Seorang teman yang baru saja pindah ke sebuah kantor di Jawa, mengirim pesan text. Ia bercerita tentang kantornya yang baru, khususnya tentang ruangannya, tempat ia bekerja.
"Di sini orang tidak punya tempat duduk khusus. Di mana ada kursi ya di situ duduk. Kecuali bos dan kepala seksi, mereka punya ruangan sendiri."
"Lalu segala 'kemewahan' di kantor kita, sudah tidak kamu rasakan lagi, dong? Loker... meja tambahan... lemari...?"Â gurau saya.
"Hahha... tidak ada begitu-begitu, Mbak. Kalau ngantor, tidak ada barangku yang kutinggal di kantor karena tidak ada loker atau laci."
"Wah, serasa jadi pegawai BRIN, dong," gurau saya lagi.
Seperti pernah saya kisahkan, kantor saya dulu adalah kantor litbang kehutanan. Setelah ada institusi BRIN, kantor berubah menjadi BPSI.
Sebagian peneliti memilih tetap menjadi peneliti dan pindah bekerja di bawah institusi BRIN, sebagian lainnya melakukan alih jabatan fungsional dan tetap bekerja di bawah Kementerian LHK.
Teman-teman di BRIN bekerja dengan sistem WFA (Work From Anywhere). Hanya pada saat-saat tertentu mereka ngantor di kantor BRIN terdekat atau di CWS (Co-working Space).
Konsekuensinya, tidak ada kursi dan meja khusus yang mereka tempati. Mereka bekerja membawa alat kerja seperti laptop atau buku, duduk di kursi dan meja yang disediakan untuk umum pada kantor BRIN terdekat/CWS, lalu pulang membawa lagi semua barang-barangnya. Sama seperti jika kita bekerja di perpustakaan umum atau ruang publik lainnya.
Di kantor saya yang merupakan kantor tua, meja dan kursi seolah sudah menjadi milik pribadi masing-masing pegawai yang akan ditinggalkan hanya jika pensiun nanti.