Mohon tunggu...
Indah Novita Dewi
Indah Novita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Hobi menulis dan membaca.

PNS dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Nilai Rapor Didongkrak untuk Jalur Prestasi, Jarak Rumah Direkayasa untuk Jalur Zonasi, Ayo, Pakai Sistem yang Fair untuk Kurangi Manipulasi

21 Juli 2024   18:28 Diperbarui: 21 Juli 2024   18:47 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nilai rapor yang didongkrak, bukan hal baru

Sejumlah 51 siswa lulusan SMP di Kota Depok yang sudah diterima di 8 SMA Negeri, akhirnya digugurkan penerimaannya. Mereka dicoret dari daftar karena ditengarai sudah dipalsukan nilai rapornya oleh pihak SMP-nya. Kecurigaan timbul karena nilai rapor mereka melonjak tinggi di semester terakhir. Kasus ini masih diselidiki pihak berwenang di Kota Depok. Demikian berita yang viral dari sektor pendidikan belum lama ini.

Kisah nilai rapor yang didongkrak ini sebenarnya bukan hal yang baru. Saya teringat tahun 1990-an saat kakak saya masuk perguruan tinggi. Ia ngomel-ngomel bercerita tentang temannya yang nilai rapor SMA-nya didongkrak agar dapat diterima di perguruan tinggi melalui jalur PMDK (jalur bebas tes waktu itu).

"Bagaimana kamu tahu kalau nilainya didongkrak?" tanya saya.

"Lha dia cerita sendiri! Aku heran, dia masuk jalur PMDK, tapi kok bego. Pantes, rupanya nilai-nilainya didongkrak!"

Wajar kalau kakak saya misuh-misuh. Pasalnya ia tidak lolos PMDK dengan nilai rapor bagus (tapi tanpa dongkrak). Ternyata ada hak dia yang dicurangi oknum-oknum yang suka main dongkrak antik itu.

Sebenarnya nilai yang didongkrak untuk level SMA -- walaupun tidak dapat dibenarkan -- masih dapat saya terima. Mungkin ini juga didorong kebutuhan SMA yang bersangkutan untuk dikenal, menaikkan nilai jual sebagai SMA yang meluluskan siswa-siswi berprestasi yang diterima di perguruan tinggi negeri.

Tapi kalau di jenjang SMP sudah ada dongkrak-dongkrakan, sangat berlebihan sekali menurut saya. Katakanlah seorang siswa didongkrak nilainya untuk dapat masuk di SMA favorit, lalu dengan tingkat kecerdasan otaknya yang tidak otomatis terdongkrak, apakah ia bisa berkompetisi dengan siswa-siswi lain yang benar-benar cerdas dari lahir?

Atau apakah pihak-pihak terkait nantinya akan kembali mendongkrak nilai siswa tersebut agar lolos di perguruan tinggi negeri? Miris. Kalau hanya sekadar nilai dongkrakan, baring-baring saja di rumah tidak usah ikut kegiatan belajar mengajar di sekolah. Toh, nanti akan selamat karena dongkrak antik maha sakti.

Jalur zonasi tak luput dari rekayasa

Ricuhnya jalur prestasi, diikuti dengan keruwetan yang sama di jalur zonasi. Seharusnya dalam komunitas masyarakat yang menjunjung nilai-nilai Pancasila adil dan beradab, jalur zonasi ini dapat dilakukan dengan aman. Namun kenyataannya, ada juga orang tua siswa dengan dibantu pihak-pihak tertentu yang menggeser titik koordinat tempat tinggalnya sehingga menjadi lebih dekat dengan sekolah tujuan.

Jangan tanya saya tahu dari mana, yang jelas kisah-kisah seperti ini banyak terdengar tiap PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) di sekolah.

Sama seperti pada jalur prestasi, kecurangan di jalur zonasi seperti ini, menyebabkan terhalangnya kesempatan siswa-siswi yang seharusnya lebih berhak masuk di SMP atau SMA tujuan.

Anak-anak butuh dipercaya dan didukung kejujurannya

Sebenarnya apa yang didapat dengan memalsu nilai rapor ataupun memalsu titik koordinat tempat tinggal? Tujuan tercapai. Dapat sekolah di sekolah pilihan. Yang penting anakku lolos, peduli amat dengan anak orang lain yang sebenarnya lebih berhak sekolah di sana.

Begitukah?

Wahai orang tua, guru, ataupun pihak mana saja yang terkait dengan semua rekayasa tersebut. Saya bukan malaikat, saya juga banyak dosa. Tapi pernahkan terpikir di kepala kita, untuk tidak meracuni anak-anak kita dengan dosa kita orang-orang dewasa?

Mungkin kita dalam sistem manajemen pekerjaan kita, telah dipaksa untuk berbuat kecurangan kecil-kecilan. Kita bisa memasang tampang tak bersalah dan menyalahkan sistem. Tapi apakah anak-anak kita harus mengalami dosa berjamaah yang terlalu dini?

Contoh ilustrasi percakapan di bawah ini:

"Nak, tenang saja, nanti mama atur supaya kamu masuk di SMA itu."

"Tapi, Ma. Kawanku yang rumahnya lebih dekat dengan SMA itu saja tidak diterima. Apalagi aku?"

"Ada caranya. Sudah, kamu diam saja, serahkan semuanya pada mama."

Alih-alih tercipta dialog seperti itu, mengapa orang tua tidak mendukung anaknya dengan mengatakan:

"Nak, kamu tidak bisa masuk SMA itu, karena jarak rumah kita terlalu jauh, dan prestasimu juga tidak mencukupi. Tapi ada SMA yang lain, menurut mama SMA itu juga bagus. Kita coba untuk mendaftar ke sana."

Sekolah di manapun, seorang anak akan tetap menyala dan bersinar, jika ia mengoptimalkan potensi dirinya ditambah dengan dukungan orang tua, guru dan lingkungan.

Mari pakai kembali sistem yang lebih fair

Kecurangan janganlah menjadi hal yang dimaklumi dan dilakukan dengan santai seolah merupakan hal yang wajar. Wahai para pemimpin bangsa, yuk, sama-sama kita memikirkan solusi yang terbaik untuk kemurnian generasi.

Menurut saya, sistem tes masuk dapat menjadi alternatif untuk penerimaan siswa baru di sekolah. Sekolah-sekolah swasta justru sudah melakukan sistem tes ini selama bertahun-tahun, walaupun tujuannya untuk assessment siswa. Untuk mendapatkan siswa-siswi berpotensi, saya pikir para pendidik juga setuju masuk SMP atau SMA memakai sistem tes.

Kalaupun tidak mau pakai tes, bisa dengan menghidupkan lagi ujian nasional atau ebtanas (Evaluasi Belajar Tingkat Akhir Nasional). Nilai Ebtanas Murni-lah yang menjadi patokan siswa-siswi SD atau SMP diterima di SMP atau SMA tujuan. Nilai Ebtanas Murni ini tentu berbeda dengan nilai rapor karena merupakan nilai hasil satu kali tes, dan bukan nilai rata-rata dari akumulasi kegiatan belajar mengajar selama satu semester.

Setiap sistem yang dipakai pasti ada plus minusnya. Dan juga selalu ada celah untuk berbuat yang tidak benar. Tapi sekali lagi, biarkanlah anak-anak tetap murni dalam kejujuran mereka. Tanamkan bahwa tidak ada siswa bodoh, yang ada hanyalah siswa yang kurang berusaha. Nilai rendah itu tak apa-apa, yang penting ada keinginan berusaha untuk meningkatkannya dengan usaha keras belajar.

Sekolah di manapun tak masalah, karena bukan sekolah yang dapat menentukan nilai kecerdasan mereka, melainkan apa yang ada di dalam diri merekalah yang dapat mendorong mereka untuk belajar secara optimal dan meraih keberhasilan.

Jangan ajarkan kepada anak-anak bahwa rekayasa itu biasa. Biarkanlah mereka hanya tahu belajar dan belajar. Biarkan mereka sepolos kertas. Pada waktunya nanti mereka akan belajar sendiri bagaimana mereka akan hidup sebagai manusia dewasa.

Mungkin mereka akan berhadapan dengan banyak kecurangan, namun saat itu mental mereka sudah lebih kuat. Mereka bisa memilih apakah mereka akan ikut arus sistem atau berjuang melawan arus demi idealitas.**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun