Mohon tunggu...
Indah Novita Dewi
Indah Novita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Hobi menulis dan membaca.

PNS dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Salat Ied sebagai Sarana Perputaran Roda Ekonomi Skala Lokal

17 Juni 2024   22:25 Diperbarui: 20 Juni 2024   23:29 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Salat Ied (Sumber: Pexels/Rayn L)

Umat Islam di seluruh dunia baru-baru saja merayakan hari raya Iduladha dan melaksanakan ibadah salat Ied baik di masjid maupun di lapangan atau area terbuka di dekat tempat tinggal.

Hampir mirip dengan pelaksanaan salat Idul Fitri, beberapa jamaah di tempat saya salat, terlihat memakai busana kembar. Dari lokasi saya duduk menunggu saat salat dimulai, saya melihat tiga bersaudara dengan baju biru dan jilbab kelabu, lalu tak jauh ada tiga orang -- ibu dan dua anaknya, memakai baju putih dan jilbab cokelat.

Tapi saya tidak hendak berbicara mengenai baju. Saya hendak mengulas bagaimana kegiatan ibadah seperti salat Ied dapat menjadi sarana perputaran roda ekonomi skala lokal.

Sejak beberapa tahun terakhir saya memang melihat pemandangan yang menarik tiap melaksanakan salat Ied. Pemandangan menarik itu adalah: tak jarang Doraemon ikut salat Ied. Kadang-kadang juga Upin-Ipin, atau Spongebob, hahaha.

Betul tebakan Anda, yang saya maksud adalah Doraemon, Upin-Ipin, dan Spongebob dalam bentuk balon karakter.

Penjual balon telah paham dan pandai memanfaatkan momen lebaran, untuk melariskan jualan. Mungkin iseng-iseng berhadiah. Sambil sekalian salat, sekalian memarkir jualan di pintu masuk.

Pelanggan mereka yang nota bene anak-anak kecil, memang sangat ramai jadi jamaah salat Ied. Mulai dari yang anteng sampai yang kalau tiap tiba waktunya salat menjerit-jerit seolah tak rela emaknya menunjukkan rasa cinta pada sang pencipta.

Yang menjerit-jerit ini biasanya sasaran target si penjual balon. Kalau si kecil memegang tali balon di tangannya, insyaAllah aman sampai usai salat emaknya tidak diganggu.

Anak-anak yang membeli balon ini memang cukup banyak, sehingga di sana-sini di antara jamaah perempuan, nongollah Spongebob yang berwajah konyol, Upin-Ipin yang selalu riang, dan Doraemon yang cerdas, menemani gema takbir.

Sebenarnya membawa dagangan itu termasuk gambling, karena saya yakin tidak semua emak-emak membawa uang lebih di dompet. Seperti saya hanya membawa uang secukupnya untuk infak. Apalagi anak-anak saya juga sudah besar-besar, tidak mungkin tiba-tiba merengek meminta balon.

Namun di sisi lain, kemungkinan karena selalu berulang tiap tahun, emak-emak dengan anak balita kemungkinan sudah menyiapkan sejumlah uang untuk membeli balon. Bahkan, mungkin ada yang berpikiran: "Alhamdulillah ada penjual balon. Berkat mereka salatku bisa khusyuk, karena anakku sibuk dengan balonnya."

Namun sebagian yang lain mungkin kesal dengan adanya balon-balon di pintu masuk lapangan. Seperti yang Nina ucapkan sewaktu saya mengambil gambar balon dan berkata mau bikin konten tulisan dengan foto tersebut.

Kata Nina begini, "Mau nulis tentang apanya, Ma? Balon musuh ibu-ibu?"

Hahaha, kalau seperti itu, posisi balon di pintu masuk itu analog dengan Kinderjoy di meja kasir toko retail. Musuh emak-emak betulan itu, dan saya pun pernah menjadi musuhnya.

Kembali ke balon, ternyata bukan hanya penjual balon yang pandai memanfaatkan momen salat Ied, namun langkahnya kali ini ditiru oleh penjual kokek-kokek.

Penjual balon dan penjual kokek-kokek (Sumber: dokpri)
Penjual balon dan penjual kokek-kokek (Sumber: dokpri)

Jangan bingung dulu, kalau di Makassar, ada biasa sepeda motor lewat membawa dagangan segala macam tersedia termasuk mainan. Sambil lewat biasa dia membunyikan balon/klakson berbunyi 'kokek-kokek', makanya disebut penjual kokek-kokek. Di Jawa ada juga ini tapi tidak disebut kokek-kokek, mungkin disebut sesuai dengan pelafalan daerah. Kalau saya dulu nyebutnya penjual 'Titet-titet'.

Nah, penjual kokek-kokek ternyata juga memarkir dagangannya dengan manis di pintu masuk lapangan. Lumayanlah, karena jual sandal juga, siapa tahu ada yang tiba-tiba sandalnya jebat alias rusak, bisa langsung beli. Atau mau jepit rambut juga ada. Segala macam sisir, centong nasi, ember, tusuk gigi, pemotong kuku, dan barang-barang fungsional lain dijual oleh mas atau mbak 'kokek-kokek'.

Saya sebagai emak-emak biasa, yang bukan musuh penjual balon maupun penjual kokek-kokek, memaknai kemeriahan orang berdagang dengan kekhusyukan salat adalah dua hal yang saling mendukung. Lagipula, di hari yang penuh rahmat Allah, tidak ada salahnya kita berbagi rezeki sedikit kepada si penjual.

Penjual kokek-kokek juga menjual aneka ragam sandal (Sumber: dokpri)
Penjual kokek-kokek juga menjual aneka ragam sandal (Sumber: dokpri)

Jika saat lebaran kita diberikan liburan, bisa salat bersama keluarga, siangnya bisa masak daging kurban santai-santai karena libur -- maka bagaimana dengan mereka? Yang di hari 'libur' pun masih ingin mengais rezeki sedikit. Yang bahkan mungkin nggak ada kata 'libur' di kamus kehidupan mereka.

Kalau satu balon harganya Rp10.000, dan sekitar 10 balon saya lihat menari-nari di beberapa spot, maka minimal uang Rp100.000 dikantongi oleh penjual balon. Alhamdulillah tentu itu bermakna buat kehidupannya. Sedangkan penjual kokek-kokek lebih tersamar hasilnya, karena saya tidak paham orang memakai sandal milik mereka atau sandal baru hasil membeli di mas kokek-kokek. Termasuk jika yang dibeli adalah barang lain.

Maka seperti makna pasrah dan berserah yang ditunjukkan oleh Nabi Ismail, serta makna ikhlas dari Nabi Ibrahim, dan juga makna berbagi dari penyembelihan hewan kurban -- berbahagialah yang sempat berbagi rezeki dengan para penjual di hari penuh rahmat ini. Dengan berbagi rezeki seperti itu, Anda sekaligus menjadi salah satu variabel penggerak roda perekonomian lokal.

Rezeki dan harta di tangan kita, tidak semuanya adalah milik kita, namun sebagiannya adalah hak orang lain. Maka berbagilah dengan semangat Iduladha. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun