Mohon tunggu...
Indah Sandy Simorangkir
Indah Sandy Simorangkir Mohon Tunggu... -

Dokter umum pecinta seni.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Aku, Dokter Indonesia, yang Ingin Siap untuk BPJS

31 Maret 2014   15:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:16 2108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="545" caption="Ilustrasi Kompasiana / Shutterstock"][/caption]

Aku tidak punya jawaban untuk ini, tapi aku mau menyanyikan ini, supaya terdengar.

***

Hari ini, sembilan puluh hari setelah penyelenggaraan BPJS-Kesehatan di Indonesia. Mereka menamakannya semua kebijakan. Untuk kebaikan seluruh rakyat negara ini. Apa yang bijak? Program ini? Atau keputusan untuk melaksanakannya per 1 Januari 2014 kemarin? Yang mana yang bijak? Tulisan ini bukan untuk mencaci. Ini murni sebuah curahan hati, analisa yang ditulis dengan empati.

Bayi F, 1 tahun 2 bulan, datang ke IGD Rumah Sakit A, digendong Ibunya yang panik karena anaknya tidak lagi rewel sejak 1 hari. Dari jauh Bayi F terlihat sianosis, bibirnya biru. Bayi F sesak berat, Acute Respiratory Distress Syndrome akibat pneumonia berat. Dokter instruksi tatalaksana emergensi. Persiapan pemasangan alat-alat invasif, jalur intravena dan pemberian obat intravena. Seorang perawat dan petugas administrasi mengingatkan dokter untuk tidak bertindak gegabah karena pasien belum diketahui jaminannya apa, siapa nanti yang menanggung semua biaya tindakannya. Dokter tetap instruksi, bodo amat katanya dalam hati, yang penting pasien ini jangan sampai mati. Yang aku tangani pasiennya, bukan jaminannya. Setelah pasien di tangani, proses administrasi berjalan dan diketahui kemudian pasien ini menggunakan jaminan BPJS. Rumah Sakit A tidak memiliki fasilitas PICU (ruang rawat intensif anak) maka pasien harus dirujuk. Proses rujukan dilakukan melalui call center DKI Jakarta, 119 dengan cara melaporkan diagnosis dan kondisi pasien saat ini, lalu pihak tersebut yang akan mencarikan ruangan untuk pasien ini di Rumah Sakit manapun yang memiliki fasilitas PICU dan dijamin oleh BPJS. Sementara proses rujukan berjalan, pasien tetap berada di IGD Rumah Sakit A, dengan alat yang terbatas, masker oksigen, obat drip intravena, tanpa pulse oximetry. Apabila 119 berhasil mendapatkan Rumah Sakit rujukan maka pasien akan dijemput dengan ambulans propinsi, 118 dan diantar ke Rumah Sakit tujuan. 24 jam setelah Bayi F datang ke IGD, dia mendapatkan ruang perawatan di Rumah Sakit rujukan. 24 jam, Bayi F harus menunggu di IGD, kondisinya semakin memburuk. 24 jam, ibunya terus menangis di samping tempat tidur IGD sambil bertanya apakah dapat ruangan di RS rujukan setiap satu jam sekali. 24 jam, para petugas kesehatan Rumah Sakit A melayani dengan mencelos dalam hati.

Perih rasanya. Sangat perih.

Kasus demi kasus terjadi, Bayi F hanya satu dari sekian. Tidak semua kasus pasien jaminan BPJS dapat ditangani di Rumah Sakit A. Pasien dengan kasus berat harus dirujuk ke Rumah Sakit tipe yang lebih tinggi. Namun proses rujukan yang sangat lama menjadi masalah. Kondisi pasien semakin memburuk pada saat menanti proses rujukan, bahkan ada yang sampai meninggal sambil menunggu dapatnya ruang perawatan di Rumah Sakit rujukan. Respon balik dari 119 yang lama, meresahkan keluarga. Operator 119 dengan mudahnya menjawab “Ya silahkan ditunggu 1 sampai 2 jam untuk kabar dapat ruangan atau tidak”. Tapi, bukan 119 yang menghadapi keluarga yang panik, cemas dan takut. Kami, para petugas kesehatan pelaksana yang menghadapi mereka.

Satu bulan setelah Rumah Sakit A mengikuti pelaksanaan BPJS, dikeluarkan sebuah aturan internal, bahwa waktu pelayanan di IGD maksimal hanya 2 jam. Pasien harus sudah masuk ruang perawatan atau sudah dirujuk dalam waktu 2 jam. Aturan internal juga menjelaskan pasien yang termasuk kategori gawat darurat harus ditangani kegawatdaruratannya terlebih dahulu. Ironis. Sangat ironis. IGD Rumah Sakit A tidak memiliki defibrilator, tidak memiliki intubation-kit yang stand-by, tidak memiliki syringe pump, dan Rumah Sakit A hanya memiliki satu ambulans stand by untuk rujuk pasien kasus berat (terutama yang saat ini dirawat di HCU/ICU). Sekarang, bagaimana caranya menangani pasien maksimal dalam waktu 2 jam sudah harus naik rawat di ruangan atau dirujuk, dengan keterbatasan alat seperti ini? Proses rujukan BPJS yang seperti ini, bagaimana mungkin diwujudkan hanya dalam waktu 2 jam? Aku tidak berani menganalisa, apakah keputusan manajemen ini sedikit banyak dipengaruhi fakta bahwa klaim BPJS Rumah Sakit A selama bulan pertama ditolak. Rumah Sakit A merugi ratusan juta. Tapi, bukan pihak manajemen yang menghadapi pasien dan keluarga yang panik, cemas serta takut. Kami, para petugas kesehatan pelaksana yang menghadapi mereka

Ny.M, 65 tahun, pasien rutin kontrol ke poli jantung Rumah Sakit A, kali itu datang ke IGD diantar anaknya karena sesak berat sejak 2 hari. Ny.M memiliki riwayat penyakit Hypertensive Heart Disease dengan Coronary Artery Disease. Hari itu, kondisi Ny.M memburuk karena edema paru yang disebabkan karena Congestive Heart Failure atau Decompensatio Cordis, gagal jantung. Dokter instruksi tatalaksana emergensi. Persiapan alat invasif dan obat-obatnya. Ny.M memiliki jaminan BPJS. Kasus Ny.M harus dirawat di ruang ICU karena ancaman gagal napas, fasilitas tidak tersedia di Rumah Sakit A, sehingga harus dirujuk. Dokter menjelaskan kepada keluarga kondisi Ny.M saat ini kasus yang seharusnya dirawat di ruang intensif di rumah sakit tipe lebih tinggi. Dokter juga menjelaskan rencana tatalaksana di Rumah Sakit A hanya di IGD dengan alat seadanya sampai proses rujukan sesuai dengan alur BPJS. Keluarga Ny.M tidak bisa menahan kaget ketika dokter menjelaskan fakta-fakta tersebut. Keluarga yang panik dan cemas akhirnya memutuskan lebih baik membawa ibu mereka ke rumah sakit tipe lebih tinggi yang dapat menangani kasus ibu mereka daripada harus menunggu di IGD Rumah Sakit A dengan alat seadanya entah sampai kapan. Ny.M keluar dari IGD Rumah Sakit A dalam kondisi masih sesak berat, menuju rumah sakit pemerintah tipe B yang terletak tidak jauh dari situ, atas permintaan keluarga. Lagi-lagi kami, para petugas kesehatan Rumah Sakit A melayani dengan mencelos dalam hati, bahkan beberapa menahan air mata.

Perih rasanya. Sangat perih.

Visi BPJS-Kesehatan sangat baik. Sungguh ini opini jujur. Visi yang sangat baik. “Paling lambat 1 Januari 2019, seluruh penduduk Indonesia memiliki jaminan kesehatan nasional untuk memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatannya yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang handal, unggul dan terpercaya.” Oh, sangat ideal. Too beautiful to come true? Tidak. Aku percaya suatu hari nanti akan tiba waktunya terjadi pemerataan pelayanan kesehatan untuk seluruh penduduk Indonesia. Harus. Tidak ada lagi hanya yang punya uang yang dapat pelayanan, tapi semuanya. Indonesia akan menjadi negara maju, suatu hari nanti.

Lalu, bagaimana mewujudkan Visi ideal ini? Bagaimana pelaksanaannya? Seperti yang tertuang dalam Misi BPJS Kesehatan?

  1. Membangun kemitraan strategis dengan berbagai lembaga dan mendorong partisipasi masyarakat dalam perluasan kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

  2. Menjalankan dan memantapkan sistem jaminan pelayanan kesehatan yang efektif, efisien dan bermutu kepada peserta melalui kemitraan yang optimal dengan fasilitas kesehatan.

  3. Mengoptimalkan pengelolaan dana program jaminan sosial dan dana BPJS Kesehatan secara efektif, efisien, transparan dan akuntabel untuk mendukung kesinambungan program.

  4. Membangun BPJS Kesehatan yang efektif berlandaskan prinsip-prinsip tata kelola organisasi yang baik dan meningkatkan kompetensi pegawai untuk mencapai kinerja unggul.

  5. Mengimplementasikan dan mengembangkan sistem perencanaan dan evaluasi, kajian, manajemen mutu dan manajemen risiko atas seluruh operasionalisasi BPJS Kesehatan.
  6. Mengembangkan dan memantapkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mendukung operasionalisasi BPJS Kesehatan.

Too beautiful to come true? Tidak. Aku percaya suatu hari nanti akan tiba waktunya terjadi pemerataan pelayanan kesehatan untuk seluruh penduduk Indonesia. Harus. Tidak ada lagi hanya yang punya uang yang dapat pelayanan, tapi semuanya. Indonesia akan menjadi negara maju, suatu hari nanti.

Pertanyaan sesungguhnya adalah, apakah keputusan memberlakukan visi misi ini per 1 Januari 2014 adalah sesuatu yang bijak? Tidak. Too beautiful to come true? Iya. Kenapa? Karena tidak semuanya siap. Karena tidak semuanya jujur bahwa mereka tidak siap. Bahkan tidak semua mengerti kalau mereka tidak siap. Tidak semua petugas kesehatan, termasuk dokter sendiri, paham betul tentang BPJS Kesehatan. Kenapa? Karena tidak paham bagaimana aturan mainnya. Karena tidak peduli dan tidak mau membuka mata dan telinga untuk mengerti. Karena tidak terketuk hatinya kalau ini tujuannya adalah untuk melayani masyarakat, sesama manusia. Lantas, kenapa diberlakukan serentak per 1 Januari kemarin? Ini seperti disuruh berlari tanpa tahu caranya berjalan. Ini seperti dilempar ke air yang dalam tanpa tahu caranya berenang. Harus diginiin biar tau rasanya dan cara kerjanya? Tapi, bukan begitu caranya memperlakukan individu negara yang berniat untuk maju.

Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat mengatakan, sekitar 1.700 rumah sakit yang tersebar di Indonesia sudah siap menjalankan program BPJS kesehatan. “Dari 2.300 rumah sakit, baru 1.700-an yang join (bergabung), sudah MoU (nota kesepahaman) di seluruh Indonesia, apakah rumah sakit swasta, pemerintah, daerah.” kata Pak Menteri.

Siap? Apa kriteria siap Pak? Apakah para SDM, dokter, perawat pelaksana, tenaga medis yang lain diberikan pelatihan mengenai ini? Lalu setelah diberikan pelatihan, dinyatakan siap oleh siapa? Lembaga resmi mana yang menyatakan sebuah rumah sakit siap mumpuni menjalankan program BPJS dengan segala sumber dayanya? Bukan hanya nota kesepahaman (MoU) saja. Itu tidak cukup. Kalau dilempar lagi ke masing-masing Rumah Sakit sesuai dengan regulasi mereka, lalu dimana letak keseragamannya? Bukankah sistem BPJS ini dibuat untuk meratakan pelayanan kesehatan di seluruh Indonesia?

Siap? Apakah seluruh fasilitas gawat darurat 1700 rumah sakit yang sudah tergabung BPJS itu setara satu dengan yang lain? Siapa yang mengkualifikasi kesiapan unit gawat darurat rumah sakit? Bukankah cita-cita dilaksanakannya BPJS ini adalah penduduk mendapatkan pelayanan gawat darurat yang sama di manapun? Lalu mengapa IGD rumah sakit tipe C tidak diperlengkapi sama dengan rumah sakit tipe B atau tipe A? Kepada siapa hal ini harus ditanyakan? Siapa yang harus melengkapi unit gawat darurat rumah sakit tersebut? Pihak manajemen RS? Lho... kalau ini jadi tanggung jawab masing-masing RS setelah menandatangi MoU dengan BPJS, berarti pihak BPJS lepas tangan? Lalu, bagaimana dengan pelaksanaan misi BPJS nomor dua : Menjalankan dan memantapkan sistem jaminan pelayanan kesehatan yang efektif, efisien dan bermutu kepada peserta melalui kemitraan yang optimal dengan fasilitas kesehatan. Siapa yang menentukan sebuah fasilitas memiliki pelayanan kesehatan yang efektif, efisien dan bermutu? Karena menurut aku, tidak adanya defibrilator di ruang gawat darurat, salah satu contoh pelayanan kesehatan yang tidak efektif. Lantas kenapa pihak BPJS memperbolehkan rumah sakit ini melayani BPJS?

Siap? Lalu bagaimana dengan sistem rujukan? Apakah call center cara kerjanya seperti kasus Bayi F di atas tadi? Haruskah dia menunggu sampai dengan 24 jam? Apakah ada sebuah proses triage by phone pada call center? Bagaimana mereka menentukan prioritas pasien mana yang harus mendapatkan ruangan lebih dulu? First call first serve? Atau The more severe, the more prior​? Karena banyak yang bisa terjadi dalam waktu 24 jam menunggu. Bagaimana kalau keadaan menjadi lebih gawat dan dibutuhkan ruang rawat lebih tinggi lagi? Bagaimana kalau terjadi perbaikan sehingga dapat dirawat di ruang rawat biasa dan kebutuhan ruang rawat tinggi bisa diberikan kepada pasien lain yang membutuhkan? Kepada siapa harus dilaporkan perubahan kondisi medis ini? Apakah ada aturan untuk melaporkan ke call center setiap 1 jam? Karena itu yang aku lakukan. Untuk memberi tahu kondisi dan menanyakan kemungkinan ruangan. Aku melakukan itu karena kondisi pasien yang tidak bisa distabilkan di ruang IGD karena keterbatasan alat. Lihat kan, bagaimana semua ini berkaitan satu sama lain?

Aku mendukung visi dan misi BPJS Kesehatan untuk Indonesia yang lebih baik. Namun, aku tidak menutup mata pada kenyataannya, keputusan untuk melaksanakan secara serentak per 1 Januari 2014 kemarin adalah langkah gegabah. Langkah yang entah dengan pertimbangan apa, apakah pencitraan beberapa pihak, namun kompensasinya adalah nyawa dan kesakitan sesama manusia. Think about it. Visi dan misi BPJS Kesehatan yang ideal hanya dapat terlaksana bila seluruh sendi sistem pelayanan kesehatan Indonesia, mengerti, memahami, dan siap menjalankan program ini. Maka, pertanyaannya, sudah mengertikah kita tentang BPJS? Pahamkah kita tentang BPJS? Siapkah kita untuk pelaksanaan BPJS? Dan siapkah BPJS mengatur sistem pelayanan kesehatan yang saat ini terbentur dengan begitu banyak masalah?

It takes two to tango. Fasilitas kesehatan (termasuk dokter) yang bersedia mengikuti BPJS harus paham betul seluk-beluk dan pelayanan kesehatan sesuai alur BPJS sebelum menandatangani MoU. Pihak BPJS sendiri harus memiliki standar akreditasi atau standar kualifikasi sebuah fasilitas kesehatan dapat menyelenggarakan pelayanan atas nama BPJS atau tidak. Siapkah kita untuk BPJS? Siapkah BPJS untuk kita?

Dengan rendah hati aku mengundang para perumus kebijakan di atas sana, untuk duduk di fasilitas kesehatan satu sampai 2 hari, untuk melihat bagaimana kebijakan mereka dilaksanakan di lapangan. Dengan begitu semoga akan ada kebijakan-kebijakan teknis lain yang lebih realistis, tanpa harus mengkompromikan nilai ideal pelayanan BPJS. Dengan rendah hati aku mengundang sesama sejawat untuk membuka wawasan, membuka pandangan tentang pelayanan kesehatan dan tentang BPJS, menyikapi dengan empati bukan antipati. Ini bukan lagi hitung-hitungan bakal untung atau rugi. Tapi ini sebuah langkah kontribusi untuk menjadikan Indonesia yang lebih baik.

Aku, dokter umum, yang ingin menjadi siap, untuk Indonesia yang lebih baik.

Kamu?

***

Aku tidak punya jawaban untuk ini, tapi aku mau menyanyikan ini, supaya terdengar.

Would you care to sing it with me?

- i -

Indah Sandy Simorangkir, dokter umum paruh waktu sebuah rumah sakit swasta tipe C di pusat ibukota yang mengikuti program BPJS, yang ingin melayani dengan hati.

Kasus yang dikutip diatas merupakan pengalaman pribadi penulis dengan nama pasien disamarkan. Seluruh informasi mengenai BPJS-Kesehatan dapat ditemukan di link http://www.bpjs-kesehatan.go.id/ Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan BPJS yang memuat kriteria gawat darurat dalam diunduh melalui link ini. Semua materi sosialiasi BPJS bisa didapatkan di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun