Mohon tunggu...
Indah Sandy Simorangkir
Indah Sandy Simorangkir Mohon Tunggu... -

Dokter umum pecinta seni.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Aku, Dokter Indonesia, yang Ingin Siap untuk BPJS

31 Maret 2014   15:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:16 2108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siap? Apa kriteria siap Pak? Apakah para SDM, dokter, perawat pelaksana, tenaga medis yang lain diberikan pelatihan mengenai ini? Lalu setelah diberikan pelatihan, dinyatakan siap oleh siapa? Lembaga resmi mana yang menyatakan sebuah rumah sakit siap mumpuni menjalankan program BPJS dengan segala sumber dayanya? Bukan hanya nota kesepahaman (MoU) saja. Itu tidak cukup. Kalau dilempar lagi ke masing-masing Rumah Sakit sesuai dengan regulasi mereka, lalu dimana letak keseragamannya? Bukankah sistem BPJS ini dibuat untuk meratakan pelayanan kesehatan di seluruh Indonesia?

Siap? Apakah seluruh fasilitas gawat darurat 1700 rumah sakit yang sudah tergabung BPJS itu setara satu dengan yang lain? Siapa yang mengkualifikasi kesiapan unit gawat darurat rumah sakit? Bukankah cita-cita dilaksanakannya BPJS ini adalah penduduk mendapatkan pelayanan gawat darurat yang sama di manapun? Lalu mengapa IGD rumah sakit tipe C tidak diperlengkapi sama dengan rumah sakit tipe B atau tipe A? Kepada siapa hal ini harus ditanyakan? Siapa yang harus melengkapi unit gawat darurat rumah sakit tersebut? Pihak manajemen RS? Lho... kalau ini jadi tanggung jawab masing-masing RS setelah menandatangi MoU dengan BPJS, berarti pihak BPJS lepas tangan? Lalu, bagaimana dengan pelaksanaan misi BPJS nomor dua : Menjalankan dan memantapkan sistem jaminan pelayanan kesehatan yang efektif, efisien dan bermutu kepada peserta melalui kemitraan yang optimal dengan fasilitas kesehatan. Siapa yang menentukan sebuah fasilitas memiliki pelayanan kesehatan yang efektif, efisien dan bermutu? Karena menurut aku, tidak adanya defibrilator di ruang gawat darurat, salah satu contoh pelayanan kesehatan yang tidak efektif. Lantas kenapa pihak BPJS memperbolehkan rumah sakit ini melayani BPJS?

Siap? Lalu bagaimana dengan sistem rujukan? Apakah call center cara kerjanya seperti kasus Bayi F di atas tadi? Haruskah dia menunggu sampai dengan 24 jam? Apakah ada sebuah proses triage by phone pada call center? Bagaimana mereka menentukan prioritas pasien mana yang harus mendapatkan ruangan lebih dulu? First call first serve? Atau The more severe, the more prior​? Karena banyak yang bisa terjadi dalam waktu 24 jam menunggu. Bagaimana kalau keadaan menjadi lebih gawat dan dibutuhkan ruang rawat lebih tinggi lagi? Bagaimana kalau terjadi perbaikan sehingga dapat dirawat di ruang rawat biasa dan kebutuhan ruang rawat tinggi bisa diberikan kepada pasien lain yang membutuhkan? Kepada siapa harus dilaporkan perubahan kondisi medis ini? Apakah ada aturan untuk melaporkan ke call center setiap 1 jam? Karena itu yang aku lakukan. Untuk memberi tahu kondisi dan menanyakan kemungkinan ruangan. Aku melakukan itu karena kondisi pasien yang tidak bisa distabilkan di ruang IGD karena keterbatasan alat. Lihat kan, bagaimana semua ini berkaitan satu sama lain?

Aku mendukung visi dan misi BPJS Kesehatan untuk Indonesia yang lebih baik. Namun, aku tidak menutup mata pada kenyataannya, keputusan untuk melaksanakan secara serentak per 1 Januari 2014 kemarin adalah langkah gegabah. Langkah yang entah dengan pertimbangan apa, apakah pencitraan beberapa pihak, namun kompensasinya adalah nyawa dan kesakitan sesama manusia. Think about it. Visi dan misi BPJS Kesehatan yang ideal hanya dapat terlaksana bila seluruh sendi sistem pelayanan kesehatan Indonesia, mengerti, memahami, dan siap menjalankan program ini. Maka, pertanyaannya, sudah mengertikah kita tentang BPJS? Pahamkah kita tentang BPJS? Siapkah kita untuk pelaksanaan BPJS? Dan siapkah BPJS mengatur sistem pelayanan kesehatan yang saat ini terbentur dengan begitu banyak masalah?

It takes two to tango. Fasilitas kesehatan (termasuk dokter) yang bersedia mengikuti BPJS harus paham betul seluk-beluk dan pelayanan kesehatan sesuai alur BPJS sebelum menandatangani MoU. Pihak BPJS sendiri harus memiliki standar akreditasi atau standar kualifikasi sebuah fasilitas kesehatan dapat menyelenggarakan pelayanan atas nama BPJS atau tidak. Siapkah kita untuk BPJS? Siapkah BPJS untuk kita?

Dengan rendah hati aku mengundang para perumus kebijakan di atas sana, untuk duduk di fasilitas kesehatan satu sampai 2 hari, untuk melihat bagaimana kebijakan mereka dilaksanakan di lapangan. Dengan begitu semoga akan ada kebijakan-kebijakan teknis lain yang lebih realistis, tanpa harus mengkompromikan nilai ideal pelayanan BPJS. Dengan rendah hati aku mengundang sesama sejawat untuk membuka wawasan, membuka pandangan tentang pelayanan kesehatan dan tentang BPJS, menyikapi dengan empati bukan antipati. Ini bukan lagi hitung-hitungan bakal untung atau rugi. Tapi ini sebuah langkah kontribusi untuk menjadikan Indonesia yang lebih baik.

Aku, dokter umum, yang ingin menjadi siap, untuk Indonesia yang lebih baik.

Kamu?

***

Aku tidak punya jawaban untuk ini, tapi aku mau menyanyikan ini, supaya terdengar.

Would you care to sing it with me?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun