Sudah bertahun-tahun saya resah dengan limbah domestik yang dihasilkan oleh rumah tangga saya sendiri. Sebagai seorang ibu, saya sangat paham berapa volume sampah setiap harinya yang harus dikeluarkan untuk diangkut oleh petugas kebersihan. Sampah-sampah itu terdiri dari sampah plastik, sampah kertas/kardus, dan sampah dapur.
Sampah plastik terdiri dari botol, gelas, kantong bekas plastik belanja (kresek), dan juga bubble wrap yang biasa ada di dalam paket; sampah kertas terdiri dari sisa kertas kerjaan kantor/tugas sekolah anak, kardus bekas paket, dan kardus minuman/makanan; sampah dapur terdiri dari sampah makanan yang tidak dimakan lagi, kulit/batang buah dan sayur, dan jelantah (minyak sisa). Di atas segala jenis sampah tersebut, yang paling membuat saya khawatir adalah jelantah.
Waktu itu, cara saya membuang sisa jelantah, kurang tepat. Saya memang tidak membuang di got/aliran air, tapi saya membuang di tempat sampah, dan kadang-kadang di tanah. Setiap kali membuang minyak jelantah, saya merasa sangat berdosa karena yakin bahwa apa yang saya lakukan akan berdampak buruk terhadap lingkungan.
Ternyata memang berbahaya membuang jelantah ke tanah atau ke air. Jelantah yang dibuang di tanah akan menggumpal dan menutup pori-pori tanah. Hal ini menyebabkan tekstur tanah akan mengeras sehingga sulit menyerap air. Jelantah yang dibuang ke air juga sama berbahayanya. Ia akan mengubah senyawa air menjadi tidak layak digunakan. Jika dibuang ke saluran air, lama-kelamaan akan membuat saluran buntu. Membuang jelantah ke tempat sampah juga kurang tepat, karena dapat mengundang serangga dan tikus berdatangan.
Rasa berdosa dan kekhawatiran saya terhadap dampak limbah jelantah ini membuat saya banyak bertanya pada teman-teman, bagaimana ia mengelola jelantahnya. Ada yang menjawab bahwa ia tidak menghasilkan jelantah, karena ia selalu menggoreng dengan minyak sedikit sehingga sedikit sekali jelantah yang tersisa. Saya segera meniru kebiasaan teman tersebut. Namun, hal itu hanya berhasil untuk beberapa jenis bahan saja. Adakalanya kita memang memerlukan minyak banyak untuk menggoreng sesuatu bukan?
Saya terus bertanya dan kemudian seorang teman di Bekasi menginformasikan bahwa jelantah di lingkungan tempat tinggalnya ada yang menampung. Berjerigen-jerigen jelantah dibutuhkan untuk industri biodiesel, yaitu bahan bakar terbarukan yang digunakan untuk kendaraan bermotor. Saya bertanya-tanya apakah di Makassar juga ada? Bukankah Makassar juga kota besar, pastilah ada orang yang mengelola jelantah menjadi biodiesel.
Akhirnya saya mencari di internet dengan kata kunci industri biodiesel Makassar. Waktu itu sekitar tahun 2017-an dan saya kemudian menemukan sebuah kisah inspiratif seorang anak muda bernama Andi Hilmi yang mengelola jelantah menjadi biodiesel sejak ia SMA. Berbekal sebuah nomor telepon dari internet, saya menghubungi pemuda tersebut. Dengan sopan ia bertanya saya tinggal di daerah mana, lalu menyarankan saya menghubungi seseorang bernama Bu Farah yang tinggal di lingkungan yang sama dengan saya, di Kelurahan Sudiang.
Ternyata dalam mengelola bisnisnya, Andi Hilmi sudah memiliki agen-agen untuk mengumpulkan jelantah. Saya kemudian menghubungi bu Farah dan disarankan untuk membawa jelantah saya ke Bank Sampah yang dikelola oleh kakaknya. Sejak saat itu saya menyetor jelantah di Bank Sampah tersebut.
Tak lama kemudian, kantor saya juga membuat bank sampah sendiri yaitu Bank Sampah Wana Lestari. Awalnya belum menerima jelantah, namun kemudian bisa menerima jelantah juga, sehingga saya kemudian beralih menjadi nasabah bank sampah kantor saya sendiri. Saya mulai menyetor tidak hanya jelantah, namun juga kemasan plastik, plastik refill minyak, kertas dan kardus, rak telur, kaleng minuman, kaleng biskuit, dan macam-macam barang yang diterima bank sampah.