Mohon tunggu...
Didi Irawan
Didi Irawan Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Semua adalah pemenang

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Langkah Kecil Hati Besar, Bertahan dalam Arus Pembangunan

8 November 2024   16:32 Diperbarui: 8 November 2024   22:12 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah hutan lebat yang masih terjaga dengan baik, terdapat sebuah Desa dalam ilustrasi disimbolkan dengan nama desa Kenangan, sebuah desa yang dikelilingi bukit-bukit dan aliran sungai yang berkelok-kelok nan memanjang jauh. Bagi masyarakat Desa Kenangan, alam adalah segalanya. Mereka hidup dari menyadap karet, menanam durian, dan mencari ikan di sungai. Alam tidak hanya menyediakan makanan, tetapi juga menjadi bagian dari adat dan warisan yang berharga dari leluhur mereka.

Namun, suatu hari kehidupan mereka mulai berubah. Sebuah usaha perkebunan besar membuka lahan di sekitar desa. Membawa janji investasi yang  akan meningkatkan kehidupan perekonomian warga desa. Harapan sempat muncul, terutama di kalangan pemuda desa yang berharap mendapatkan pekerjaan dan penghasilan lebih baik.

Saat usaha perkebunan mulai beroperasi, warga desa mulai melihat kenyataan yang berbeda. Meskipun mereka bisa bekerja, namun upah yang mereka terima tidak sebanding dengan hasil yang mereka dapatkan sebelumnya saat memiliki kebebasan beraktifitas di hutan. Selain itu, pekerjaan yang ditawarkan memerlukan keterampilan khusus yang tidak dimiliki oleh kebanyakan warga Desa Kenangan. Hanya sedikit orang yang diterima bekerja, sementara yang lain harus kembali ke desa mengadu nasib.

Hutan tempat mereka biasa berburu, menanam, dan menyadap karet kini semakin sulit diakses. Wilayah-wilayah yang dulunya terbuka bagi masyarakat sekarang dibatasi dan dijaga ketat. 

Tegar, seorang petani karet yang telah bertahun-tahun hidup dari hasil hutan, merasa resah melihat perubahan ini. Namun, ia sadar bahwa menentang bukanlah jalan yang mudah. Ia mulai mencari cara agar bisa  bertahan di tengah perubahan yang tak terhindarkan ini.

Bersama dengan beberapa tetangga, Tegar bertukar pikiran bagaimana menyikapi permasalah yang terjadi di desa mereka. Karena akses ke hutan terbatas, mereka mengurangi aktivitas berburu dan lebih banyak menyadap karet di lahan kecil yang tersisa. Mereka juga mulai menanam lebih banyak pohon durian di tanah milik keluarga yang masih ada, berharap hasilnya dapat menjadi sumber penghasilan tambahan. Bagi mereka, durian bukan hanya buah yang bisa dijual, tetapi juga simbol warisan leluhur yang perlu dijaga.

Di samping itu, Tegar mengajarkan anak-anak muda desa untuk mengenali sungai dan memancing dengan cara yang tidak merusak ekosistem. "Sungai ini bukan hanya tempat mencari ikan," kata Tegar kepada anak-anak, "tetapi tempat leluhur kita berbicara pada alam." Dalam setiap kegiatan, Tegar dan warga lainnya berusaha mempertahankan hubungan mereka dengan alam, meski akses semakin terbatas.

Bagi masyarakat Desa Kenangan, tanah bukanlah sekadar tempat bekerja. Ini adalah tempat mereka mengenal cerita leluhur dan menjalankan tradisi. Di dalam setiap pohon, bukit, dan sungai, terdapat kenangan dan cerita yang mereka junjung tinggi. Tanah ini adalah warisan yang tidak bisa tergantikan oleh uang atau keuntungan apa pun.

Dalam percakapan sehari-hari, mereka sering kali menceritakan kembali kisah-kisah leluhur yang menanam durian di bukit tertinggi atau tentang sungai yang dianggap suci. Bagi orang luar, mungkin ini hanyalah cerita biasa, tetapi bagi Tegar dan masyarakat Desa Kenangan, ini adalah nilai-nilai yang mengikat mereka pada identitas desa dan menjaga jiwa mereka tetap hidup di tengah arus perubahan.

Dengan terbatasnya akses ke hutan dan alih kepemilikan lahan, masyarakat memiliki perasaan senasib. Mereka saling membantu mengelola lahan yang tersisa dan mengatur hasil panen karet serta durian dengan lebih efisien. Saat harga karet naik di pasar kota, mereka menjual hasilnya ke kota meski harus menempuh perjalanan jauh. Inilah cara mereka bertahan dan menyesuaikan diri di tengah keterbatasan.

"Kita mungkin tidak mungkin bisa melawan," kata Tegar kepada para pemuda desa yang khawatir dengan perubahan ini, "tapi kita punya cara sendiri untuk menjaga hidup kita.". Tanpa perlu protes besar-besaran, mereka bertahan dengan ketekunan dan kebersamaan, menjaga agar nilai-nilai adat dan kehidupan mereka tetap berjalan.

Bagi Tegar dan masyarakat Desa Kenangan, bertahan hidup bukan sekadar soal mencari nafkah, tetapi juga mempertahankan hubungan emosional dan spiritual dengan tanah leluhur. Setiap langkah kecil yang mereka ambil, setiap tindakan menjaga adat dan tradisi, adalah bentuk keberanian dalam diam. Ini adalah ungkapan cinta yang mendalam pada tanah yang telah mereka jaga selama berabad-abad.

Bagi mereka, hidup bukan hanya tentang ekonomi, tetapi adalah bagian dari perjalanan hidup yang penuh makna. Setiap kali mereka bekerja di lahan yang tersisa atau menjaga sungai agar tetap jernih, ada rasa syukur yang dalam dan komitmen untuk meneruskan warisan leluhur mereka. Langkah-langkah kecil ini adalah bukti bahwa, meski perubahan tak bisa dihentikan, hati mereka tetap besar dan cinta mereka pada tanah leluhur tak tergantikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun