Diskursus David Hume, dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia
PENDAHULUAN
David Hume (1711--1776) adalah salah satu dari tiga filosof empiris Inggris yang paling berpengaruh pada aliran filsafat Inggris. John Locke, George Berkeley, dan Hume adalah tiga filosof empiris paling terkenal di Inggris. Tokoh ini memiliki keahlian dalam sejarah, sastra, dan diplomasi serta keahlian dalam filsafat.Walaupun dia dianggap sebagai filosof empirisme, namun di tangannya lahir aliran baru yang dianggap sebagai alternatif dari ketidak puasan terhadap filsafat rationalism, empiricism, dan idealism, yaitu skepticism. Untuk memperkenalkan filsafat Hume, penting untuk memahami aliran intelektual utama yang mempengaruhi pemikirannya.
Pertama, Hume bereaksi terhadap sistem metafisik filsuf rasionalis filsuf seperti Descartes, Spinoza, dan Leibniz termasuk di antaranya. Masing-masing pemikir ini memulai dari prinsip-prinsip tertentu yang telah terbukti secara empiris dan berusaha untuk menghasilkan sistem pengetahuan yang lengkap dari prinsip-prinsip ini. Namun, mereka sampai pada kesimpulan yang jauh berbeda dengan menggunakan pendekatan ini. Namun, mengikuti metode ini, mereka sampai pada hal yang sangat berbeda kesimpulan. Demikian Descartes, mulai dari karyanya yang terkenal "I am thinking, therefore I exist" Saya berpikir, maka saya ada dan sejumlah kecil prinsip lain yang ia temukan terbukti dengan sendirinya mencoba menunjukkan bahwa Tuhan itu ada dan bahwa alam semesta adalah diciptakan Tuhan, terdiri dari dua jenis substansi yang sama sekali berbeda. pikiran, yang sepenuhnya nonmaterial dan satu-satunya alat dalam keadaan sadar; dan materi, yang sama sekali tidak dapat berpikir atau sadar, yang sifat sebagai penentu ekstensi.
Pengaruh kedua yang lebih positif terhadap pemikiran Hume adalah Isaac Newton, pencipta teori klasik tentang fisika yang dikagumi dan bahkan dipuja Hume, Newton tidak mengembangkan fisika dengan berdebat secara deduktif dari premis yang sudah jelas. Sebaliknya, untuk menjelaskan cara alam berfungsi, dia membatasi dirinya pada hipotesis yang dapat diuji secara eksperimental. Seperti yang akan kita lihat di kemudian hari, Hume berusaha untuk memodifikasi metode eksperimen Newton untuk pertanyaannya sendiri.
Pengaruh ketiga pada Hume adalah John Locke, pendiri aliran empiris Inggris. Tiga aspek pemikiran Locke yang sangat relevan bagi Hume adalah sebagai berikut: yang Aspek pertama adalah "giliran epistemologis" (epistemological turn) Locke. Menurut perspektif ini pandangan bahwa sebelum menjawab pertanyaan besar tentang sifat realitas-sepertikeberadaan dan sifat Tuhan, atau sifat dasar materi, atau keabadian jiwa-kita perlu menyelidiki pikiran manusia dengan maksud untuk memastikan kekuatan dan keterbatasannya, sehingga kita mampu untuk menentukan dengan realistis apa yang mungkin kita ketahui. Aspek kedua adalah apa yang disebut Locke sebagai "jalan Ide" (Way of Ideas). Ini adalah keyakinan, yang sebagian besar berasal dari Descartes, bahwa apa yang paling diketahui oleh setiap manusia dan dengan pasti adalah keadaan sadarnya sendiri atau "gagasan", dan bahwa, dalam beberapa cara, semua pengetahuan harus didasarkan pada gagasan ini. Misalnya, dalam situasi ini, kita mungkin mengetahui bahwa ada beberapa objek fisik yang dekat dengan kita. Objek-objek ini dapat termasuk buku yang sedang kita baca, meja tempat kita duduk, dinding dan jendela ruangan tempat kita berada, dan sebagainya. Doktrin "jalan gagasan" berpendapat bahwa pengetahuan ini harus didasarkan pada keadaan sadar tertentu yang kita alami, seperti pengalaman visual warna dan bentuk dan sensasi taktil (berkaitan dengan sentuhan atau rabaan) kekerasan atau soliditas. Selain itu, karena kita mungkin mengalami pengalaman serupa dalam mimpi atau halusinasi, cara kita mengetahui didasarkan pada keadaan sadar itu dapat bermasalah dan membutuhkan penjelasan atau bahkan teori. Aspek ketiga adalah penolakan Locke yang terkenal terhadap ide-ide bawaan. Singkatnya, ide bawaan akan menjadi salah satu yang belum diperoleh atau diekstrapolasi dari pengalaman apa pun, karena ide entah bagaimana dimiliki atau dibangun ke dalam pikiran sejak lahir. Hume, seperti yang akan kita lihat, setuju dengan Locke bahwa semua ide kita harus berasal dari pengalaman. Seperti yang akan kita lihat nanti, masih ada arus intelektual lain yang mempengaruhi pemikiran Hume, terutama skeptisisme filosofis.
Namun, dengan mempertimbangkan tiga faktor di atas, kita dapat menggambarkan secara umum "agenda" atau program dasar Hume sebagai berikut: Hume berusaha untuk mengadaptasi metode eksperimen Newton untuk penyelidikan serta prinsip pikiran manusia yang dipromosikan oleh Locke. Dapat dikatakan bahwa Hume lebih "beradaptasi" daripada "mengadopsi", karena dia tidak percaya bahwa eksperimen fisik dapat dilakukan di pikiran manusia. Sebaliknya, dia percaya bahwa introspeksi dapat memanfaatkan cara kerja pikiran dan bahwa dengan melakukan studi introspektif yang teliti tentang keadaan sadarnya sendiri, Seseorang akan dapat menemukan prinsip-prinsip umum yang berlaku; sebanyak Newton telah menemukan prinsip-prinsip umum yang berlaku, seperti hukum gerak dan gravitasi, dengan mempelajarinya dengan cermat operasi benda fisik. Pada dasarnya, studi introspektif ini menghasilkan ilmu yang benar-benar bersandar pada empiris. Setelah itu, Hume mengkritik teori metafisika rasionalis dengan menggunakan temuan ilmu baru tentang sifat manusia ini secara negatif. Selain itu, dia akan menggunakan temuannya untuk menawarkan gagasan tentang asal-usul keyakinan dasar manusia tertentu, seperti keyakinan tentang kausalitas hubungan antar peristiwa, keyakinan akan keberadaan objek selain dari apa yang mereka lihat, dan keyakinan tentang adanya pikiran atau diri yang berkelanjutan.
A Treatise of Human Nature, karya filosofis pertama Hume, berjumlah lebih dari 600 halaman, diterbitkan secara anonim ketika dia baru berusia 28 tahun setelah beberapa tahun kerja keras yang membuatnya kehilangan tenaga dan kesehatannya merosot. Mungkin karena gaya bahasa yang sulit, panjang lebar, dan kontennya yang inovatif, A Treatise pada awalnya dianggap gagal oleh Hume. Sebagaimana Hume menulis tentang hal ini dalam otobiografinya yang singkat, "My own Life". Hume pulih dari kekecewaannya, dan menulis dua karya lebih lanjut di mana dia menyajikan banyak tema risalahnya ini dengan cara sastra, agar lebih mudah diakses, yaitu: An Enquiry Concerning Human Understanding dan An Enquiry Concerning the Principles of Morals. (Sebuah Penyelidikan Tentang Pemahaman Manusia dan Penyelidikan Tentang Asas Akhlak). meskipun buku pertamanya diterima dengan lebih baik daripada buku pertamanya  namun sebenarnya ketenaran Hume selama hidupnya sendiri didasarkan terutama pada tulisan-tulisan non-filosofisnya. Ini termasuk enam volume History of England (Sejarah Inggris) dan beberapa esai politik dan sastra. Karya filosofisnya yang terakhir adalah Dialogues Concerning Natural Religion (Dialog Tentang Agama Alam), sebuah kritik klasik terhadap argumen tentang keberadaan Tuhan yang diterbitkan hanya setelah kematiannya.
BIOGRAFI SINGKAT
David Hume adalah filosof Skotlandia yang juga seorang sejarawan dan esais. Keluarga Hume adalah keluarga Presbyterian yang ketat dalam iman mereka. Saat ia berusia 12 tahun, ia pergi ke Universitas Edinburgh dan ingin menjadi seorang ahli hukum. Namun, ia kemudian meninggalkan keinginan itu karena keinginan yang begitu kuat untuk mempelajari filsafat.
Hume menulis A Treatise of Human Nature saat ia berusia 26 tahun. Karya ini tidak begitu sukses, meskipun menjadi fondasi filsafat dan epistemologi ilmu pengetahuan Hume. Dia juga gagal mendapatkan pekerjaan sebagai profesor di Universitas Edinburgh dan Universitas Glasgow.
 Itu adalah kesalahan karena Hume dianggap sebagai ateis. Selain itu, Hume menulis ulang karya pertamanya, An Enquiry Concerning Human Understanding dan An Enquiry Concerning the Principles of Morals. Kedua karya ini menandai kematangan filsafat Hume, meskipun tidak begitu sukses secara komersial.
Hume beralih ke menulis esai-esai singkat yang mengkritik agama karena dia merasa kurang berhasil menulis karya filsafat. Selain itu, ia menulis tentang sejarah, yang terkumpul dalam enam jilid buku History of England. Saat menjadi pustakawan di Fakultas Advokat Universitas Edinburgh, dia menulis ini. Setelah menulis sejarah Inggris, Hume tinggal sementara di Perancis, bertemu dan bergaul dengan Jean Jacques Rousseau. Karya sejarah ini ternyata sukses dan memberinya sedikit kekayaan material. Ia kemudian kembali ke Inggris, di mana ia sempat memegang posisi rendah di pemerintahan. Dia juga meninggal karena penyakit usus. Dia menjalani proses dari sakit hingga kematiannya dengan penuh kegembiraan dan kepasrahan a la Stoa. Sampai dia meninggal, dia tetap setia pada keateismeannya dengan penuh kegembiraan.
ISI
Secara umum dianggap sebagai salah satu filsuf terpenting yang menulis dalam bahasa Inggris, David Hume (1711--1776) juga terkenal pada masanya sebagai sejarawan dan penulis esai. Seorang penata gaya ahli dalam genre apa pun, karya filosofis utamanya A Treatise of Human Nature (1739--1740), the Enquiries concerning Human Understanding (1748) dan concerning the Principles of Morals (1751), serta as well as his posthumously published Dialogues concerning Natural Religion (1779) masih berpengaruh secara luas dan mendalam.
Meskipun orang-orang sezaman Hume yang lebih konservatif mengecam tulisannya sebagai karya skeptisisme dan ateisme, pengaruhnya terlihat jelas dalam tulisan filsafat moral dan ekonomi teman dekatnya Adam Smith. Kant melaporkan bahwa karya Hume membangunkannya dari "dogmatic slumbers" ( Prolegomena, Pendahuluan) dan Jeremy Bentham mengatakan bahwa membaca Hume "caused the scales to fall" dari matanya ("A Fragment on Government", bab 1, paragraf 36, catatan kaki 2). Charles Darwin menganggap karyanya sebagai pengaruh utama terhadap teori evolusi. Beragamnya arah yang diambil para penulis dari bacaannya mencerminkan kekayaan sumber mereka dan luasnya empirismenya. Saat ini, para filsuf mengakui Hume sebagai eksponen naturalisme filosofis yang menyeluruh, sebagai pendahulu ilmu kognitif kontemporer, dan sebagai inspirasi bagi beberapa jenis teori etika paling signifikan yang dikembangkan dalam filsafat moral kontemporer.
FILSAFAT MORAL
Filsafat moral memiliki peran penting dalam membentuk pandangan manusia terhadap tindakan-tindakan moral dan etika dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu tokoh besar dalam sejarah filsafat moral adalah David Hume, seorang filosof Skotlandia abad ke-18 yang memberikan kontribusi signifikan terhadap pemahaman tentang moralitas. Dalam konteks ini, kita akan mengeksplorasi pandangan David Hume terhadap diskursus korupsi, sebuah fenomena sosial yang melibatkan pelanggaran nilai-nilai moral dan etika.
Hume, dengan pendekatannya yang empiris dan skeptis, memandang bahwa sumber moralitas manusia tidak dapat diisolasi sepenuhnya dari pengalaman dan observasi. Oleh karena itu, untuk memahami fenomena korupsi, perlu dilihat bagaimana pandangan Hume terhadap asal-usul nilai-nilai moral dan bagaimana nilai-nilai tersebut diinternalisasi dalam masyarakat.
Hume berpendapat bahwa rasio bukanlah sumber moral, tetapi emosi. Akal tidak dapat berfungsi sebagai penyebab utama atau satu-satunya dari tindakan kita. Hume bahkan berpendapat jauh lebih jauh, mengatakan, "Akal saja tidak cukup, harus ada unsur yang menyertai emosi, dan unsur ini tidak dibenarkan untuk melakukan pekerjaan yang lain lebih dari untuk mematuhi emosi."
Hume menyebutkan beberapa argument yang menguatkan alasannya bahwa akal tidaklah mampu dengan sendirinya untuk menjadi dasar atau sumber dari moral, berikut argumennya:
- Moral menggerakkan diri kita kepada perbuatan, dan akal tidak menggerakkan diri kita kepadanya.
- Apa saja yang rasional atau yang tidak rasional tidaklah dapat diaplikasikan kepada perbuatan.
- Moral tidak dapat dicerap dengan demostratif, ia bukan termasuk pada masalah realita.
- Kita harus dapat mengenali segala realita perbuatan sebelum berbicara tentang moral.
Berdasarkan beberapa argumen di atas, kiranya dapat dijelaskan bahwa, sama seperti ilmu sains, moral tidak didasarkan pada prinsip-prinsip mutlak, baik dari intuisi maupun demontratif. Moral adalah pengetahuan dasar. Setiap hal yang menarik adalah relatif, terkait dengan ilmu jiwa, dan bergantung pada indra manusia. Untuk mencapai kemaslahatan bersama atau keuntungan yang lebih besar, moral didasarkan pada partisipasi dan empati manusia.
Berdasarkan argument diatas pula, dapat kita hubungkan dalam konteks diskusrsus korupsi, yaitu sebagai berikut:
- "Moral menggerakkan diri kita kepada perbuatan, dan akal tidak menggerakkan diri kita kepadanya."
Pernyataan ini menyoroti bahwa tindakan moral, termasuk dalam konteks korupsi, seringkali dipengaruhi oleh faktor emosional dan bukan semata-mata oleh pertimbangan rasional. Dalam hal ini, ketika seseorang terlibat dalam tindakan korupsi, motifnya mungkin melibatkan dorongan emosional seperti keserakahan, ambisi, atau keinginan untuk memperoleh keuntungan pribadi, yang mungkin tidak selalu dapat dijelaskan secara rasional.
- "Apa saja yang rasional atau yang tidak rasional tidaklah dapat diaplikasikan kepada perbuatan."
Pernyataan ini menekankan bahwa perbuatan, termasuk tindakan korupsi, tidak selalu dapat dijelaskan secara sepenuhnya dengan rasionalitas. Terlibatnya faktor-faktor non-rasional, seperti emosi atau nafsu, dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dan tindakan seseorang dalam konteks korupsi.
- "Moral tidak dapat dicerap dengan demonstratif, ia bukan termasuk pada masalah realita."
Hume berpendapat bahwa moralitas tidak dapat diukur atau dijelaskan secara objektif dan tidak termasuk dalam masalah realita. Dalam diskursus korupsi, perbedaan nilai dan penilaian moral dapat muncul, dan tindakan korupsi mungkin tidak selalu dianggap sebagai pelanggaran moral oleh semua pihak, mencerminkan keragaman pandangan dan penilaian subjektif.
- "Kita harus dapat mengenali segala realita perbuatan sebelum berbicara tentang moral."
Pernyataan ini menekankan perlunya memahami konteks dan konsekuensi nyata dari suatu perbuatan sebelum membuat penilaian moral. Dalam konteks korupsi, hal ini mengacu pada pentingnya memahami dampak sosial, ekonomi, dan politik dari tindakan korupsi sebelum menilainya secara moral.
FILSAFAT POLITIK
Sebelum kita mulai berbicara tentang teori politik Hume atau filsafatnya, kita harus mengingat bagaimana filsafat politiknya berhubungan dengan sejarah. Sejarah mencatat banyak huru-hara, kekacauan, dan konflik politik, agama, dan sosial di Inggris sejak berdirinya. Hingga hari ini, konflik berkepanjangan itu mungkin masih ada, seperti yang kita lihat dari banyak peristiwa berdarah yang terjadi di Irlandia yang menuntut kebebasan dan kemerdekaan, termasuk kepercayaan keagamaan yang dipilih orang-orang Irlandia.
Ketika Inggris mengalami kericuhan dan konflik-konflik kekerasan, pada saat itu Inggris dipimpin oleh seorang raja. Kepemimpinan raja yang diktator akhirnya juga menghadirkan konflik-konflik internal antara keluarga kerajaan disatu sisi dan konflik antara kelas-kelas rakyat. Masalah agama dan politik adalah sumber konflik. Diceritakan bahkan bahwa perselisihan ini seringkali berakhir dengan pembunuhan dan isolasi.
Sampai pencerahan, konflik terjadi antara raja dan kaum bangsawan, serta antara kelas masyarakat lainnya. Para bangsawan menuntut sebuah parlemen yang memiliki kekuasaan untuk mengatur negara. Para bangsawan menentang kekuasaan absolut raja yang memiliki hak-hak sakral. Kaum Parlementaria atau "roundheads" adalah istilah yang digunakan untuk menyebut para bangsawan.67 Orang-orang yang setia kepada raja Charles I dari kelompok lain dikenal sebagai Royalis atau "cavaliers". Dua kelompok ini terlibat dalam konflik yang sengit, yang menyebabkan perang saudara tahun 1642-1646 dan 1648-1649. Kemudian, tahun 1649-1651, perang saudara ketiga terjadi antara pendukung Raja Charles II dan pendukung Parlemen yang tersisa. Kemenangan Parlementaria pada pertempuran Worcester tangga 3 September 1651 adalah akhir dari pereng ini. Akhirnya, Raja Charles I dihukum mati karena kemenangan kelompok Parlementaria, dan Raja Charles II diasingkan. Kemudian terbentuk Republik Persemakmuran di bawah pemerintahan Oliver Cromwell dari tahun 1653 hingga 1659.
Ketika Raja Charles II kembali memimpin Inggris, ia kembali memberi tekanan pada orang-orang reformis dari kelompok Parlementaria. Disaat yang sama Charles II juga menghadapi kesulitan dalam menghadapi negara-negara Eropa yang telah memproklamirkan diri untuk berperang melawan Inggris, terutama Napoleon dari Perancis dan negara-negara yang dulunya dibawah kontrol Inggris, yaitu Belanda dan Belgia. Kelompok-kelompok yang bertikai ini kemudian berpecah menjadi dua partai politik. Partai pertama, adalah partainya orang-orang revolusioner, yaitu partai Tory (Tory/Tories Party), dan yang kedua adalah partai Whings, yaitu partainya orang-orang reformis.
Kedua partai diatas terus bersengketa, disuatu masa partai Tory yang menguasai, dan dimasa yang lain partai Whings. Hingga pada masa tertentu partai Tory merubah nama partainya menjadi partai Konservatif, dan partai Wings merubah namanya menjadi partai Liberal. Orang-orang konservatif mengkritik kehidupan buruk di kota- kota, sementara orang-orang liberal mengkritik kehidupan buruk di pedesaan. Masyarakat Inggris berkembang secara bertahap hingga ke era modern dalam konteks politik yang saling mengkritik. Hume ingin meletakkan perspektif politiknya secara objektif-netral karena fakta politik seperti ini. Namun, sangat sulit untuk tidak terpengaruh hingga Hume akhirnya beralih ke partai konservatif, yang selalu bersaing dengan partai liberal.
Menurut pandangan politik partai liberal, pemerintahan terbentuk di antara rakyat daripada kontrak antara individu. Individu memiliki hak untuk memberontak atau mengambil alih pemerintah yang mengawasi kepentingan bersama. Namun, karena kecendrungan Hume pada partai konservatif, pandangan politiknya menentang pandangan ini dan menentang kebenarannya, terlepas dari keyakinan Hume akan hal ini. Hume menulis The Original Contract, yang sangat penting. Berikut adalah ringkasan dari karyanya:
Di Inggris, ada dua partai politik. Setiap partai politik mengandalkan gagasan filosofis-teoritis sebagai dasar pandangannya. Menurut konservatif, Tuhan adalah sumber negara. Partisi ini berpendapat bahwa mereka yang menentang atau mengkritik pemerintah menunjukkan bahwa mereka telah menyimpang dari rencana Tuhan. Sebagai contoh, pemerintah sangat otoriter. Karena pemerintah didirikan oleh Tuhan, rakyat tidak memiliki hak untuk menjatuhkan pemerintahan. Partai liberal berpendapat bahwa berdirinya pemerintahan bermula dari perjanjian pribadi. Jika setiap anggota individu ingin membuat kontrak bersama, mereka memilih pemimpin yang mengatur segala sesuatunya. Dengan demikian, mereka berhak untuk mengkritik dan memecat pemerintah jika tidak mencapai tujuan mereka.
Hume sangat menghargai pemerintahan yang didasarkan pada gagasan konservatif; dia bahkan menegaskan dalam artikelnya bahwa pemerintahan yang didasarkan pada gagasan konservatif adalah jenis pemerintahan yang diinginkan Tuhan. Jadi, apapun yang dilakukan pemerintah didasarkan pada kehendak Tuhan; tidak ada undang-undang yang menjatuhkan hukuman kepada pencuri atau orang yang bersalah kecuali dengan izin Tuhan.
Meskipun kontrak sosial sudah menjadi syarat yang dapat diterima, Hume menganggap pemerintahan liberal yang berbasis kontrak sosial penuh dengan masalah. Namun, kita tidak perlu mengingat hal itu karena orang-orang dipilih sebagai pemimpin (pemimpin) karena fisik dan akal mereka hampir sama.
Hume membagi kewajiban moral dalam artikelnya yang berjudul The Original Contract menjadi dua jenis. Pertama, kewajiban moral didorong oleh insting dan kecendrungan-kecendrungan natural, seperti kecintaan orang tua kepada anak-anaknya. Kedua, kewajiban moral dilaksanakan dengan keinginan untuk memenuhi semua kebutuhan sosial. Kewajiban-kewajiban seperti "keadilan", sikap tidak menzalimi kepemilikan orang lain, kepatuhan terhadap janji dan perjanjian, dan kesetiaan politik yang berasal dari pengalaman, bukan dari ide-ide bawaan, diperlukan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan sosial ini.
Berikut beberapa aspek filsafat politik David Hume yang dapat dihubungkan dengan diskursus korupsi:
- Realisme dan Empirisme:
Hume adalah seorang empiris yang menekankan pentingnya pengalaman dan observasi sebagai dasar pengetahuan manusia. Dalam konteks politik, pandangan realisnya mengakui bahwa korupsi adalah fenomena yang dapat diamati dalam kenyataan politik. Melalui observasi empiris, Hume akan mendorong kita untuk memahami korupsi sebagai fenomena sosial yang terjadi dalam konteks kehidupan politik.
- Prinsip Utilitarianisme:
Hume mengembangkan pandangan utilitarian dalam etika dan politiknya. Dalam hal ini, penilaian terhadap tindakan politik, termasuk korupsi, dapat dipahami dengan mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensinya. Dalam diskursus korupsi, Hume mungkin menilai tindakan tersebut berdasarkan dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat dan apakah korupsi tersebut memberikan manfaat atau merugikan secara keseluruhan.
- Kepercayaan Terhadap Pemerintah dan Keadilan:
Hume memiliki pandangan yang skeptis terhadap otoritas pemerintah dan keadilan. Dalam konteks korupsi, Hume mungkin melihatnya sebagai hasil dari ketidaksempurnaan manusia dan sistem pemerintahan. Skeptisisme ini dapat merangsang pemikiran kritis terhadap institusi-institusi yang rentan terhadap korupsi dan mendorong upaya untuk membangun sistem yang lebih transparan dan akuntabel.
- Kebebasan dan Kontrak Sosial:
Hume, meskipun tidak sekuat John Locke dalam mempromosikan konsep kontrak sosial, mengakui pentingnya kebebasan dan hak-hak individu. Dalam diskursus korupsi, pandangan ini dapat diterapkan dengan mengajukan pertanyaan tentang bagaimana korupsi mempengaruhi hak-hak dan kebebasan individu, serta apakah tindakan tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar kontrak sosial.
- Pandangan Terhadap Kekuasaan:
Hume memiliki pemahaman yang realistis tentang kekuasaan dan cara kekuasaan dapat disalahgunakan. Dalam konteks korupsi, pemikiran ini dapat digunakan untuk menganalisis bagaimana kekuasaan politik mungkin memicu atau memfasilitasi tindakan korupsi, serta upaya untuk mengendalikan penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam kutipan yang berjudul "David Hume berpendapat bahwa 'love of liberty' pada beberapa individu sering kali menarik penyelidik agama untuk menganiaya mereka dan dengan demikian mendorong masyarakat ke dalam keadaan 'ignorance, corruption, and bondage' (1757)." Yang ditemukan oleh Sejarah Alam Agama:
Ketika dihadapkan pada masalah penganiayaan agama dan bahkan kematian di tangan inkuisitor, Hume berpendapat bahwa "pembunuhan ilegal terhadap satu orang oleh seorang tiran lebih berbahaya daripada kematian seribu orang karena penyakit sampar, kelaparan,... bencana":
"virtue, knowledge, love of libert", adalah kualitas-kualitas yang memicu pembalasan fatal para inkuisitor; dan ketika diusir, tinggalkan masyarakat dalam ketidaktahuan, korupsi, dan perbudakan yang paling memalukan. Pembunuhan ilegal terhadap satu orang oleh seorang tiran lebih berbahaya daripada kematian seribu orang karena penyakit sampar, kelaparan, atau bencana apa pun yang tidak dapat dibedakan."
Di dunia di mana intoleransi beragama semakin meningkat, ada baiknya kita merenungkan pendapat para filsuf terkemuka seperti John Locke dan David Hume tentang masalah ini. David Hume berbicara tentang cara agama monoteistik dan politeistik menangani intoleransi dalam kutipan ini. Menurutnya, orang-orang yang menganut agama monoteistik telah menunjukkan permusuhan yang lebih besar terhadap orang-orang yang menganut agama lain, dan sebagai akibatnya, mereka telah melakukan beberapa kejahatan yang mengerikan seperti kekerasan dan pembunuhan. Ia percaya bahwa beberapa individu, karena "virtue, knowledge, love of libert" mereka telah menarik kemarahan para inkuisitor agama yang sering menganiaya atau bahkan membunuh mereka. Setelah these "lovers of liberty" dikeluarkan atau dihapus, society akhirnya berada dalam kondisi yang jauh lebih buruk, "in the most shameful ignorance, corruption, and bondage". Hume menyimpulkan, "The illegal murder of one man by a tyrant is more pernicious than the death of a thousand by pestilence, famine, or any undistinguishing calamity."
CORAK EMPIRISME FILSAFAT DAVID HUME
Pemikiran Empirisme
Dasar pemikiran empirisme dari Hume adalah sebuah pernyataan bahwa tiap pengalamannya memiliki persepsi. Ia kemudian mengembangkan gagasan bahwa pemikiran dan pengalaman dibentuk oleh serangkaian kesan. Menurut Hume, suatu pengetahuan berasal dari pengalaman yang berbentuk kesan yang telah disusun secara sistematis di dalam diri manusia. Menggabungkan rasionalisme dengan empirisme---khususnya dalam hal pengamatan dan percobaan---adalah tujuan pemikiran Hume. Hasil dari kedua metode pemahaman ini menghasilkan kesan, yang membentuk pemahaman yang membentuk pengetahuan.
Pemikiran empirisme David Hume lebih terfokus pada aspek epistemologi dan cara manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalaman. Hume berpendapat bahwa segala pengetahuan berasal dari pengalaman, dan pikiran manusia adalah produk dari impresi dan ide. Impresi adalah pengalaman langsung yang intens, sementara ide adalah representasi pikiran terhadap impresi.
Tidak ada hubungan langsung antara pemikiran empirisme Hume dan korupsi, karena korupsi adalah fenomena sosial dan politik sedangkan Hume lebih banyak membahas dasar epistemologis pengetahuan manusia. Namun, kita bisa mencoba membuat koneksi atau analogi dengan mempertimbangkan bagaimana pemahaman empiris tentang pengalaman dapat memengaruhi persepsi kita terhadap fenomena sosial seperti korupsi.
- Pengamatan dan Pengalaman: Pemikiran empiris Hume menekankan pentingnya pengalaman langsung. Dalam konteks korupsi, kita bisa berpendapat bahwa penilaian kita terhadap tingkat korupsi dalam masyarakat dapat dipengaruhi oleh pengalaman langsung atau pengamatan terhadap tindakan korupsi atau dampaknya.
- Asosiasi dan Kausalitas: Hume juga mengemukakan teori asosiasi ide dan prinsip kausalitas. Dalam konteks korupsi, kita mungkin mengasosiasikan tindakan korupsi dengan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga atau individu tertentu, atau mencari hubungan kausal antara korupsi dan dampak negatifnya pada pembangunan dan pelayanan publik.
- Kepercayaan dan Hubungan Sosial: Pemikiran Hume tentang kepercayaan dan asosiasi ide bisa diaplikasikan pada bagaimana masyarakat membentuk pandangan tentang tingkat kepercayaan terhadap pemerintahan dan institusi publik. Korupsi dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat, dan pemikiran empiris dapat membantu kita memahami bagaimana pengalaman langsung dengan korupsi memainkan peran dalam pembentukan persepsi ini.
Meskipun tidak ada hubungan langsung antara pemikiran empirisme Hume dan korupsi, tetapi konsep-konsep dasar tentang pengalaman, asosiasi ide, dan kepercayaan bisa membantu kita memahami bagaimana pandangan masyarakat terbentuk dalam konteks fenomena sosial dan politik seperti korupsi.
Empirio-kritisisme
Machisme adalah salah satu dari banyak nama empirio-kritisisme. Pandangan filsafat ini menggabungkan elemen subjektif dan idealisme. Avenarius dan Mach adalah orang pertama yang mendirikan Machisme. Ide utamanya adalah menghilangkan konsep substansi, keniscayaan, dan kausalitas dari pengertian pengalaman. Machisme menganggap pengalaman sebagai apriori. Konsep bahwa dunia adalah kumpulan jumlah elemen netral atau sensasi-sensasi dikombinasikan dengan penetapan kedudukan pengalaman ini. Gagasan lain dari George Berkeley dan David Hume dikenal sebagai machisme. Karena filosofi harus netral, pengungkapan machisme dilakukan secara tersembunyi. Jenis machisme ini juga disebut sebagai anti-metafisika.
Pemikiran empirio-kritisisme atau "Machisme" merujuk pada pandangan filosofis yang dikembangkan oleh filsuf Ernst Mach dan sejawatnya Richard Avenarius. Pemikiran ini menekankan pada pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang sah dan menolak eksistensi entitas atau realitas di luar pengalaman tersebut. Hal ini sering kali dianggap sebagai kombinasi antara sifat subjektif dan idealisme. Bagi pemikiran ini, realitas adalah konstruksi dari pengalaman individu dan tidak dapat ditemukan di luar pemikiran atau persepsi subjektif.
Hubungan antara pemikiran empirio-kritisisme atau Machisme dengan korupsi mungkin bisa dijelaskan melalui beberapa konsep atau interpretasi:
- Sifat Subjektif dan Pengalaman Individu:
Dalam konteks korupsi, pandangan yang sangat subjektif terhadap moralitas dan etika dapat muncul. Beberapa individu atau kelompok mungkin memiliki pandangan yang merelatifkan terhadap tindakan korupsi, tergantung pada konteks budaya atau nilai-nilai individu. Pandangan subjektif ini dapat memengaruhi cara masyarakat menilai dan merespon tindakan korupsi.
- Idealisme dan Pembenaran Subjektif:
Pemikiran ini menolak adanya realitas objektif di luar pengalaman subjektif. Dalam hal korupsi, pandangan idealis ini mungkin menyebabkan pembenaran subjektif terhadap tindakan korupsi oleh individu atau kelompok tertentu. Mereka mungkin merancang justifikasi yang bersifat idealis untuk membenarkan tindakan korupsi yang mungkin dianggap tidak etis oleh standar objektif.
- Kritisisme terhadap Struktur dan Institusi:
Pemikiran ini dapat memunculkan kritisisme terhadap struktur sosial dan institusi yang mungkin dianggap sebagai "konstruksi" yang dapat dirubah atau dimanipulasi sesuai dengan interpretasi subjektif. Dalam hal korupsi, hal ini bisa diartikan sebagai pembenaran terhadap tindakan korupsi dengan mengkritik atau meragukan legitimasi institusi yang menentangnya.
- Persepsi Sebagai Kenyataan:
Konsep bahwa realitas hanya dapat dipahami melalui pengalaman subjektif dapat membawa pada pemahaman bahwa persepsi terhadap tindakan korupsi mungkin dianggap sebagai kenyataan. Ini dapat memunculkan interpretasi yang bervariasi dan merelatifkan terhadap tingkat keparahan atau kesalahan tindakan korupsi.
Meskipun pemikiran empirio-kritisisme atau Machisme tidak secara langsung membahas korupsi, aspek-aspek sifat subjektif dan idealis dalam pandangan ini dapat memberikan pandangan yang berbeda dalam memahami dan merespons fenomena sosial seperti korupsi. Interpretasi tindakan korupsi dapat dipengaruhi oleh cara individu atau kelompok memahami realitas melalui lensa pengalaman dan konstruksi mental mereka sendiri.
Empirisme logis
Emprisime logis menerapkan analisis logis modern dalam pemecahan permasalahan filsafat dan persoalan ilmiah. Pemikiran empiris logis didasarkan pada tiga prinsip. Pertama dan terpenting, empirisme memiliki keterbatasan. Ketidakmampuan untuk membuktikan logika formal dan penyimpual induktif hanya dengan pengalaman merupakan salah satu dari batasan ini. Kedua, semua jenis proposisi yang benar dapat dikaitkan dengan proposisi yang berkaitan dengan data indrawi. Satu-satunya data indrawi yang dapat menerima prinsip ini adalah data indrawi yang telah ada secara instan. Ketiga, pertanyaan tentang kenyataan terdalam tidak memiliki makna.
Analisis logis modern dalam konteks pemecahan permasalahan filsafat dan persoalan ilmiah seringkali melibatkan metode matematis dan logika formal untuk mengidentifikasi dan mengklarifikasi hubungan antar konsep serta pernyataan. Dalam hal korupsi, analisis logis modern dapat memberikan pendekatan yang sistematis dan ketat untuk memahami aspek-aspek tertentu dari fenomena ini:
- Definisi yang Jelas:
Analisis logis dapat membantu dalam merumuskan definisi yang jelas dan tepat mengenai apa yang dimaksud dengan korupsi. Penggunaan logika formal dapat membantu dalam merinci elemen-elemen esensial yang melekat pada konsep korupsi dan membedakannya dari fenomena lain.
- Identifikasi Sebab-Akibat:
Dengan menggunakan analisis logis, kita dapat mencoba mengidentifikasi hubungan sebab-akibat antara berbagai faktor yang dapat menyebabkan atau mendukung korupsi. Ini dapat membantu dalam merinci rantai logis yang mungkin terlibat dalam penyebaran dan berlanjutnya tindakan korupsi.
- Modeling Sistematis:
Analisis logis dapat membantu dalam mengembangkan model-model sistematis untuk memahami dinamika korupsi dalam konteks sosial, politik, dan ekonomi. Model ini dapat membantu dalam mengidentifikasi titik intervensi dan strategi penanggulangan.
- Pemahaman Akar Masalah:
Melalui pemikiran logis, kita dapat mencoba memahami akar masalah korupsi dan mengidentifikasi apakah ada kondisi atau faktor tertentu yang mendasarinya. Ini dapat membantu dalam merancang solusi yang lebih efektif dan efisien.
- Analisis Konsekuensi:
Analisis logis juga dapat digunakan untuk memahami konsekuensi dari tindakan korupsi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini dapat membantu dalam merinci dampak sosial, ekonomi, dan politik dari korupsi.
Dalam hal ini, analisis logis dapat menjadi alat yang kuat untuk mengidentifikasi, memahami, dan mengatasi masalah korupsi. Dengan pendekatan yang lebih ketat dan sistematis, analisis logis modern dapat membantu dalam menyusun strategi penanganan yang lebih efektif dan memahami akar permasalahan korupsi.
Empirisme Radikal
Empirisme radikal merupakan aliran empirisme yang meyakini bahwa pengalaman indrawi dapat mengetahui asal dari semua pengetahuan. Semua pengetahuan yang tidak diketahui diperoleh melalui pengalaman, jadi dianggap bukan pengetahuan. Dalam filsafat, masalah kekeliruan melawan kebenaran atau kemungkinan melawan kepastian muncul sebagai hasil dari pemikiran ini. Dengan kata lain, penelitian empiris hanya memberikan pengetahuan yang tidak pasti. Namun, ide ini ditolak oleh pendukung empirisme radikal. Mereka berpendapat bahwa pernyataan-pernyataan empiris dapat diterima dan pasti hanya dalam kasus di mana tidak ada kemungkinan untuk melakukan percobaan lanjutan. Tak ada alasan untuk meragukan pengetahuan yang berasal dari pengalaman dalam situasi pengecualian ini. Dalam situasi pengecualian ini, kesan yang timbul tidak berasal dari perasaan, tetapi dari keyakinan.
Empirisme radikal, yang meyakini bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman indrawi, dapat dihubungkan dengan korupsi melalui cara kita memahami dan mengatasi fenomena sosial tersebut. Berikut adalah beberapa cara di mana hubungan tersebut dapat dijelaskan:
- Pengalaman Sebagai Sumber Pengetahuan:
Dalam kerangka empirisme radikal, pengetahuan dianggap berasal dari pengalaman indrawi. Dalam konteks korupsi, persepsi dan pemahaman kita terhadap tindakan korupsi dapat berasal dari pengalaman langsung atau informasi yang kita peroleh melalui indera. Pengalaman dengan tindakan korupsi dapat membentuk cara kita memahami dan merespons fenomena ini.
- Pengamatan Terhadap Kasus Korupsi:
Individu dan masyarakat dapat memperoleh pengetahuan tentang korupsi melalui pengamatan langsung terhadap kasus-kasus korupsi atau melalui media, laporan berita, atau sumber informasi lainnya. Pengamatan ini sesuai dengan keyakinan empirisme radikal bahwa pengetahuan kita tentang dunia sebagian besar berasal dari pengalaman indrawi.
- Persepsi terhadap Akibat Korupsi:
Pengalaman langsung atau informasi indrawi tentang akibat dari tindakan korupsi dapat memengaruhi persepsi kita terhadap dampak sosial, ekonomi, dan politik dari korupsi. Pandangan ini dapat tercermin dalam sikap masyarakat terhadap korupsi dan tingkat toleransi terhadap perilaku koruptif.
- Pengaruh Sosial dan Budaya:
Pengalaman sosial dan budaya, termasuk norma-norma yang diterima dalam masyarakat terkait dengan korupsi, dapat membentuk persepsi individu terhadap fenomena tersebut. Empirisme radikal memandang bahwa norma-norma ini dapat tercermin dalam pengalaman sehari-hari dan membentuk pengetahuan kita tentang moralitas dan etika terkait dengan tindakan korupsi.
- Penggunaan Bukti Empiris dalam Penanganan Korupsi:
Pemahaman empirisme radikal juga dapat mencerminkan pentingnya bukti empiris dan data faktual dalam memahami dan menangani korupsi. Pendekatan ini menekankan pentingnya menggunakan data dan informasi empiris untuk merancang kebijakan dan strategi penanggulangan korupsi.
Meskipun empirisme radikal sendiri lebih bersifat epistemologis daripada terfokus pada fenomena sosial, pandangan ini dapat memberikan landasan bagi pemahaman kita tentang korupsi melalui pengalaman indrawi. Dengan memahami sumber pengetahuan ini, kita dapat menggali lebih dalam dampak dan akar masalah korupsi serta merancang solusi yang lebih terinformasi.
CARA MENGIMPLEMENTASIKANNYA DI ERA SEKARANG
Menerapkan pendekatan untuk mengatasi korupsi berdasarkan prinsip-prinsip empiris, terutama dalam konteks pemikiran David Hume, memerlukan strategi dan langkah-langkah konkret yang sesuai dengan realitas era sekarang. Berikut adalah beberapa cara mengimplementasikan pendekatan tersebut di era modern:
Transparansi dan Akuntabilitas:
Langkah:
- Menerapkan sistem pelaporan dan pencatatan transparan di semua tingkatan pemerintahan.
- Mendirikan lembaga pengawas independen untuk memeriksa dan memastikan akuntabilitas keuangan dan operasional.
Rasionalisasi:
- Menggunakan teknologi untuk memberikan akses publik ke data keuangan dan keputusan pemerintah.
Pendidikan dan Kesadaran Masyarakat:
Langkah:
- Mengintegrasikan pendidikan anti-korupsi dalam kurikulum pendidikan formal.
- Menggunakan media sosial dan kampanye publik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif korupsi.
Rasionalisasi:
- Memanfaatkan platform daring untuk menyebarkan informasi dan cerita mengenai efek korupsi di masyarakat.
Partisipasi Masyarakat:
Langkah:
- Mendirikan forum partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan pengawasan proyek-proyek publik.
- Mendorong keterlibatan aktif masyarakat melalui konsultasi publik dan mekanisme umpan balik.
Rasionalisasi:
- Menggunakan teknologi seperti aplikasi seluler untuk memfasilitasi partisipasi dan umpan balik.
Penerapan Hukum dan Penegakan:
Langkah:
- Memperkuat lembaga penegak hukum dan menghindari intervensi politik dalam proses hukum.
- Memberikan perlindungan kepada para pengadu yang melaporkan tindakan korupsi.
Rasionalisasi:
- Menerapkan teknologi untuk memantau dan mendokumentasikan proses hukum, meningkatkan transparansi.
Penggunaan Teknologi dan Inovasi:
Langkah:
- Mengadopsi sistem e-government untuk mengurangi interaksi langsung dan potensi korupsi di berbagai layanan publik.
- Menerapkan teknologi kecerdasan buatan untuk mendeteksi pola korupsi dalam data keuangan dan operasional.
Rasionalisasi:
- Memanfaatkan blockchain untuk meningkatkan keamanan dan transparansi dalam transaksi keuangan.
Budaya Organisasi dan Keadilan Sosial:
Langkah:
- Membangun budaya organisasi yang menekankan integritas, etika, dan tanggung jawab.
- Mendorong kebijakan yang mendukung keadilan sosial dan pemerataan sumber daya.
Rasionalisasi:
- Melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan untuk memastikan keadilan dan representasi yang lebih baik.
Implementasi langkah-langkah ini memerlukan kolaborasi antara pemerintah, lembaga masyarakat sipil, sektor swasta, dan masyarakat umum. Selain itu, pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi secara cerdas dapat memberikan dukungan efektif dalam membangun sistem yang lebih transparan, akuntabel, dan bebas korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
Hume, David. An Enquiry Concerning Human Understanding. Edisi ke-2. Oxford University Press, Oxford, Inggris, 1975.
Wahyudi, Andi. "Pemikiran dan Filsafat Politik David Hume." Universitas Islam Negeri Sumatera Utara. andiwahyudi@gmail.com.
Saumantri, Theguh. "Metafisika Empirik dalam Pemikiran David Hume." Aqidah dan Filsafat Islam, vol. 7, no. 2, 2022, hlm. 231-244. p-ISSN: 2541-352X, e-ISSN: 2714-9420. IAIN Syekh Nurjati Cirebon, saumantri.theguh@syekhnurjati.ac.id.
https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/David_Hume
https://plato.stanford.edu/entries/hume/#CausInfeCritPhas
Basri, Seta. "David Hume dan Epistemologinya." Presentation, Januari 2019. DOI: 10.13140/RG.2.2.20020.78728. Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Sandikta.
https://britainunlimited.com/david-hume/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H