Mohon tunggu...
Indartik
Indartik Mohon Tunggu... Guru - Guru TK

Seorang guru yang memiliki hobi menulis dan memasak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pemenuhan Hak-Hak Anak Usia Dini Dalam Peningkatan Kesejahteraan Anak di Indonesia

12 April 2023   21:25 Diperbarui: 12 April 2023   23:01 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PEMENUHAN HAK-HAK ANAK USIA DINI DALAM PENINGKATAN KESEJAHTERAAN ANAK DI INDONESIA

Oleh; Indartik, S.Pd

TK Pertiwi 04 Ngaliyan, Jl. Prof Dr. Hamka No. 17 Ngaliyan Semarang

email : iinfaiin25@gmail.com

ABSTRAK

Anak adalah salah satu yang harus diperhatikan kesejahteraannya, baik itu kesejahteraan lahir, kesejahteraan batin, maupun kesejahteraan sosialnya karena anak merupakan individu yang akan meneruskan cita-cita bangsa dan menjadi generasi penerus suatu negara. Saat ini, kondisi anak di Indonesia yang masih perlu untuk ditangani oleh pemerintah dan pihak-pihak lainnya karena kesejahteraannya yang bermasalah. Pengetahuan tentang Pemenuhan dan Perlindungan Hak Anak penting dimiliki oleh setiap orangtua dan calon orangtua agar memiliki perspektif atas kedudukan anak sebagai generasi pewaris masa depan bangsa. Sering terjadi anak menjadi objek kepentingan orangtua, tidak ditempatkan sebagai subjek yang memiliki masa depannya sendiri. Akibat anak mengalami keadaan tidak menyenangkan di masa kecilnya tentu akan berakibat pula pada pembentukan pribadi yang tidak menyenangkan di masa dewasanya. Untuk itu, menjadi kewajiban setiap orang dewasa, terlebih yang berperan mengasuhnya untuk memberikan pemenuhan seoptimal mungkin apa yang menjadi hak anak seiring masa tumbuh-kembang hingga menjadi calon pribadi yang mandiri.

Kata kunci : anak usia dini, hak anak, kesejahteraan anak

ABSTRACT

Child is one that must be considered well-being, be it welfare of birth, mental well-being, and social welfare because the child is an individual who will carry on the ideals of the nation and become the next generation a country. Currently, the condition of children in Indonesia, which still need to be addressed by governments and other parties because of welfare problems. It is important to have knowledge about fulfilling and protecting children's rights

by every parent and prospective parent in order to have an upper perspective the position of the child as the future heir of the nation. Often occur children become objects of parental interest, not placed as subjects who has a future of his own. As a result, the child experiences the condition not fun in his childhood will certainly result in formation unpleasant personality in his adult life. For that, be it is the duty of every adult, especially those who play a role in caring for him provide optimal fulfillment of what is the right of the child along with the growth and development period to become an independent personal candidate.

Keywords: early childhood, children's rights, child welfare

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pendahuluan

Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak- hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Anak-anak merupakan generasi bangsa yang akan datang, kehidupan anak-anak merupakan cermin kehidupan bangsa dan negara. Kehidupan anak-anak yang diwarnai dengan keceriaan merupakan suatu cermin suatu negara memberikan jaminan kepada anak-anak untuk hidup dan berkembang sesuai dengan kehidupan anak-anak itu sendiri. Sedangkan keadaan anak-anak yang diwarnai dengan keadaan tertekan, trauma, merupakan cermin suatu negara  yang  tidak peduli terhadap anak-anak sebagai generasi bangsa yang akandatang.

Anak-anak merupakan manusia kecil yang juga memiliki hak atas hidupnya, maka sudah menjadi kewajiban bagi orang tua, masyarakat dan negara untuk memenuhi hak anak. Pemenuhan hak anak dan pemberdayaan anak umumnya adalah investasi sosial yang hasilnya baru akan terlihat sekian tahun kemudian.[1] Sehingga jika menginginkan masa depan anak yang lebih baik maka perlu untuk diperhatikan dan dipenuhi haknya sejak dini.

Hak asasi anak merupakan hak asasi manusia yang termuat dalam KHA (Konvensi Hak Anak) tentang perlindungan anak.Konvensi Hak Anak adalah perjanjian yang mengikat secara yuridis dan politis diantara berbagai negara yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan hak anak. Tahun 1979 merupakan tahun dimana perumusan Konvensi Hak Anak dilaksanakan dan disahkan oleh PBB pada tanggal 20 November 1989.[2]

 Hak merupakan sesuatu yang semestinya didapatkan dari orang lain untuk dirinya. Dalam KHA terdapat empat prinsip perlindungan terhadap anak, yaitu:3

  • Non diskriminasi, artinya semua hak yang diakui dan tekandung dalam KHA harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa perbedaan apapun.
  • Yang terbaik bagi anak (best interest of the child), artinya bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak, maka apa yang terbaik bagi anak haruslah menjadi pertimbangan yang utama.
  • Kelangsungan hidup dan perkembangan anak (survival and development), artinya bahwa hak hidup yang melekat pada diri setiap anak harus diakui dan bahwa hak anak atas kelangsungan hidup dan perkembangannya harusdijamin.
  • Penghargaan terhadap pendapat anak (respect the views of thechild), maksudnya bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan.

Poin ke 3 menyampaikan bahwa hak anak atas kelangsungan hidup dan perkembangannya harus dijamin.Perkembangan anak termasuk diantaranya perkembangan intelektual pendidikannya, setiap anak berhak untuk mendapatkan pendidikan. Pendidikan mendasar yang dapat diikuti oleh anak-anak adalah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Seperti yang tecantum dalam Amandemen UUD 1945 pasal 28 ayat 2 menyatakan bahwa "setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan diri dari kekerasan dan diskriminasi".[3]

  • Hakikat  Anak 

Menurut Undang-Undnag Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002 mendefinisikan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.[4] Dalam memahami anak, setidaknya terdapat dua perspektif utama, yaitu : 1) anak sebagai fenomena biologis (dan psikologis), dan 2) anak sebagai fenomena sosial (dan legal). Untuk mengetahui kedua perspektif secara benar akan kita bahas satu persatu.

  • Perspektif anak dari fenomena biologis-psikologis

Sebagai fenomena biologis (dan psikologis), anak dipersepsikan sebagai manusia yang masih berada dalam tahap perkembangan yang belum mencapai tingkat yang utuh.Kondisi fisik, organ reproduktif, kemampuan motorik, kemampuan mental dan psiko-sosialnya dianggap masih belum selesai. Untuk memahami anak dari perspektif biologis (dan psikologis), kategori anak biasa di sub-klasifikasikan ke dalam beberapa tingkat perkembangan seperti masa bayi, balita, kanak-kanak, remaja awal, remaja akhir, dan seterusnya.

  • Perspektif anak dari fenomena sosial-legal

Sebagai fenomena sosial (dan legal), anak, karena tingkat perkembangan mental dan psikososialnya, dianggap tidak mempunyai kapasitas untuk melakukan tindak sosial (dan legal) tertentu.Namun sebagai fenomena sosial (dan legal), sub-klasifikasi seperti itu tidak dikenal. Dalam perspektif legal, anak merupakan satu fenomena tunggal. Dalam hal ini anak hanya dipertentangkan dengan orang dewasa yang dianggap sudah sepenuhnya mampu melakukan tindakan (legal) tertentu.Perbedaan antara anak dan orang dewasa biasanya dipatok dengan batas umur tertentu. Batas umur tersebut berbeda-beda bergantung pada jenis tindakan yang dilakukan. Misalnya untuk dianggap mempunyai kapasitas melakukan suatu tindak kejahatan ditetapkan suatu batas umur yang mungkin berbeda dengan batas umur yang ditetapkan untuk melakukan perkawinan, dan seterusnya. 

Berdasarkan tinjauan dan perspektif yang telah dikemukakan di atas, lalu perspektif manakah yang sebaiknya digunakan upaya memenuhi hak-hak anak? Bagi orang tua, pendidik, dan tenaga pendamping anak, baik pendekatan biologis maupun pendekatan yang berdasarkan pada perspektif sosial (dan legal) perlu dilakukan secara bersamaan. Namun begitu, perlu di ingat bahwa keduanya harus ditempatkan pada proporsi masing-masing. Untuk kegiatan pengembangan kapasitas (fisik, mental, sosial, moral dan sebagainya), merupakan suatu tuntutan mutlak untuk memperhitungkan tingkat-tingkat perkembangan biologis (dan psikologis) pada tahapan umur yang berbeda. Perbedaan karakter perkembangan pada tingkat umur tertentu.telah dijelaskan oleh semua ahli perkembangan (fisik dan psikososial), menuntut respons yang berbeda karena kebutuhan yang berbeda. Balita umpamanya, mempunyai kebutuhan menu (dan perhatian psikologis) yang berbeda dari kebutuhan menu (dan psikologis) anak yang berada pada tingkat perkembangan remaja-awal.

  • Batasan dan Karakteristik Anak

Pembahasan di atas telah memaparkan bahwa terdapat dua perspektif untuk melihat anak. Di bawah ini akan diuraikan karakteristik anak dari dua perspektif tersebut yaitu sebagai berikut.

  • Karakteristik Anak berdasar Fenomena Biologis-Psikologis

Secara umum definisi anak adalah individu yang belum memasuki masa dewasa. Berdasarkan fenomena biologis-psikologis serta cirinya secara umum dapat dikelompokkan sebagai berikut.

  • Masa pertama: usia 0 sampai 1 tahun

Pada masa ini anak berlatih mengenal dunia lingkungan dengan berbagai macam gerakan. Pada waktu lahirnya ia mengalami dunia tersendiri yang tak ada hubungannya dengan lingkungannya. Perangsang-perangsang luar hanya sebagian kecil yang dapat disambutnya, sebagian besar masih ditolaknya.Pada masa ini terdapat dua peristiwa penting, yaitu belajar berbicara dan berjalan.

  • Masa kedua: usia 2 sampai 4 tahun

Keadaan luar makin dikuasai dan dikenal anak melalui bermain, kemajuan bahasa, dan pertumbuhan kemauannya. Dunia luar dilihat dan dinilainya menurut keadaan dan sifat batinnya. Semua binatang dan benda mati disamakan dengan dirinya. Bila ia berusia 3 tahun ia akan mengalami krisis pertama (trotzalter I).

  • Masa ketiga: usia 5 sampai 8 tahun

Keinginan bermain anak berkembang menjadi semangat bekerja. Rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan menjadi semakin tinggi. Pandangan terhadap dunia sekelilingnya ditinjau dan diterima secara objektif.

  • Masa keempat: usia 9 sampai 13 tahun

Keinginan maju dan memahami kenyataan mencapai puncaknya. Pertumbuhan  jasmani  anak  sangat  pesat  pada  usia  10  sampai  12 tahun. Kejiwaannya tampak tenang, seakan-akan ia bersiap-siap untuk menghadapi perubahan yang akan datang. Ketika anak perempuan berusia 12 sampai 13 tahun, dan anak laki-laki berusia13 sampai 14 tahun, mereka mengalami masa krisis dalam proses perkembangannya. Pada masa ini mulai timbul kritik terhadap diri sendiri, kesadaran akan kemauan, penuh pertimbangan, mengutamakan tenaga sendiri, disertai berbagai pertentangan yang timbul dengan dunia lingkungan dan sebagainya.

  • Masa kelima: usia 14 sampai 19 tahun

Pada awal masa pubertas anak kelihatan lebih subjektif. Kemampuan dan kesadaran dirinya terus meningkat. Hal ini mempengaruhi sifat-sifat dan tingkah lakunya. Anak di masa pubernya selalu merasa gelisah karena mereka sedang mengalami sturm and drunk (ingin memberontak, gemar mengkritik, suka menentang, dan sebagainya). Pada masa akhir pubertas, yaitu sekitar usia 17 tahun, anak mulai mencapai perpaduan (sintesis), yaitu keseimbangan antara dirinya sendiri dengan pengaruh dunia lingkungan. Mereka membentuk pribadi, menerima norma-norma budaya dan kehidupan. Bila terlihat gejala-gejala seperti di atas, menurut Kohnstam, merupakan pertanda bahwa remaja itu mulai memasuki masa matang.

  • Karakteristik Anak berdasar Fenomena Sosial-Legal

Selanjutnya, khusus masalah definisi anak dalam konteks legislasi Indonesia dalam hal penetapan batas umur, Indonesia mempunyai tiga masalah utama, yaitu sebagai berikut.

Pertama, penetapan batas umur dalam sistem legislasi nasional sangat tidak komprehensif.Batas umur hanya ditetapkan untuk beberapa hal saja. Tidak ada penetapan legal secara eksplisit atas batas umur untuk hal-hal, seperti: konsumsi alkohol, akses pada pelayanan medis tanpa didampingi orang tua/wali, rekrutmen dalam angkatan bersenjata, kematangan seksual, dan seterusnya. Akhirnya terjadi penyimpangan di masyarakat.Tanpa batas umur legal untuk mengonsumsi alkohol, secara teknis semua warung penjual minuman keras boleh melayani pembeli bahkan jika umurnya masih 5 atau  6 tahun. Tanpa batas umur legal untuk akses pelayanan kesehatan tanpa di dampingi orang tua/wali, secara teknis seorang anak bisa memberi persetujuan atau ketidaksetujuan sendiri atas tawaran treatment medis dari seorang dokter, walaupun umurnya masih 10 atau 11 tahun, dan seterusnya. Tanpa batas umur legal bagi rekrutmen ke dalam angkatan bersenjata, secara teknis seorang anak walaupun umurnya baru 12 tahun boleh direkrut ke dalam dinas militer dan disuruh berperang. Tanpa batas umur legal kedewasaan seksual, seorang  anak  bahkan  jika  umurnya masih  3.5  atau  7 tahun, dianggap bisa melakukan perzinahan atas dasar suka-sama-suka. Dengan kata lain, kita tidak bisa memberikan perlindungan legal secara definitif dan oleh karena itu, sebenarnya kita cukup tidak terpuji.

Kedua, kekacauan standar batas umur. Batas umur kematangan seksual misalnya; tanpa ketentuan eksplisit menyangkut batas umur ini, beberapa ketentuan relevan yang ada sangat bervariasi. Dalam KUHP, batas umur yang relevan ditetapkan secara ganda antara 12 dan 15 tahun (yang efektif adalah 12 tahun). Sementara dalam UU Perkawinan, batas yang relevan menunjuk pada umur 16 tahun (perempuan) dan 19 tahun (laki-laki). Dalam variasi seperti ini, jika pun kelak ditetapkan satu batas eksplisit menyangkut kematangan seksual, potensi terjadinya kekacauan konseptual masih akan berlanjut. Kekacauan terang-terangan terdapat pada batas umur legal tentang keterlibatan dalam pekerjaan. Stbl. 1925 mematok batas umur 12 tahun, UU Perburuhan (1951) mematok umur 14 tahun, Permenaker (Jaman Menaker Sudomo) melegalisir buruh anak, dan UU Ketenagakerjaan (1997) mematok umur 15 tahun. Sementara ketiga peraturan terdahulu masih sama-sama berlaku, kekacauan baru diciptakan lagi dalam UU 1997, di mana ketentuan batas umur 15 tahun (Pasal 95) secara efektif dianulir oleh ketentuan berikutnya (Pasal 96).

Ketiga, diskrepansi yang terlalu besar antara batas umur untuk berbagai tindakan yang berbeda.Sejauh pengetahuan penulis, batas terendah ditetapkan untuk tanggung jawab kriminal, yakni 8 tahun. Batas umur kematangan seksual (implisit) menurut KUHP adalah 12 tahun, batas umur legal untuk bekerja (UU 1951) 14 tahun, batas umur untuk memilih dalam pemilu 17 tahun, dan batas umur untuk bertindak perdata (BW) 21 tahun. Jadi, batas umur yang disebut anak dalam sistem hukum di Indonesia bervariasi antara 8 hingga 21 tahun. Jarak definisi ini terlalu lebar dan karenanya membingungkan.

Karena kekacauan definisi dalam penetapan batas umur sebagai anak, maka penulis cenderung menggunakan batas umur sebagaimana ditetapkan oleh Konvensi Hak Anak (KHA), kecuali untuk masalah tertentu di mana batas umur anak telah ditetapkan dalam perundangan nasional, yakni mereka yang umurnya di bawah 18 tahun.

  • Pengertian Hak Anak

Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 menguraikan hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Wingjosoebroto menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang seharusnya diakui sebagai hak yang melekat pada manusia karena hakikat dan kodrat manusia, yang tiadanya hak ini serta merta akan menyebabkan manusia tidak mungkin dapat hidup harkat dan martabatnya sebagai manusia.[5] Hak-hak anak merupakan bagian integral dari HAM, berkaitan dengan peranan negara, maka tiap negara mengembankan kewajiban yaitu melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill), dan menghormati (to respect) hak-hak anak.[6]

Di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak pasal 26 tentang Kewajiban dan Tanggung Jawab keluarga dan Orang Tua dijelaskan bahwa orangtua berkewajiban dan  bertanggung jawab untuk memelihara, mendidik dan melindungi anaknya. Sedangkan di dalam pasal 31 ayat 2 Bab VI tentang Kuasa Asuh dijelaskan bahwa apabila salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai derajat ketiga tidak dapat melaksanakan fungsinya maka kuasa asuh dapat di alihkan kepada lembaga yang berwenang. Pengasuhan oleh Lembaga dapat dilakukan di dalam atau di luar Panti Sosial. Selain itu, masyarakat juga memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan dalam perlindungan anak baik dilakukan oleh perseorangan, lembaga sosial anak, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha dan media massa.[7]

  • Hak-hak Anak dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002

Landasan hukum yang digunakan dalam melaksanakan pemenuhan hak-hak anak bertumpu pada Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak Anak yang disahkan tahun 1990 kemudian diserap ke dalam Undang-Undang no 23 tahun 2002. Berdasarkan sesuatu yang melekat pada diri anak tersebut yaitu hak yang harus dilindungi dan dijaga agar berkembang secara wajar.

Terdapat empat prinsip utama yang terkandung di dalam Konvensi Hak Anak, prinsip-prinsip ini adalah yang kemudian diserap ke dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang disebutkan secara ringkas pada pasal 2. Secara lebih rinci Prinsip-prinsip tersebut adalah:[8]

  • Prinsip non diskriminasi.

Artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam Konvensi  Hak Anak harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun. Prinsip ini tertuang dalam Pasal 2 Konvensi Hak Anak, yakni :

Negara-negara peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak yang diterapkan dalam konvensi ini bagi setiap anak yang berada dalam wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan-pandangan lain, asal-usul kebangsaan, etnik  atau sosial, status kepemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau status lainnya baik dari si anak sendiri atau dari orang tua atau walinya yang sah". (Ayat 1)."Negara-negara peserta akan mengambil semua langkah yang perlu untuk menjamin agar anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang dikemukakan atau keyakinan dari orang tua anak, walinya yang sah atau anggota keluarga".(Ayat 2).

  • Prinsip yang terbaik bagi anak (best interest of the child).

Yaitu bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau badan legislatif. Maka dari itu, kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama (Pasal 3 ayat 1).

  • Prinsip atas hak hidup, kelangsungan dan perkembangan (the rights to life, survival and development).

Yakni bahwa negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak  memiliki hak yang melekat atas kehidupan (Pasal 6 ayat 1). Disebutkan juga bahwa negara-negara peserta akan menjamin sampai batas maksimal kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Pasal 6 ayat 2).

  • Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child).

Maksudnya bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan. Prinsip ini tertuang dalam Pasal 12 ayat 1 Konvensi Hak Anak, yaitu: Negara-negara peserta akan menjamin agar anak-anak yang mempunyai pandangan sendiri akan memperoleh hak untuk menyatakan pandangan-pandangannya secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi anak, dan pandangan tersebut akan dihargai  sesuai dengan tingkat usia dan kematangan anak. Penegasan hak anak dalam UU No. 23 Tahun 2002 ini merupakan legalisasi hak-hak anak yang diserap dari KHA dan norma hukum nasional. Dengan demikian, Pasal 4 s/d 19 UU No. 23 tahun 2002 menciptakan norma hukum (legal norm) tentang apa yang menjadi hak-hak anak. Hak anak atas hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi secara wajar.[9]

Pada pasal 4 disebutkan bahwa "Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi". Dapat dikatakan, Pasal 4 ini merupakan primary laws (norma hukum utama), yang menjadi inspirasi bagi norma hukum dalam pasal lainnya, yang secara teoritis dapat disebut sebagai secondary laws. Karenanya, Hak hidup sebagai hak yang tidak dapat diabaikan dalam keadaan apapun, termasuk situasi darurat (emergency).[10]

Dalam UU No.23 Tahun 2002 diatur mengenai hak dan kewajiban anak yang tercantum dalam Pasal 4 s/d pasal 19. Secara lebih perinci hak-hak anak dalam UU Nomor 23 tahun 2002 adalah sebagai berikut:

  • Hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4). Sejalan dengan KHA, hak hidup bagi anak ini, dalam wacana instrumen/konvensi internasional merupakan hak asasi yang universal, dan dikenali sebagai hak yang utama (supreme right). Sedangkan hak atas tumbuh kembang diturunkan ke dalam hak atas kesehatan, pendidikan, dan hak untuk berekspresi, dan memperoleh informasi. Dalam UU No. 23/2002, turunan hak atas tumbuh kembang ini diwujudkan dalam penyelenggaraan perlindungan dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial, termasuk agama.[11]
  • Hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan (Pasal 5).
  • Hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua (Pasal 6). Hak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir dan berekspresi merupakan wujud dari jaminan dan penghormatan negara terhadap hak anak untuk berkembang, yang mengacu kepada Pasal 14 KHA.
  • Hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri (Pasal 7). Dalam pasal ini dijelaskan bahwa jika orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak maka anak tersebut berhak untuk diasuh oleh orang lain sebagai anak asuh atau anak angkat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan (Pasal 7 ayat 2 dan 3).
  • Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial (Pasal 8). Hak memperoleh pelayanan kesehatan ini merupakan hak terpenting dalam kelompok hak atas tumbuh kembang anak. Setidaknya, hak atas pelayanan  kesehatan bagi anak dirujuk ke dalam Pasal 24 dan 25 KHA. Mengenai bagaimana pelaksanaan hak-hak kesehatan ini, selanjutnya dirumuskan dalam ketentuan tentang penyelenggaraan hak anak dalam bidang kesehatan  yang diatur dalam Pasal 44 s/d Pasal 47 UU No.23/2002. Pemerintah  wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan (pasal 44).[12]9
  • Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya (pasal 9). Hak anak atas pendidikan meliputi hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan diri anak sesuai dengan bakat, minat, dan kecerdasannya. Hak ini merupakan turunan dan pelaksanaaan dari Pasal 31 UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut: "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan". Bahkan, Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 secara eksplisit memprioritaskan pendidikan dengan alokasi anggaran dalam APBN serta dari APBD sebesar minimal 20 persen.[13]
  • Khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus (Pasal 9 ayat 2).
  • Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial (Pasal 12).
  • Hak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan  usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan (Pasal 10).
  • Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan  minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri (Pasal 11).[14]
  • Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan yang menyimpang (Pasal 13), perlakuan-perlakuan yang menyimpang itu adalah:

a.  Diskriminasi.

b.  Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual.

c.  Penelantaran.

d.  Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan.

e.  Ketidakadilan.

f.   Perlakuan salah lainnya.

  • Hak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir (Pasal 14). Pada prinsipnya, negara melakukan upaya agar anak berada dalam pengasuhan orangtuanya sendiri, dan tidak dipisahkan dari orangtua secara bertentangan dengan keinginan anak. Pada pasal ini ditegaskan bahwa anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orangtuanya secara bertentangan dengan kehendak anak, kecuali apabila pemisahan dimaksud mempunyai alasan hukum yang sah, dan dilakukan demi kepentingan terbaik anak.[15]
  • Hak untuk memperoleh perlindungan dari pelibatan dalam situasi darurat atau kerusuhan (pasal 15), hal itu adalah:

a.  Penyalahgunaan dalam kegiatan politik.

b.  Pelibatan dalam sengketa bersenjata.

c.  Pelibatan dalam kerusuhan sosial.

d.  Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan.

e.  Pelibatan dalam peperangan.

  • Hak untuk memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi, hak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum dan perlindungan dari penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya  dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir (Pasal 16).[16]
  • Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :
  • Mendapatkan  perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa.
  • Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif  dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku 
  • Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum (Pasal 17 ayat 1).
  • Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan (Pasal 17 ayat 2).
  • Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya (Pasal 18).

Dengan adanya berbagai peristiwa pada belakangan ini maka pemerintah melakukan beberapa perubahan pada undang-undang nomor 23 tahun 2002 dengan dikeluarkannya undang-undang nomor 35 tahun  2014 yang merubah dan menambahi beberapa poin di dalam pasal-pasal undang-undang nomor 23 tahun 2002, perubahan-perubahan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban anak tersebut adalah:[17]

  • Pada pasal 6 dirubah sehingga berbunyi "Setiap Anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orang tua atau wali".
  • Pada pasal 9 ayat 1 ditambah dengan ayat 1 (a) yang berbunyi "Setiap Anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain".
  • Pada pasal 9 ayat 2 dan pasal 12 terdapat perubahan kalimat "anak yang menyandang cacat" diganti dengan "anak peyandang disabilitas".
  • Pada pasal 14 ditambah dengan ayat 2 yang berbunyi "Dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Anak tetap berhak:
  • Bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua Orang Tuanya;
  • Mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua Orang Tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
  • Memperoleh pembiayaan hidup dari kedua Orang Tuanya; dan
  • Memperoleh Hak Anak lainnya.
  • Pada pasal 15 terkait dengan hak anak mendapat perlindungan ditambah dengan poin f yaitu "kejahatan seksual".

Setiap hak yang didapatkan berimbang dengan kewajiban yang harus dijalankan, selain memiliki beberapa hak, seorang anak juga memiliki beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan dalam kehidupannya. Dalam pasal 19 UU  NO. 23 Tahun 2002 diuraikan bahwa setiap anak memiliki kewajiaban untuk:[18]

  • Menghormati orang tua, wali, dan guru.
  • Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman.
  • Mencintai tanah air, bangsa, dan negara.
  • Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya.
  • Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

Secara garis besar hak-hak anak yang dapat dikategorikan menjadi empat kategori yaitu sebagai berikut:[19]

  • Hak kelangsungan hidup yang mencakup hak dan memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai (survival rights).
  • Hak tumbuh kembang anak yang mencakup semua jenis pendidikan  formal maupun formal dan hak menikmati standart kehidupan yang layak bagi tumbuh kembang fisik, mental, spritual, moral non moral dan sosial (development rights)
  • Hak perlindungan yang mencakup perlindungan diskriminasi, penyalahgunaan dan pelalalaian, perlindungan anak-anak tanpa keluarga dan perlindungan bagi anak anak pengungsi (protection rights).
  • Hak partisipasi yang meliputi hak-hak anak untuk menyampaikan pendapat atau pandangannya dalam semua hal yang menyangkut nasib anak  itu (participation rights)

Kesimpulan

Dalam memahami anak, setidaknya terdapat dua perspektif utama, yaitu: 1) Anak sebagai fenomena biologis (dan psikologis), dan 2) Anak sebagai fenomena sosial (dan legal). Anak sebagai manusia, memiliki hak asasi. Terkait hak anak, terutama yang tertuang dalam KHA (Konvensi Hak Anak) secara umum adalah bahwa: 1) setiap anak berhak mendapatkan pemenuhan kebutuhan terbaik, 2) setiap anak berhak terlindung dari semua bentuk kekerasan, 3) setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan, 4) setiap anak berhak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan pekerjaan yang berbahaya, serta 5) setiap anak berhak atas tingkat hidup yang layak.

Hak-hak anak dapat disimak dalam UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.Dalam undang-undang tersebut secara eksplisit menyebutkan bahwa setiap anak Indonesia memiliki hak sebagai berikut.

  • hak untuk hidup;
  • hak anak untuk dilindungi orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara;
  • hak anak untuk beribadah;
  • hak anak untuk dilindungi secara hukum dari tindak kekerasan fisik, mental, dan penelantaran;
  • hak pendidikan;
  • hak untuk beristirahat dan berekspresi;
  • hak memperoleh kesehatan;
  • hak untuk dilindungi dari eksploitasisosial.

Jadi jika disimpulkan hak-hak setiap anak meliputi hak untuk:

  • dilahirkan, memiliki nama dan kewarganegaraan;
  • memiliki keluarga yang menyayangi dan mengasihi anak;
  • hidup dalam komunitas yang aman, damai dan lingkungan yang sehat;
  • mendapatkan makanan yang cukup dan tubuh yang sehat danaktif;
  • mendapatkan pendidikan yang baik dan mengembangkan potensinya;
  • diberikan kesempatan bermain dan waktu santai;
  • di lindungi dari penyiksaan, eksploitasi,p enyia-nyiaan, kekerasan dan dari marabahaya;
  • dipertahankan dan diberikan bantuan oleh pemerintah;
  • mengekspresikan pendapat sendiri.

 Daftar Pustaka

 Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010)

Fuadi, "Pemenuhan Hak Anak Oleh Pengelola Panti Menurut Hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan studi kasus Banda Aceh", Jurnal Ilmu Hukum Universitan Pasca Sarjana Syiah Kuala, No 1 (Agustus, 2013)

Ima Susilowati dkk, Pengertian Konvensi Hak Anak, (Jakarta, 2003)

Keputusan Menteri sosial, Panduan Umum Program Kesejahteraan Sosial Anak, (MenteriSosial, 2010)

Meuthia G. Rochman, at. Al., Hak Asasi Manusia Sebagai Parameter Pembangunan, (Jakarta: ELSAM, 1997)

Muhammad Joni, Hak-Hak Anak dalam UU Perlindungan Anak dan Konvensi PBB tentang Hak Anak: Beberapa Isu Hukum Keluarga (Jakarta: KPAI, t.t.,)

Supriyadi W. Eddyono, Pengantar Konvensi Hak Anak, (Jakarta: ELSAM, 2005)

Tim, Undang-Undang nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang no 23 tahun 2002.

Tim, Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentangg Perlindungan Anak, Bab III, pasal 8.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun