Eudaimonia tidak sekadar mengacu pada kebahagiaan dalam arti kenikmatan fisik atau kesenangan sementara, melainkan pada kondisi hidup yang bermakna, seimbang, dan sesuai dengan kebajikan.Â
Bagi Aristoteles, kebahagiaan sejati tercapai ketika seseorang hidup sesuai dengan tujuan tertinggi manusia, yaitu mengembangkan kebajikan moral dan intelektual. Hal ini sangat relevan dalam konteks kepemimpinan karena seorang pemimpin yang baik harus mencerminkan nilai-nilai ini dalam tindakan dan kebijakannya.
Menurut Aristoteles, seorang pemimpin yang bijaksana tidak hanya bertindak untuk kepentingan pribadinya, melainkan juga untuk kesejahteraan orang lain. Dalam konteks eudaimonia, pemimpin tidak bisa dianggap berhasil hanya karena mencapai kekuasaan atau meraih kesuksesan material.Â
Sebaliknya, keberhasilan seorang pemimpin terletak pada kemampuannya untuk mempromosikan kebaikan bersama dan membantu masyarakat yang dipimpinnya mencapai kesejahteraan. Untuk itu, pemimpin harus menunjukkan kebajikan dalam setiap aspek kepemimpinannya---dari pengambilan keputusan hingga interaksinya dengan orang lain. Â
Aristoteles membedakan antara tujuan sementara dan tujuan akhir. Tujuan sementara hanyalah langkah untuk mencapai sesuatu yang lebih tinggi, sedangkan tujuan akhir adalah hal yang dicari demi dirinya sendiri. Bagi seorang pemimpin, tujuan akhir yang seharusnya dicapai adalah eudaimonia, yakni kebahagiaan dan kesejahteraan yang bersifat universal bagi dirinya dan masyarakat.Â
Kebahagiaan ini tidak hanya menyangkut pemimpin secara individu, tetapi juga kesejahteraan rakyatnya. Pemimpin yang mengejar eudaimonia akan memfokuskan tindakannya pada kebaikan umum, keadilan, dan pengembangan kebajikan, bukan hanya pada keuntungan atau kekuasaan pribadi.
 Lebih jauh, Aristoteles menekankan pentingnya kebajikan moral (virtue) dalam mencapai eudaimonia. Seorang pemimpin yang baik harus hidup secara moral, artinya ia harus bertindak dengan cara yang benar dan bijaksana, memperhitungkan dampak dari keputusan-keputusannya.Â
Kepemimpinan yang efektif dalam pandangan Aristoteles adalah kepemimpinan yang berlandaskan kebajikan, di mana tindakan pemimpin tidak hanya didorong oleh ambisi atau keinginan pribadi, tetapi juga oleh komitmen untuk mencapai kebaikan yang lebih besar bagi masyarakat. Â
Kebahagiaan yang dimaksud Aristoteles juga tidak bisa dicapai secara pasif. Menurutnya, kebahagiaan datang dari tindakan aktif dalam mengembangkan potensi diri dan menjalankan kebajikan. Pemimpin yang ingin mencapai eudaimonia harus terus-menerus berusaha untuk memperbaiki dirinya dan berbuat baik kepada orang lain.Â
Ini termasuk mengambil keputusan yang bijaksana, memimpin dengan keadilan, serta memastikan bahwa masyarakat yang dipimpinnya mendapatkan kesempatan untuk berkembang dan mencapai potensi penuh mereka.Â
   Selain itu, Aristoteles menganggap bahwa kebahagiaan dalam kepemimpinan juga terkait dengan logos, atau rasio dan pemikiran rasional. Pemimpin harus mampu menggunakan akalnya untuk merenungkan setiap keputusan yang diambil, memahami konsekuensi jangka panjangnya, dan selalu bertindak berdasarkan prinsip-prinsip kebajikan. Kepemimpinan yang berlandaskan rasio ini memungkinkan pemimpin untuk tidak hanya mengelola situasi praktis dengan baik, tetapi juga menjaga keseimbangan moral dalam setiap tindakannya.