. Aristoteles menjelaskan bahwa kehidupan kontemplatif ini lebih dari sekadar manusiawi, karena terdapat elemen ilahi di dalamnya yang melampaui sifat alami manusia.Â
Kehidupan yang dipandu oleh kebajikan praktis, seperti keadilan dan semangat, dianggap sebagai kebahagiaan sekunder, karena aktivitas-aktivitas ini dinilai baik berdasarkan kesepakatan manusia.Â
Di sisi lain, kebajikan moral atau keutamaan yang berkaitan dengan emosi dianggap lebih alami bagi manusia. Keduanya sangat terkait erat. Kebijaksanaan praktis dipengaruhi oleh kebijaksanaan moral, sehingga kedua jenis kebijaksanaan ini merupakan bagian penting dari sifat manusia.Â
Sebagai konsekuensinya, kebahagiaan yang berasal dari kebijaksanaan praktis bersifat manusiawi. Sedangkan kebahagiaan yang berasal dari kecerdasan teoretis berbeda, karena membutuhkan sedikit dukungan eksternal.
 Sementara kebijaksanaan praktis memerlukan banyak elemen luar agar dapat diwujudkan, kebahagiaan yang terkait dengan kecerdasan membutuhkan lebih sedikit faktor eksternal untuk tercapainya. Misalnya, sifat adil membutuhkan konteks di mana keadilan dapat dijalankan, sedangkan belajar dapat dilakukan tanpa memerlukan banyak bantuan dari luar.
Aristoteles berpendapat bahwa kehidupan para dewa dianggap sebagai kebahagiaan tertinggi, namun kebahagiaan tersebut tidak datang dari tindakan seperti keadilan atau semangat, melainkan dari kontemplasi. Menurutnya, para dewa tidak terlibat dalam tindakan-tindakan manusiawi ini, dan karena itu, kebahagiaan ketuhanan berasal dari kegiatan kontemplasi. Kegiatan ini juga dianggap sebagai jalan terbaik bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan.Â
Makhluk lain selain manusia tidak dapat mencapai kebahagiaan karena mereka tidak terlibat dalam kontemplasi. Manusia dapat mendekati kebahagiaan para dewa melalui kontemplasi, dan semakin banyak waktu yang dihabiskan untuk merenung dan belajar, semakin besar kebahagiaan yang dirasakan. Oleh karena itu, para filsuf yang mendedikasikan hidupnya untuk mencari kebenaran melalui akal adalah yang paling mungkin mencapai kebahagiaan tertinggi.Â
Meskipun manusia memiliki potensi ilahi melalui kontemplasi, mereka tetap membutuhkan kesejahteraan materi untuk bertahan hidup, seperti makanan dan perlindungan. Namun, kesejahteraan eksternal ini tidak perlu berlebihan; kebutuhan sederhana sudah cukup untuk melaksanakan tindakan kebajikan yang mengarahkan manusia pada kebahagiaan. Â
Dua Jenis KeutamaanÂ