"Gimana sih, Rina, ngomong pake dialek kampung, kayaknya nggak cocok banget ya? Itu kan agak kuno, deh," Lia berkomentar tanpa sadar, setelah mendengar Rina menyebutkan beberapa kata dalam dialek asli desanya.
Kata-kata Lia seperti menyayat hatinya. Rina merasa seperti terjebak antara dua dunia. Di satu sisi, dia tidak bisa melepaskan dialek dan identitas yang tumbuh bersamanya di desa, namun di sisi lain, dia merasa bahasa itu tidak punya tempat di dunia kota yang cepat dan serba praktis.
Rina akhirnya memutuskan untuk berbicara lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia baku. Meskipun ia merasa aneh, ia mulai merasa lebih diterima di lingkungan sekitarnya. Ia merasa lebih mudah beradaptasi, meskipun di dalam hatinya, ada bagian dari dirinya yang semakin jauh dari kampung halamannya. Ketika dia menelepon ibunya dan berusaha berbicara dengan bahasa yang lebih "normal", ibu Rina hanya mendengus pelan. "Ya, sampean ngerti kok, Bu. Aku cuma... lebih gampang ngomongnya gini," jawab Rina, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Namun, semakin hari, Rina merasa semakin kehilangan dirinya. Bahasa yang dahulu dipakai di desa, yang penuh kehangatan, kini terasa asing. Tidak hanya bagi orang lain, tetapi juga bagi dirinya sendiri. Rina merasa seperti ada yang hilang---bukan hanya dialek, tetapi juga hubungan dengan tanah kelahirannya. Ia merasa seolah-olah semakin jauh dari akar budaya yang membesarkannya.
Pada suatu sore, ketika pulang dari kampus, Rina kembali melewati jalan yang mengarah ke kampung halaman. Tiba-tiba, ia teringat akan suara-suara riuh yang selalu terdengar saat pasar desa sedang ramai. Ia teringat ibu yang selalu memanggilnya dengan suara lembut, atau nenek yang menceritakan kisah-kisah lama menggunakan dialek yang penuh warna.
Rina berhenti sejenak, menatap ke arah desa yang tampak begitu jauh. Ia merasa ada sesuatu yang hilang, sebuah bahasa yang tidak hanya menghubungkannya dengan orang lain, tetapi juga dengan dirinya sendiri. Namun, di kota ini, dia merasa seolah dunia mengajarinya untuk berbicara dengan cara yang berbeda---untuk melupakan dialek yang dulu ia banggakan.
Rina tersenyum pahit. Mungkin, dialek itu memang sudah tak lagi diperlukan di dunia ini. Tapi, entah mengapa, ada rasa kosong yang mulai memenuhi hatinya. Rina bertanya-tanya, sampai kapan dia bisa bertahan dengan bahasa yang dia pilih, tanpa menyadari bahwa bahasa itu mungkin telah memisahkannya dari akar yang selama ini dia coba tinggalkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H