Di sebuah kota yang sibuk, di tengah keramaian yang tak pernah tidur, seorang wanita muda bernama Rina berdiri di depan kaca jendela apartemennya. Di luar, lampu-lampu kota berkelap-kelip, menciptakan suasana yang kontras dengan kesendiriannya. Rina baru saja kembali dari perjalanan panjang ke desa asalnya, sebuah desa di pinggiran yang jauh dari hiruk-pikuk kota. Namun, setelah kembali ke kota, Rina merasa seperti ada jarak yang besar antara dirinya dan kampung halamannya.
Rina lahir dan besar di desa yang tenang. Dialek yang digunakan penduduk desa sangat kental, penuh dengan nuansa tradisi dan keakraban. Namun, semenjak kuliah di kota, Rina merasa bahasa desa yang dia bawa terasa "kuno" dan tak cocok dengan dunia baru yang dia hadapi. Ia mulai menggunakan bahasa Indonesia baku yang lebih mudah dimengerti oleh teman-temannya di kampus, yang sebagian besar datang dari kota besar. Bahkan, ia mulai merasa sedikit canggung setiap kali pulang dan berbicara dalam dialek desanya.
"Rina, kok rasanya ngomong mu gitu?" tanya ibu Rina suatu hari setelah dia pulang ke rumah. "Kok kaya nggak ada rasa lagi? Kayak orang kota."
Rina tersenyum canggung. "Aku cuma nggak mau ribet, Bu. Kalau di kota, kan lebih enak ngomong yang langsung jelas. Lagian, kayaknya lebih sopan kalau ngomong pakai bahasa yang lebih 'standar', kan?"
Ibu Rina terdiam, tidak menyangka anaknya akan mengubah cara bicara hanya karena dunia baru yang ia masuki. Bagi ibu, dialek desa adalah bagian dari kehidupan yang tak bisa dipisahkan. Itu adalah cara untuk menjaga hubungan dengan leluhur, dengan sejarah, dan yang lebih penting, itu adalah cara untuk mengingat asal-usul mereka. Tapi bagi Rina, segala sesuatu yang terasa "kuno" di mata dunia luar, seperti dialek itu, tampaknya tak lagi relevan.
Bahkan di kota, Rina mulai merasa seperti orang asing di tengah keramaian. Teman-teman kuliahnya sering bercakap-cakap dengan logat yang berbeda, lebih halus, lebih cepat, dan lebih ringkas. Rina merasa lebih mudah mengerti bahasa mereka, tapi pada saat yang sama, dia mulai merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya sendiri. Dia mulai memaksakan dirinya untuk berbicara dengan cara yang berbeda, lebih mengikuti gaya bicara teman-temannya.
Suatu malam, Rina duduk di sebuah kafe bersama dua temannya, Sarah dan Lia. Mereka sedang membahas tugas kuliah yang menumpuk, namun percakapan mereka lebih banyak berfokus pada tren terbaru di media sosial, tempat wisata yang baru buka, dan gosip-gosip kota.
"Eh, Rina, kamu liburan kemarin ke mana aja sih? Kayaknya nggak update banget deh!" tanya Lia sambil menyeruput kopi.
Rina menghela napas, sedikit merasa canggung. "Ke kampung halaman, kok. Cuma ya... nggak seru-seru banget sih. Nggak ada yang baru gitu."
"Wah, gitu ya? Iya sih, kampung kan memang gitu. Cuma pemandangan sama suasana yang nggak berubah-ubah," jawab Sarah sambil tertawa, seolah menganggap hidup di desa itu membosankan.
Rina tersenyum tipis. Di dalam hatinya, ia merasa seperti ada yang hilang. Di desa, dialek itu adalah sesuatu yang berharga. Tapi kini, setiap kali ia mencoba mengingatkan dirinya untuk berbicara seperti dulu, ia merasa seolah dunia ini tidak mempedulikan hal-hal seperti itu. Di kota, cara bicara orang lebih praktis, lebih cepat, dan lebih diterima. Bahasa desa yang dahulu memberi rasa kehangatan, kini terasa seperti beban.
"Gimana sih, Rina, ngomong pake dialek kampung, kayaknya nggak cocok banget ya? Itu kan agak kuno, deh," Lia berkomentar tanpa sadar, setelah mendengar Rina menyebutkan beberapa kata dalam dialek asli desanya.
Kata-kata Lia seperti menyayat hatinya. Rina merasa seperti terjebak antara dua dunia. Di satu sisi, dia tidak bisa melepaskan dialek dan identitas yang tumbuh bersamanya di desa, namun di sisi lain, dia merasa bahasa itu tidak punya tempat di dunia kota yang cepat dan serba praktis.
Rina akhirnya memutuskan untuk berbicara lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia baku. Meskipun ia merasa aneh, ia mulai merasa lebih diterima di lingkungan sekitarnya. Ia merasa lebih mudah beradaptasi, meskipun di dalam hatinya, ada bagian dari dirinya yang semakin jauh dari kampung halamannya. Ketika dia menelepon ibunya dan berusaha berbicara dengan bahasa yang lebih "normal", ibu Rina hanya mendengus pelan. "Ya, sampean ngerti kok, Bu. Aku cuma... lebih gampang ngomongnya gini," jawab Rina, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Namun, semakin hari, Rina merasa semakin kehilangan dirinya. Bahasa yang dahulu dipakai di desa, yang penuh kehangatan, kini terasa asing. Tidak hanya bagi orang lain, tetapi juga bagi dirinya sendiri. Rina merasa seperti ada yang hilang---bukan hanya dialek, tetapi juga hubungan dengan tanah kelahirannya. Ia merasa seolah-olah semakin jauh dari akar budaya yang membesarkannya.
Pada suatu sore, ketika pulang dari kampus, Rina kembali melewati jalan yang mengarah ke kampung halaman. Tiba-tiba, ia teringat akan suara-suara riuh yang selalu terdengar saat pasar desa sedang ramai. Ia teringat ibu yang selalu memanggilnya dengan suara lembut, atau nenek yang menceritakan kisah-kisah lama menggunakan dialek yang penuh warna.
Rina berhenti sejenak, menatap ke arah desa yang tampak begitu jauh. Ia merasa ada sesuatu yang hilang, sebuah bahasa yang tidak hanya menghubungkannya dengan orang lain, tetapi juga dengan dirinya sendiri. Namun, di kota ini, dia merasa seolah dunia mengajarinya untuk berbicara dengan cara yang berbeda---untuk melupakan dialek yang dulu ia banggakan.
Rina tersenyum pahit. Mungkin, dialek itu memang sudah tak lagi diperlukan di dunia ini. Tapi, entah mengapa, ada rasa kosong yang mulai memenuhi hatinya. Rina bertanya-tanya, sampai kapan dia bisa bertahan dengan bahasa yang dia pilih, tanpa menyadari bahwa bahasa itu mungkin telah memisahkannya dari akar yang selama ini dia coba tinggalkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H