Dear Kompasianers dan pembaca yang budiman, ...
Sebagai orang tua yang hidup di zaman digital, kedua suami dan istri bekerja dengan jam kerja delapan jam sehari, pulang ke rumah dalam kondisi capai dan ingin rebahan - tentunya tetap tidak boleh lalai dalam menjalankan tanggung jawab sebagai orang tua. Tidak hanya kebutuhan pokok anak yang harus dipenuhi dalam artian materi - yang kita usahakan selalu terpenuhi dengan bekerja - namun kebutuhan rohani anak juga harus terpenuhi.
Jika kita menyerah pada rasa capai, pulang kantor hanya rebahan pegang hape, di sisi lain anak juga melakukan hal yang sama di kamar masing-masing - mau jadi keluarga macam apa kita nanti?
Sudah banyak postingan di media sosial menyoroti kelakukan Gen-Z. Biasanya dalam bentuk video parodi membandingkan anak gen-old dan gen-Z. Misal saat ibu sedang menyapu, anak gen-Z yang sedang berbaring di sofa hanya akan bergerak sedikit memperbaiki posisinya atau mengangkat kakinya dengan gesture tidak peduli; sementara anak gen-old akan buru-buru bangun dan mengambil alih sapu ibunya.
Mungkin anak-anak zaman dahulu juga ada yang cuek, namun dulu belum ada media sosial - sehingga tingkah non empati terhadap ibu  seperti itu tidak ada rekam jejaknya. Secara umum yang terjadi adalah - sering sekali mendengarkan keluhan sesama orang tua yang anaknya sudah ABG - memang ABG agak susah dimintai tolong, cenderung abai dengan pekerjaan rumah tangga, dan suka sekali bermain games menggunakan gadget.
Ciri-ciri itu ada semua di anak-anak saya. Bagaimanapun mereka memang hidup di zaman digital yang banyak godaan visual. Tapi tidak boleh menyerah, sedikit demi sedikit anak harus diajari untuk mengerti etika dan menjadi lebih aware pada sekitarnya.
Pada artikel ini saya akan berbagi tips mengajarkan tanggung jawab untuk anak laki-laki.
Anak saya laki-laki 16 tahun, kelas 1 SMA. Dia sehari-hari mendekam di kamarnya di lantai atas, bermain games di gadget. Saya kadang harus berteriak menggunakan suara agak kencang untuk memanggilnya turun entah untuk makan atau mengingatkan salat.Â
Saya memikirkan cara yang tepat untuk membuat dia lebih baik, langkah pertama targetnya adalah dengan memberinya tanggung jawab.Â
1. Prinsip mendoktrin atau mengajari anak sesuatu adalah dengan mengulang-ulangi ajaran tersebut.Â
Saya sering menyampaikan hal-hal normatif pada saat kami sedang makan di meja makan. Yang sering saya ucapkan adalah sebagai laki-laki, dialah kelak yang harus menjaga adik dan kakaknya. Selain itu saya sampaikan juga bahwa kelak jika berumah tangga, dia harus mau berbagi tugas domestik dengan istrinya.Â
Anak saya hanya diam saja mendengar saya berbicara. Mungkin pikirnya gabut ini mama ngomong rumah tangga pada dia yang baru 16. Tapi itu nggak papa, supaya tertanam di benaknya bahwa berbagi peran dalam rumah tangga adalah hal yang wajar. Untungnya suami saya juga melakukan pekerjaan rumah tangga, jadi contoh konkret ada di depan mata.
2. Menjemput adik pulang sekolah
Saya dan suami biasanya akan menjemput si bungsu pulang sekolah pada sore hari. Kami sama-sama pulang jam empat, sehingga si bungsu harus menunggu kami pulang kantor untuk menjemputnya.
Pada kondisi tertentu kami rapat sampai sore, tentunya kasihan si bungsu kalau harus menunggu lama. Dalam kondisi demikian, anak laki-laki sayalah yang menjemput adiknya.
3. Mengunci pagar saat papa tidak di rumah
Saya terpikir untuk mengajari anak saya satu tanggungjawab lagi saat suami dinas luar kota. Saya katakan, "Nak, kalau papa pergi, kamulah yang bertanggungjawab terhadap keamanan rumah, karena kamu laki-laki. Setiap selesai makan malam, tugasmu adalah mengunci pintu pagar." Alhamdulillah itu dilakukannya dengan senang hati.
Ini hal yang agak sulit. Sering saya ingatkan untuk membersihkan kamar, tapi tidak pernah dia lakukan secara holistik. Paling-paling hanya mengembalikan piring dan mangkok yang sudah dia gunakan dan bawa ke kamarnya di lantai 2.
Untuk menjaga kebersihan kamar, kadang dia masih saya mandori. Itu disimpan yang baik, yang itu disusun, yang itu dimasukkan tempat sampah, dan lain-lain. Kadang juga saya sodorkan sapu dan pel agar dia menyapu kamarnya.Â
Untungnya dia sudah bisa memasang sprei sendiri dan secara rutin mengganti spreinya. Sukarela? Tidak juga, kadang saya ingatkan...spreimu sudah waktunya ganti sepertinya. Kalau dia setuju, dia akan mencari sendiri sprei bersih di lemari lalu mengganti sprei sendiri. Alahmdulillah.
5. Yang tidak boleh lupa: Mendoakannya.
Kita harus percaya bahwa Allah itu maha membolak-balikkan hati. Semua orang bisa berubah semudah membalikkan telapan tangan, asal Allah ridha. Jadi jika anak-anak masih malas atau tidak mau mendengar nasihat orang tua, doakanlah mereka.Â
Doakan anak-anak kita supaya dilembutkan hatinya, supaya menjadi anak yang mandiri, supaya menjadi anak yang taat pada agama, supaya diringankan tangan dan kakinya membantu orang tua, supaya mendapat jodoh yang baik, supaya sukses dunia dan akhiratnya, aamiin...yra.
Demikian sharing dari saya, semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H