Mohon tunggu...
Indah Novita Dewi
Indah Novita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Hobi menulis dan membaca.

PNS dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Selamat Hari Guru, Wahai Embun Penyejuk dalam Kehausan

25 November 2023   22:33 Diperbarui: 25 November 2023   22:58 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Selamat hari guru (sumber: pexels/fauxels)

Hari ini 25 November 2023 merupakan Hari Guru Nasional. Dari lubuk hati terdalam saya ucapkan penghargaan setinggi-tingginya untuk para guru, tanpa mereka ... kita tidak akan menjadi apa-apa.

Dalam perjalanan kehidupan di bangku sekolah, tentunya banyak guru yang menginspirasi saya walaupun sebenarnya saya bukan siswa yang suka dekat-dekat guru. Pengalaman mengajarkan dekat dengan guru itu kadang blunder juga, apalagi kalau ada teman yang julid. Bilang anak emas lah, gurunya pilih kasih lah, atau murid penjilat lah.

Percayalah, ada murid yang julid seperti itu. Mungkin di zaman sekarang tidak ada lagi, karena adanya di zaman saya dulu dan mungkin anaknya sekarang sudah tua dan sudah insyaf, hehe.

Ada guru saya di masa lalu, tepatnya di bangku SMP, yang sampai sekarang masih saya ingat karena beliau sangat mempercayai kemampuan saya. Beliau adalah wali kelas saya di kelas 3, namun sejak kelas 2 sudah kenal, karena beliau guru mata pelajaran Bahasa Inggris. Dulu saya pintar Bahasa Inggris, jadi otomatis Pak Guru perhatian pada saya dan pada Andi, salah satu murid di kelas yang sama.

Suatu saat kami ulangan Bahasa Inggris dan pak guru berkeliling sambil melihat-lihat siapa yang sudah selesai mengerjakan. Beliau berhenti di dekat Andi yang rupanya sudah selesai. Kertas ulangan Andi diminta oleh pak guru dan dinilai saat itu juga. Setelah menilai, dengan provokatif, pak guru menunjukkan kertas ulangan Andi dengan nilai 100 yang dituliskan besar-besar. Wow ... semua bergumam namun makin mengerutkan alis karena tidak bisa mengerjakan.

Saya melanjutkan mengerjakan ulangan ketika pak guru berjalan ke arah saya.Waduh jangan-jangan dia mau menilai ulangan saya juga seperti yang dilakukannya pada Andi. 

Benar juga, ia bertanya apakah saya sudah selesai. Saya menunjukkan nomor di mana saya kesulitan. Tak dinyana beliau memberikan clue jawaban. Setelah itu saya bisa menyelesaikan semua soal. 

Seperti yang dilakukannya pada Andi, pak guru langsung mencoret-coret kertas ulangan saya dan membubuhkan angka 100 di sana. Wow, padahal tadi ada kemungkinan saya hanya dapat 90 kalau beliau tidak memberi clue. Wajar ya, saya dibilang anak emas dan pak guru dibilang pilih kasih, hahaha.

Kelas 3 saya jumpa lagi dengan beliau baik sebagai guru Bahasa Inggris dan juga sebagai wali kelas. Tentu saja lebih banyak interaksi dengan beliau. Di kelas 3 inilah salah seorang teman julid saya bilang di depan saya langsung bahwa saya penjilat. Saya hanya bengong karena saya merasa tidak pernah mengeluarkan effort keras sampai harus menjilat agar pak guru sayang pada saya.

Untungnya di momen awkward seperti itu, ada teman yang membela saya.

"Indah sih memang pintar, tidak perlu menjilat."

Terima kasih pada teman yang sudah membela saya, ya? Waktu itu saya tidak marah pada teman yang bilang saya penjilat, saya hanya tak habis pikir dan heran bagaimana bisa dia mengatakan hal seperti itu. Mungkin dia cemburu dan ingin diperhatikan juga sama pak guru. Kalau mau diperhatikan, jadi anak pintar dulu, dong.

Karena hal itulah, saya jadi jauh dengan pak guru. Kadang kalau beliau mendekat dan ngajak ngobrol, saya juga ogah-ogahan menjawabnya. Maaf ya, pak guru ... padahal bapak baik sekali dan pasti melakukan semua karena bapak mau saya bisa lebih maju.

Suatu saat pak guru berpesan agar saya belajar yang rajin dan kelak saya harus jadi guru Bahasa Inggris seperti dia. Bapak ingin saya jadi koleganya nanti mungkin, ya? Saya hanya tersenyum karena saat itu sebetulnya saya berpikir bahwa menjadi guru Bahasa Inggris itu pasti keren sekali, tapi saya masih ragu apakah saya mampu.

Setelah lulus SMP saya pernah dua kali ketemu dengan beliau saat reuni. Beliau masih baik, dan tetap memberikan kata-kata dukungan dan motivasi buat saya. Ketika saya dewasa, saya sebenarnya ingin sekali ketemu dengan beliau. Saya dengar beliau sakit, lalu kemudian pergi untuk selama-lamanya. Saya tidak sempat lagi bertemu.

Jalan hidup saya kemudian mengarahkan saya untuk tidak menjadi guru Bahasa Inggris, walaupun saya sudah berikhtiar yaitu memasukkan pilihan Fakultas Sastra Inggris saat mengikuti seleksi UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). 

Terima kasih pak guru, telah memberi warna dalam kehidupan masa remajaku. Walau aku nakal dan kadang tidak sopan padamu, engkau tetap baik seperti embun penyejuk dalam kehausan. Selamat hari guru, Pak. Semoga engkau bahagia di surga.**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun