Mohon tunggu...
Inda Nugraha Hidayat
Inda Nugraha Hidayat Mohon Tunggu... Guru - Guru | MC | Penulis

Seorang MC yang suka Menulis Puisi, Prosa, Drama, dll, dalam bahasa Sunda dan Indonesia, di sela kesibukannya mengajar di sebuah SMK Swasta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Padepokan Sobarnas Martawijaya, Mengubah yang Ada Menjadi yang Semestinya

29 Desember 2019   21:00 Diperbarui: 1 Januari 2020   15:58 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selain didapat dari ibunya, keterampilan tari Teh Diana juga diperoleh dan diperkaya dari hasil pendidikannya di Jurusan Tari STSI (sekarang ISBI) Bandung. Teh Diana, yang sehari-harinya adalah seorang guru seni budaya yang mengajar di SMAN 8 Garut, juga sering dipercaya oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Garut untuk membuat komposisi tari pada berbagai kegiatan budaya yang digelar oleh dinas, terutama pada perhelatan akbar Gebyar Budaya Pesona Garut yang termasuk dalam 100 Calendar of Event Indonesia.

Untuk pelatihan dan penataan karawitan, dipercayakan kepada Kang Wawan Somarwan, S.Sn., putra sulung mendiang Bapak Sobarnas. Kang Wawan adalah seorang musisi lulusan ASTI (sekarang ISBI) Bandung dan STSI Denpasar, Bali. Beliau juga seorang PNS yang menjabat Kasi Atraksi Kesenian Tradisional di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Garut. Satu jabatan yang erat kaitannya dengan perkembangan Padepokan Sobarnas Martawijaya sebagai salah satu sentra atraksi seni di Garut.

Sementara itu, aktivitas-aktivitas kesenian dan kebudayaan Posstheatron dipimpin oleh Kang Fachroe, menantu mendiang Bapak Sobarnas, suami dari Teh Diana Nastini. Beliau adalah seorang seniman teater, penyair, dan alumni jurusan Teater STSI Bandung.

Sejak kedatangannya ke Garut, pria asal Bandung ini langsung membuat gairah berkesenian di Garut kembali menggeliat. Terutama gairah seni drama, teater dan sastra. Selain merintis pendirian Posstheatron, Kang Fachroe juga telah membidani kelahiran beberapa grup teater sekolah di Garut. Saat ini, ia juga dipercaya menjadi Ketua Himpunan Seniman Sastra dan Drama Garut.

Menengok Masa Lalu Padepokan

Menurut penuturan Kang Wawan, jejak langkah Padepokan ini sebenarnya sudah terekam sejak tahun 1962, tidak lama setelah Garut menerima julukan dan piagam penghargaan dari Presiden Soekarno sebagai Kota Intan, kota terbersih dan terindah di Indonesia. Waktu itu, padepokan yang diberi nama Sari Kota Inten ini, dirintis oleh R.S. Affandi atau lebih dikenal dengan nama Aom Emon, yang sedang menjabat sebagai kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Garut. Pada mulanya pembinaan difokuskan pada pelatihan seni sunda, seperti tari, tembang sunda, wayang golek, calung, reog, gending karesmen, dan sebagainya. Pada tahun 1974, tiga orang penari dari Sari Kota Inten, terpilih untuk bergabung dalam misi kesenian Indonesia ke Jepang selama enam bulan.

Sepeninggal Aom Emon, Sari Kota Inten dilanjutkan oleh Bapak Sobarnas Martawijaya. Di bawah asuhannya, Sari Kota Inten semakin berkembang, dan semakin sering mendapat kepercayaan untuk mengisi berbagai acara yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Garut.

Di Penghujung tahun 1979, pimpinan Sakinten, Bapak Sobarnas Martawijaya, dikirim oleh Pemerintah Kabupaten Garut untuk nyantrik, mempelajari berbagai ilmu kesenian di Padepokan Bagong Kusudiarjo, Yogyakarta, selama enam bulan. Sepulang dari Yogya, Bapak Sobarnas mengubah nama Sari Kota Inten menjadi Pondok Olah Seni Sari Kota Inten, yang disingkat Polah Seni Sakinten. Seperti halnya pondok pesantren yang mengolah berbagai ilmu keagamaan, Pondok Olah Seni Sakinten mengolah berbagai ilmu kesenian.

Sejak tahun 1980-an, Polah Seni Sakinten sudah bekerjasama dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kabupaten Garut menyelenggarakan kegiatan Tetirah Seni Tari, yakni pelatihan seni tari bagi para guru, untuk kemudian diajarkan kepada murid-muridnya. Kegiatan ini berlangsung selama beberapa tahun, dan dalam beberapa angkatan telah berhasil meluluskan ratusan guru tari yang kemudian menularkan ilmunya kepada murid di sekolah masing-masing.

Padepokan Antara Menghidupkan dan Menghidupi

Pernah ada semacam ungkapan pesimistis dari beberapa seniman, "hirup jadi seniman mah kudu siap sangsara. (Memilih hidup sebagai seniman itu harus siap sengsara)." Sebuah ungkapan yang diamini dan diimani oleh cukup banyak seniman atau pelaku seni, terutama mereka yang bergiat di seni tradisi. Hal ini cukup beralasan, karena penghasilan dari seni tradisi itu tidak menentu, dan besarannya pun tidak seberapa. Sementara untuk menghasilkan suatu karya seni pertunjukan yang baik, dibutuhkan waktu untuk berproses dan berlatih yang tidak sebentar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun