Mohon tunggu...
Indah Novita Dewi
Indah Novita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Hobi menulis dan membaca.

PNS dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

S. Mara Gd, Penulis Novel Misteri yang Terinspirasi Karya-Karya Agatha Christie

2 Juli 2024   21:11 Diperbarui: 3 Juli 2024   17:18 864
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
S. Mara Gd Menulis Trilogi Misteri Terakhir (Sumber foto: dokumentasi pribadi)

Tahukah Anda siapa S. Mara Gd? Pasti Anda tahu, beliau adalah salah satu novelis Indonesia asal Surabaya yang cukup terkenal. Dulu, saya mengira bahwa S. Mara Gd ini adalah seorang lelaki. Ternyata beliau adalah seorang perempuan etnis Tionghoa bertubuh mungil yang sangat aktif dan enerjik. 

Izinkan dalam artikel ini saya akan menyebutnya bu Mara.

Saya bukan penggemar novel-novel bu Mara. Saat novel-novelnya ramai menghiasi rak buku di Gramedia sekitar tahun 90-an, saya lebih memilih untuk membaca novel-novel misteri karya Agatha Christie.

Uniknya saat itu baik novel karya bu Mara dan novel Agatha sama-sama berkover dengan background hitam. Saya tidak sadar bahwa saat saya membaca novel-novel Agatha Christie, saya secara tidak langsung juga membaca hasil pikiran bu Mara. 

Mengapa demikian? Karena ternyata bu Mara dulunya adalah penerjemah novel-novel Agatha Christie. 

Dikisahkan dalam berita online, bahwa bu Mara terinspirasi oleh novel-novel Agatha yang ia terjemahkan, sehingga kemudian beliau juga menulis novel misteri dengan gaya yang mirip.

Novel-novel misteri karya bu Mara biasanya juga bercerita tentang pembunuhan, dan di akhir cerita, sang tokoh detektif akan membuka tabir misteri sekaligus menunjuk siapa dalang pembunuhan dalam cerita.

 Seperti Agatha yang memiliki tokoh detektif yang sering ia munculkan dalam novel-novelnya, contohnya Hercule Poirot dan Miss Marple; bu Mara juga punya tokoh rekaannya sendiri.

Tokoh yang diciptakan bu Mara adalah sepasang detektif yaitu Kosasih dan sahabatnya, Gozali. 

Pada serial yang lain ada pula pasangan kekasih Daud Hakim dan Trista. Bu Mara yang orang Surabaya, sering menggunakan setting Surabaya dan kadang-kadang memasukkan dialog Suroboyoan dalam kisah novelnya.

Dalam serial yang tokoh detektifnya Kosasih dan Gozali, bu Mara menciptakan kisah bahwa Gozali ini menjalin hubungan cinta dengan Dessy, anak Kosasih.

Seperti saya sudah jelaskan di awal artikel, saya bukan penggemar novel-novel bu Mara. 

Qodarullah, saya berteman dengan beliau di Facebook. Bukan berteman yang bagaimana sih, kebetulan saya melihat beliau memiliki akun Facebook, lalu saya meminta pertemanan dan diterima. 

Yah, walaupun tidak pernah membaca novelnya, saya paham akan nama besar beliau, dan ingin tahu kesehariannya.

Waktu itu sekitar tahun 2017-2018 an sepertinya, saya menangkap bahwa bu Mara sudah lama vakum menulis. Postingannya jarang tentang novel, malah lebih banyak tentang pengalaman rohani beliau yang seorang Kristen Advent. Kadang beliau bercerita tentang kesehatan. 

Singkatnya saya suka status-status beliau walau beda keyakinan.

Mengapa saya tahu beliau vakum menulis, karena sesekali ada pembaca novelnya komen dan memintanya menulis lagi. 

Ada juga yang bertanya, bagaimana kelanjutan hubungan Dessy dan Gozali? Saya yang sering membaca pertanyaan macam ini di akun beliau, akhirnya jadi penasaran juga dengan kisah Dessy dan Gozali. 

Beberapa kali bu Mara menjawab bahwa beliau sudah berhenti menulis.

Lalu saya sempat kehilangan kontak, karena akun Facebook yang berteman dengan bu Mara saya deaktifkan karena sesuatu hal. Tahun lalu karena melihat akun beliau lewat di beranda, saya beranikan diri meminta pertemanan lagi, dan diterima. 

Saya lihat bahwa beliau akhirnya memenuhi permintaan penggemarnya! Beliau menulis kisah pamungkas (karena di akhir novel ada ucapan pamitnya), sebuah misteri pembunuhan di hotel yang dikuak oleh pasangan detektif Kosasih dan Gozali. 

Dalam novel pamungkasnya ini, bu Mara selain menunjukkan kembali kepiawaian beliau mengolah kata, juga memberikan hal yang diinginkan penggemar, yaitu ending hubungan Dessy dan Gozali.

Novel yang  diterbitkan Gramedia tahun 2020 ini terdiri dari tiga buku, berjudul Misteri Terakhir. 

Dan karena terpengaruh oleh antusiasme penggemar beliau, serta karena rasa kekaguman saya terhadap beliau, ditambah penasaran, sayapun membeli trilogi Misteri Terakhir di awal 2024. Saya cukup terkesan dengan cara beliau menulis novel.

Saya tidak tahu apakah novel-novel beliau sebelumnya juga sama, namun dalam Misteri Terakhir, saya melihat ada upaya bu Mara untuk mengenalkan Advent kepada pembaca. 

Bukan dalam arti memaksakan sebuah ajaran agama, namun merepresentasikan hal itu pada Bambang, anak sulung Kosasih yang bekerja di Bali dan kemudian tertarik mempelajari Advent.

Tapi nggak usah khawatir membaca novel ini, saya muslim dan saya menerima kisah pelajaran Advent itu hanya sebagai informasi mengenai agama selain Islam. Saya cukup terkesan, paham, dan justru dari novel tersebut saya juga jadi paham perbedaan prinsipalnya dengan Islam itu sebenarnya di mana. 

Mau tahu juga? Baca saja novelnya, hehe.

Terakhir, yang bisa saya pelajari dari sosok penulis besar seperti bu Mara adalah: Mempelajari sesuatu, menyukai sesuatu itu harus secara komprehensif. Setelah paham dan meyakini, lalu amalkan untuk duniamu sendiri. 

Dalam hal ini maksud saya adalah pergelutan panjang masa-masa di mana beliau menerjemahkan novel Agatha, saya pikir bukan asal menerjemahkan saja. 

Sambil menerjemahkan, bu Mara menyerap pelajaran menulis novel dari Agatha Christie, bagaimana membuat karakter tokoh yang tak terlupakan, membuat alur dan plot yang tak terduga, serta membuat twist ending yang mencengangkan.

Sungguh, saya membaca Misteri Terakhir sudah mencurigai seseorang pada buku kedua. Kecurigaan mengarah hanya ke orang tersebut. 

Di buku ketiga, dugaan pada orang tertentu itu memudar menjadi ke dua orang, lalu bu Mara menutup ending dengan menunjuk pembunuhnya adalah orang yang semula sangat kita ragukan bahwa dialah sang pembunuh. 

Tapi jika menelaah kembali dari awal, sebetulnya clue-clue bahwa si pembunuh ini memang raja tega, sudah muncul di beberapa bagian, hanya saja bu Mara dengan lincah memanipulasi pembaca lagi untuk galau dengan kecurigaannya.

Bu Mara telah menjadi seorang pembelajar otodidak yang sangat cerdas. Beliau bisa menulis sebagus Agatha Christie, menjual novel selaris Agatha, tanpa harus menjiplak mentah-mentah gaya Agatha. 

Beliau sudah menambahkan rasa lokal dengan rasa Surabaya, sehingga meskipun dulu novelnya berkover hitam seperti novel Agatha, isinya beda. 

Ada unsur originalitas yang dibubuhkan bu Mara. Unsur yang membuat pembacanya paham bahwa sebuah novel adalah karya bu Mara, tanpa harus membaca nama penulis di kovernya.

Dengan kemauan yang kuat dan kerja keras, kita semua bisa menjadi apa yang kita inginkan. Salam literasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun