Harga beras naik, rakyat kecil menjerit. Pernyataan ini sudah tidak bisa dimungkiri lagi, dan seharusnya seluruh pejabat pemerintah yang memiliki kewenangan di bidang pangan, sudah memahaminya di luar kepala.
Beras merupakan komoditi sumber karbohidrat paling favorit bagi masyarakat Indonesia. Pernyataan ini juga tidak ada yang dapat menyangkalnya.Â
Bertahun-tahun masyarakat makan nasi putih sebagai makanan pokok, lahan-lahan persawahan dibuka merata di seluruh pulau, dan konon katanya di masa orde baru pun telah tercapai swasembada pangan karena tercukupinya kebutuhan beras penduduk tanpa harus impor. Tepatnya tahun 1984, Indonesia berhasil swasembada beras dengan angka produksi 27 juta ton! Mantap, Pak Harto!
Benarkah? Serasa mimpi yang tak pernah terulang, karena berita yang sering terdengar adalah harga beras melejit, ujung-ujungnya impor beras.
Keberhasilan swasembada beras itu tak pernah terulang karena berbagai faktor antara lain produksi yang menurun karena gagal panen, konversi lahan sawah menjadi penggunaan lain, dan meningkatnya jumlah penduduk.
Data BPS menunjukkan bahwa selama lima tahun terakhir, Indonesia selalu impor beras dan impor tertinggi adalah di tahun 2023 sebesar 3,06 juta ton. Indonesia mengimpor beras terutama dari negara Thailand, Vietnam, Pakistan dan Myanmar.
Masyarakat Indonesia memang secara tradisi mencintai nasi, bahkan yang dulunya memiliki makanan pokok non beras, juga kemudian merasa perlu mencetak lahan persawahan untuk memproduksi beras.Â
Zaman saya kecil selalu terpatri pelajaran IPS, makanan pokok orang Jawa nasi/beras, orang Madura jagung, orang Papua sagu. Tapi sekarang semua nasi-nasi-nasi.
Jagung, sagu, dan ubi atau sumber karbo lainnya yang di daerah-daerah tertentu bisa menjelma menjadi bubur manado, binte biluhuta, kapurung, papeda, sup ubi -- tak lagi terasa mengenyangkan. Itu semua hanya hidangan camilan. Nasi-nasi-nasi, harus nasi biar kenyang!
Maka masyarakat pencinta nasi ini, yang sangat dimanjakan oleh pemerintahnya, kemudian diimporkan beras, agar kebutuhannya terhadap nasi yang tercinta tetap tercukupi. Semakin tahun jumlah penduduk bertambah, areal sawah berkurang, dan impor beras melejit ke angka tertinggi.
Sekarang saat sekali lagi harga beras membubung tinggi dan masyarakat menjerit, baru program diversifikasi pangan terdengar lagi gaungnya.
Diversifikasi pangan bukan barang baru. Pada periode tahun 1975-1979 pemerintah Indonesia membuat program diversifikasi pangan yang dituliskan dalam Instruksi Presiden No.14 Tahun 1974 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat (UPMMR). Produk unggulannya disingkat "Tekad" yaitu Telo, Kacang, Jagung.Â
Diversifikasi pangan juga ditegaskan dalam Instruksi Presiden No. 20 Tahun 1979 tentang pemberdayaan tanaman sagu di Kawasan Indonesia Timur.Â
Lucunya, program tidak berjalan lancar karena pemerintah fokus pada program intensifikasi dan rehabilitasi pertanian untuk meningkatkan produksi beras. Bagaimana mungkin dua program yang bertolak belakang akan disukseskan secara bersamaan?
Periode 1980-1984, program diversifikasi pangan berlanjut dan pemerintah meminta bantuan pada sektor swasta, dan hasilnya adalah produk mie instan menjadi produk alternatif pengganti beras.Â
Mie instan memang berjaya bahkan hingga saat ini. Tapi, apakah dia berhasil menggantikan peran beras/nasi? Tentu tidak, karena orang Indonesia makan mie pakai nasi! Jadi tetap saja butuh nasi.
Saat kemudian tahun 1984 tercapai swasembada beras, euforia beras melimpah telah mengalahkan telak program diversifikasi pangan yang menjadi sayup-sayup terdengar.
Periode 2015 -- 2019 diversifikasi pangan kembali menggeliat salah satunya dengan adanya gerakan One Day No Rice dan pengembangan konsumsi pangan pokok lokal. Ingatan saya tidak banyak merekam bagaimana keberhasilan gerakan tersebut, padahal saya sudah bekerja sebagai PNS waktu itu.Â
Saya hanya ingat bahwa ada satu era di mana kalau kami rapat sudah tidak boleh pakai snack dus yang biasa. Snack diganti dengan umbi-umbian rebus. Cukup unik dan itu berjalan beberapa waktu, mungkin sekitar 6 bulan, lalu tiba-tiba snack dus kembali menghias meja rapat.
Pada masa pemerintahan Pak Jokowi, diversifikasi pangan dilakukan dengan program optimalisasi produksi jagung, sorgum, dan sagu.
Luas area budidaya sorgum di Indonesia pada tahun 2022 tersebar di enam provinsi yaitu NTT 3.400 hektare, Jawa Barat 488 hektare, Kalimantan Barat 305 hektare, Jawa Timur 200 hektare, Jawa Tengah 120 hektare, dan NTB 200 hektare. Roadmap budidaya sorgum telah disusun dengan target perluasan areal di 2023 dan 2024.
Sorgum adalah biji-bijian yang dapat digunakan sebagai pengganti beras. Entah mengapa pemerintah menjatuhkan pilihan pada sorgum, mungkin karena kandungan gizinya cukup tinggi dan mengandung banyak serat. Saya sendiri belum pernah melihat langsung apalagi mengolahnya.
Kembali ke masalah diversifikasi pangan, masyarakat Indonesia telah dimanjakan oleh nasi/beras selama bertahun-tahun. Hal ini melekat sebagai kultur yang tidak dapat luntur hanya dengan hujan sehari.Â
Budaya cinta nasi yang sangat melekat, hanya dapat diubah dengan gerakan atau program yang masif, agak memaksa dan terus menerus didengungkan. Kalau perlu orang yang melaksanakan diversifikasi pangan dikasih reward.
Gerakan one day no rice atau semacamnya itu bagus juga untuk diterapkan, tapi harus masif dengan contoh yang konkrit. Misalnya satu hari itu pimpinan negara, menteri dan pejabat tinggi posting makanan sehari tiga kali no rice-rice. Rumah makan yang mengikuti program one day no rice diberi reward.
Selain gerakan tidak makan nasi dalam sehari (tapi diganti karbohidrat lain), berbagai upaya mengembangkan pangan alternatif harus didukung sepenuhnya.Â
Seperti langkah yang ditempuh Presiden Jokowi membudidayakan sorgum. Budidaya sorgum perlu dibarengi dengan promosi dan sosialisasi besar-besaran mengenai apa itu sorgum, dan bisa diolah menjadi apa saja.Â
Sorgum harus tersedia di pasar-pasar terdekat dan tentu saja harganya harus murah. Karena bukankah ia menjadi alternatif pengganti beras terutama saat harga beras melambung tinggi?
Program diversifikasi pangan baru bisa dibilang berhasil, jika bahan pangan pengganti beras tidak hanya dikonsumsi masyarakat karena terpaksa (sebab harga beras mahal), namun dikonsumsi sehari-hari sebagai pengganti nasi. Misalnya hari ini makan nasi, besok makan sorgum, lusa makan jagung, begitu bergantian.
Sehingga suatu saat ketika harga beras melambung lagi, rakyat kecil tidak menjerit lagi tapi cuek. Ah, ada sorgum ini, enak juga tidak kalah sama nasi. Atau ada singkong, jagung, sagu, dan lain-lain yang sudah menjadi alternatif cinta masyarakat Indonesia terhadap makanan pokok.
Tapi sekali lagi cinta ini tidak akan terpupuk, jika hanya datang semusim. Cinta (terhadap pangan pengganti beras) harus terus dipupuk, disirami, agar merekah sepanjang hari dan seterusnya till the end of world. Tradisi itu dimulai dari kebiasaan yang diulang-ulang, sehingga menjadi budaya yang melekat.
Cinta dan kesetiaan tunggal terhadap nasi harus dikurangi dengan strategi jitu. Sehingga suatu saat kemelekatan kita terhadap nasi tidak terlalu kuat lagi.
Cinta terhadap pasangan sah (suami/istri) harus kuat, tapi kalau cinta terhadap nasi, kendor-kendorkanlah sedikit. Malah bagus kalau bisa selingkuh paralel dengan jagung, singkong, sagu, dan sorgum.
Salam.
Semoga harga beras segera normal kembali.
Sumber bacaan:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H