Hai pendengar dan penikmat radio, mana suaranya...?
Saya tidak tahu apakah di era sekarang ini anak muda masih mendengarkan radio, tepatnya siaran radio. Jawabannya mungkin masih, ya? Terutama mereka yang sehari-hari berhubungan dengan radio, misalnya orang tuanya masih mendengarkan siaran radio, rumahnya dekat dengan stasiun radio, atau memiliki kerabat yang bekerja di stasiun radio baik sebagai penyiar maupun pegawai biasa.
Tapi kalau salah satu anak muda itu dicontohkan dengan anak saya misalnya, dia tidak mendengarkan radio - walau mungkin ya dia tetap paham radio dan siaran radio itu apa. Kalau contoh lain adalah Diba, teman anak saya yang tinggal di pulau seberang (sebenarnya bukan teman juga sih, tapi paling tidak mereka pernah bertemu dan seumuran, jadi boleh dong saya bilang mereka teman), maka bisa jadi dia adalah anak muda yang mendengarkan radio. Karena apa? Karena memenuhi salah satu kualifikasi di atas, ibunya pendengar radio mania! Ibunya tak lain dan tak bukan adalah teman saya Agustina Purwantini.
Duh duh, ini mau cerita soal antologi kok malah nggladrah ya.
Jadi pembaca yang budiman tentu sudah sama-sama tahu apa itu antologi, bukan? Antologi adalah kumpulan kisah, cerpen, artikel, tulisan, yang ditulis oleh banyak orang dan dijadikan menjadi satu buku. Singkatnya, menulis antologi itu menulis keroyokan.
Nah, suatu ketika saya dihubungi oleh mbak Agustina Purwantini dan ditawari ikutan nulis antologi tentang radio. Apaa? Radio? Ingatan saya langsung melayang di masa-masa SMA dan kuliah, karena hanya di masa-masa itulah saya mendengarkan radio.Â
"Apa bisa cerpen, Mbak?" tanya saya.
"Bisa, apapun bisa."
Lalu saya pun dikenalkan dengan PJ alias penanggung jawab antologi yaitu mbak Aulia Manaf. Kenalannya bukan ala konvensional ya melainkan kenalan online melalui WA.Â
Singkat cerita saya mengetahui syarat-syarat mengikuti antologi ini dari mbak Aulia dan saya langsung menulis sebuah cerpen. Cerpen yang saya tulis itu berjudul "Sang Penyiar Idola." Suit...suit..., hehehe.
Ya, saya waktu kuliah punya penyiar idola di Makobu FM, ini stasiun radio yang ada di Kota Malang. Kalau nggak salah programa 2 nya RRI. Lokasi stasiun radionya kalau dulu era 1990-an yaitu satu areal dengan RRI di Jalan Candi Panggung No 58 Malang.
Penyiar idola saya itu namanya mas Aris dan dia siarannya malam menyiarkan lagu-lagu lama berbahasa Inggris. Kalau nggak salah lho yaa, hahaha, ingatan saya kabur-kabur. Mas Aris juga membacakan surat dari pendengar radio.
Sebenarnya saya juga tidak ngefans-ngefans amat, tapi karena ide yang muncul hanya itu, maka kisah tentang penyiar idola inilah yang saya angkat menjadi cerpen di antologi tersebut.
Saya mengisahkan seorang gadis yang ngefans dengan seorang penyiar radio, tapi gadis ini malu kalau ketemu langsung. Saat ia diajak teman-temannya ke stasiun radio tersebut dan berkesempatan bertemu dengan penyiar idolanya, gadis itu malah cepat-cepat pulang sebelum sang penyiar datang. Itu karena sang gadis sangat pemalu.
Beberapa tahun kemudian saat sang gadis kembali ke Kota Malang untuk menjalani studi S2, secara tak sengaja ia bertemu dengan sang penyiar idola. Bukan lagi sebagai penyiar tapi ... sebagai apa, hayo? Dan apakah sang gadis masih malu-malu?
Begitulah sekilas isi cerpen ringan yang saya tulis sebagai naskah antologi.Â
Menulis antologi itu menyenangkan karena bebannya lebih ringan, sebab hanya menulis naskah pendek. Menulis antologi juga tidak merepotkan karena semua diurusi oleh PJ atau penanggung jawab. Ya tentu saja menulis antologi bisa sangat merepotkan kalau kamulah si penanggung jawab. Kemudian yang menyenangkan dari menulis antologi adalah kamu akan mendapatkan banyak teman baru yaitu sesama penulis antologi.
Sekian ya cerita saya, salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H