"Indah sih memang pintar, tidak perlu menjilat."
Terima kasih pada teman yang sudah membela saya, ya? Waktu itu saya tidak marah pada teman yang bilang saya penjilat, saya hanya tak habis pikir dan heran bagaimana bisa dia mengatakan hal seperti itu. Mungkin dia cemburu dan ingin diperhatikan juga sama pak guru. Kalau mau diperhatikan, jadi anak pintar dulu, dong.
Karena hal itulah, saya jadi jauh dengan pak guru. Kadang kalau beliau mendekat dan ngajak ngobrol, saya juga ogah-ogahan menjawabnya. Maaf ya, pak guru ... padahal bapak baik sekali dan pasti melakukan semua karena bapak mau saya bisa lebih maju.
Suatu saat pak guru berpesan agar saya belajar yang rajin dan kelak saya harus jadi guru Bahasa Inggris seperti dia. Bapak ingin saya jadi koleganya nanti mungkin, ya? Saya hanya tersenyum karena saat itu sebetulnya saya berpikir bahwa menjadi guru Bahasa Inggris itu pasti keren sekali, tapi saya masih ragu apakah saya mampu.
Setelah lulus SMP saya pernah dua kali ketemu dengan beliau saat reuni. Beliau masih baik, dan tetap memberikan kata-kata dukungan dan motivasi buat saya. Ketika saya dewasa, saya sebenarnya ingin sekali ketemu dengan beliau. Saya dengar beliau sakit, lalu kemudian pergi untuk selama-lamanya. Saya tidak sempat lagi bertemu.
Jalan hidup saya kemudian mengarahkan saya untuk tidak menjadi guru Bahasa Inggris, walaupun saya sudah berikhtiar yaitu memasukkan pilihan Fakultas Sastra Inggris saat mengikuti seleksi UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri).Â
Terima kasih pak guru, telah memberi warna dalam kehidupan masa remajaku. Walau aku nakal dan kadang tidak sopan padamu, engkau tetap baik seperti embun penyejuk dalam kehausan. Selamat hari guru, Pak. Semoga engkau bahagia di surga.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H